Jumat, 08 Mei 2009

Gelar dan Nama dari Kerajaan di Jawa

Kalau sekarang orang suka jadi pegawai negeri karena bisa korupsi (eh salah... karena bisa gajian bulanan, baca koran ramai-ramai, pulang pagi leha-leha), di jaman dulu saat negara ada di tapuk para raja, rakyat yang punya keahlian langsung bisa jadi pegawai kerajaan.

Enaknya jadi pegawai raja karena punya status tinggi, punya gaji, diberi rumah dan gelar. Hingga tukang batu sekalipun pasti dapat gelar. Mau tahu gelar-gelar yang diberikan? Nah rakyat jelataatau para kawula yang diberi gelar raja disebut abdi dalem keraton. Semua orang yang ada hubungannya dengan pekerjaan di keraton disebut abdi dalem, entah itu anak, saudara, bulik, pakde, eyang- nya raja, termasuk juga patih, menteri, tukang sapu hingga bupati, semuanya disebut abdi dalem keraton.

Jabatan dan gelar dari keraton bisa dilihat dari jenis pekerjaan mereka. Simak baek-baek yang aku baca dan analisa dari buku babad surakarta tulisannya siapa ...(udah bruwet,..utang nama penulis babad surakarta):

- Bupati Nayaka Jero dan Anom-anom Jero, tugasnya menjaga keamanan di dalam keraton, gelarnya pakai Ngrat. Misalnya RMT Mangkudiningrat bupati keparak kiwo atau Raden Mas Tumenggung Wreksodiningrat – bupati kalang
(Biasanya pakai Diningrat – jadi kalau striker MU Rooneydiningrat – Rooneyngrat. Kalau nama orangnya Soemo jadi Soemodiningrat bukan Soemongrat)

- Bupati Nayaka Jaba dan Anom-anom Jaba, tugas seperti polisi di seluruh Negara, dan petugas pajak, gelar Nagara. Pangkatnya Tumenggung. Misalnya Raden Mas Tumenggung Prawiranegara, Sutanagara, Yudanagara, Rooneynagara, Esbeyenegara, Wirantonagara (untung bukan Nagarawiranto atau Nagaraesbeye)

- Kliwon Nayaka Jaba Jero – Kliwon Anom-anom Jaba Jero, tugas seperti polisi dan petugas pajak juga. Gelarnya Pura, prakteknya ditambah Di, menjadi Dipura. Pangkatnya Ngabei. Contoh Raden Mas Ngabei Bejodipuro, Pramanadipuro, Wignyodipuro, Puspitadipura. Rooneydipura, tetapi boleh saja Rooneypura, Parnopura, Kallapura dsb

- Kliwon Polisi, tugasnya sebagai polisi, gelar wadana. Contonya Raden Ngabei Giyanawadana, Dai Bachtiar Wadana, Sutantowadana, Abu Bakarwadana.

- Panewu Jabo gelarnya di depan Praja, contohnya Raden Ngabei Prajasoebianto. Gelar Praja di belakang Panewu Jero contohnya Rng Sumadipraja, Rng Antasaripraja.

- Mantri Keparak Kiwa, pangkatnya Mantri, tugasnya di dalam keraton, gelarnya Sura. Contohnya Mas Ngabei Suratuhu, Mng Suramuninggar, Mng Surakarta, Mng Surahabibi
(Ini Mas lho, bukan Raden)

- Mantri Keparak Tengen, gelarnya Jaya, contohnya Mas Ngabei Jayamiharja, Mng Jayakarta, Mng Jayawijaya

Mantri Gedong Kiwo, gelar Karta. Contohnya Mas Ngabei Kartatembaga, Mng Kartakreteg, Kartaguhmana, Kartawahyudi.

- Mantri Gedhong Tengen, gelar Wiryo, contonya Mas Ngabei Wiryaraisa.
- Mantri Bumi, gelar Reksa Contoh, Mas Ngabei Reksagriyarusun
- Mantri Sewu, gelar Wangsa, contohnya Mas Ngabei Wangsadinama
- Mantri Panumping, gelar Mangun, Contoh Mas Ngabei Manguntalsego
- Mantri Gede, gelar Suta, contohnya Mas Ngabei Sutaresmi

- Panewu Mantri Jeksa, gelar Pradata atgau Rangga, contoh Mas Ngabei Bismarpradata, Mas Ngabei Ranggapanambang. (Ngabei dan Rangga itu sama)

- Panewu Menteri Polisi Kabupaten, gelar Pranata, contoh Mas Ngabei Wiropranata
- Panewu Mantri Hordenas, gelar Atma, conto Mas Ngabei Atmadurrahman
- Panewu Mantri Carik, gelar Sastra, conto Mas Ngabei Sastrambulet
- Panewu Mantri Kebayan, gelar Cundhakan, conto Mas Ngabei Kartikacundhaka

- Panewu Mantri Keraton, gelar Hamong, Conto Mas Ngabei Hamongrumongso
- Panewu Mantri Panegar, gelar Tali, conto Mas Ngabei Talidadungulet
- Panewu Mantri Gamel, gelar Kuda, conto Mas Ngabei Kudarakathokan


- Panewu Mantri Kalang, gelar Margasa, Pangkat Raden, conto Raden Ngabei Kulinamargasa
- Panewu Mantri Narawreksa, gelar Wrekso, conto Raden Ngabei Wreksadipura


- Panewu Mantri Gedong, gelar Karya, conto Mas Ngabei Karyaprajana
- Panewu Mantri Panadhon, gelar Bau, Conto Mas Ngabei Ngrikubau
- Panewu Mantri Kemasan, gelar Citra, conto Mas Ngabei Citraasmara

- Panewu Mantri Bekel Jajar Gendhek Kiwo, gelar Duta di depan nama, conto Mas Ngabei Dutapraja
- Panewu Mantri Bekel Jajar Gendhek Tengen, gelar Duta di belakang nama, conto
Mas Ngabei Prajaduta

- Panewu Mantri Gerji, gelar Hangga / Driya, sekarang Gerjita/Busana, conto Mas Ngabei Karuniagerjita atau Susilobusana

- Panewu Mantri Gandhing Mataram, gelar Harja, conto Mas Ngabei Harjalukita
- Panewu Mantri Kebondharat, gelar Puspita / Hudyana
Misal : Mas Ngabei Jayaharjono atau Pawirasuryana

- Panewu Mantri Kepatihan, gelar Wira, conto Mas Ngabei Wirawiyana
- Panewu Mantri Jimat, gelar Hastana, misal Mas Ngabei Hartahastana

- Panewu Mantri Juru, gelar Raga, misal Mas Ngabei Jutakraga
- Panewu Mantri Niyaga Kasepuhan, gelar Pangrawit, Misal Mng Puspapangrawit
- Panewu Mantri Niyaga Kabupaten dan Kepatihan, gelar Prandaga, Misal Mas Ngabei Samsiprangdaga

- Panewu Mantri Ngarep gelar Braja, misal Mas Ngabei Brajalungsrah
- Panewu Mantri Carik Limalasan, gelar Sastra, misal Mas Ngabei Sastraperkara
- Panewu Mantri Jagal Sudagar, gelar Maesa, misal Mas Ngabei Maesaluwung

- Panewu Mantri Tuwaburu, gelar Wana, misal Mas Ngabei Wanasegara
- Panewu Mantri Pandhe Empu, gelar Sukatga / Palu, misal Mas Ngabei Nardisukatga, Mas Ngabei Paluguna

- Panewu Mantri Srati, gelar Denta / Dirada, missal Mas Ngabei Hamongsithik / Mas Ngabei Sunardirada

- Panewu Mantri Pangukir, gelar Gurita / Pangreka, misal Mas Ngabei Parigurita / Mas Ngabei Dipopangreka

- Panewu Mantri Undhagi, gelar Wignya, misal Mas Ngabei Witosuwignya
- Panewu Mantri Mranggi, gelar Galuh / Wirangka,` missal Mas Ngabei Umbargaluh / Mas Ngabei Jongkowirangka

- Panewu Mantri Ukiran, gelar Jara / Salembar, misal Mas Ngabei Jarawatu / Mas Ngabei Watusalembar
- Panewu Mantri Niti, gelar Niti, misal Mas Ngabei Nitisugito

- Demang Kusir, gelar Rata, missal, Mas Ngabei Ratawahana
- Panewu Mantri Kundhi, gelar Kisma, Misal Mas Ngabei Kismakusuma
- Panewu Mantri Sayang, gelar Drumeksa, misal Mas Ngabei Manodrumekso

- Panewu Mantri Panyungging, gelar Warna, misal Mas Ngabei Hudiwarna
- Panewu Mantri Pambubut, gelar Gapyuk, missal Mas Ngabei Trajugapyuk
- Panewu Mantri Pangrukmi, gelar Kencana, misal Mas Ngabei Galuhkencana
- Panewu Mantri Pangembang, gelar Gebyar, misal Mas Ngabei Kiranggebyar

- Panewu Mantri Ngukirwatu, gelar Jlagra / Sela, misal Mas Ngabei Jlagrasumarna / Mas Ngabei Selosumarjan

- Panewu Mantri Anom, gelar Saksana / Caraka, misal Mas Ngabei Kusnasaksana / Mas Ngabei Mugicaraka

- Panewu Gendhing, gelar Guna, misal Mas Ngabei Gunawarsito
- Panewu Dhalang, gelar Redi, misal Mas Ngabei Redianom
- Panewu Mantri Bong Supi, gelar Panyidang, missal Mas Ngabei Guntingpanyidang

- Abdidalem Bandhut, Cantang Balung, gelar Lewa, missal Mas Lurah Kutulewa
- Kaliwon Dokter, gelar Pura, misal Mas Ngabei Mangundipura
- Panewu Mantri Dokter, gelar Husada, misal Mas Ngabei Tandyohusada
- Panewu Mantri Tukang Batu, gelar Buda, misal Ki Mas Lurah Batusarana
- Panewu Mantri Jurukunci, gelar Hastana, misal Raden Ngabei Padmahastana

kalau gelar-gelar dari mangkunegaran aku baru mau pelajari dulu…

Sabtu, 02 Mei 2009

Sobo Turut Lurung di Solo (1)
JOWO LONDO DI GANG TUA

Dering telepon dari Belanda itu untuk Ni Ngoro, wanita kelahiran Jakarta yang sejak balita dibesarkan di Solo, kota budaya dimana eyangnya tinggal. Suatu hari ketika Ni Ngoro tidak lagi kerja kantoran, ia tertarik pada kisah kampung tempat tinggalnya. Ini bermula setelah kedatangan tamu dari Belanda, Rudd Rden Heintchezalaar, si penelpon dari Belanda tadi. Berkat Sinyo itu, Ni Ngoro kini rajin menyambung-nyambung cerita kampungnya yang dihubungkan dengan nama para tokoh kuno di Solo.

Ni Ngoro sendiri punya nama panjang yang tak disukainya. Sejak mengenal makna-makna nama, herannya, ia tak peduli makna nama panjang dirinya. “Apalah arti sebuah nama,” kata seorang pujangga Inggris. Padahal ia paham, menurut ahli spiritual di kota Solo, makna nama bisa terbawa pada nasibnya. “Nama harus punya makna, bukan datar, antah berantah! Nama tidak boleh serba asal, jangan abu-abu, tak punya arah, takutnya tak bertujuan.”

Jadinya sekarang Ni Ngoro giat cari data, lalu dikonsep dan sudah sedikit dibuat film-nya, berkenaan dengan cerita tentang asal-usul nama kampung-kampung di Solo. Istilahnya toponimi.

Ide awalnya bermula dari rasa heran Heintchezalaar yang tak bisa dijawab Ni Ngoro. Heintchezalaar bertanya, mengapa ada nama jalan yang diambil dari nama burung, nama binatang, nama bunga atau nama pulau-pulau. Memangnya Solo tak punya asal-usul, cari nama saja nyontek nama burung?

“Ini tak masuk akal. Mungkin orang yang beri nama kehabisan ilham, atau tak paham sejarah. Celakanya jika asal beri nama. Tak heran, banyak nama abu-abu di gang-gang kota Solo,” begitulah keheranan Heintchezalaar. Mulanya, Ni Ngoro tak begitu peduli dengan pertanyaan itu.

Sekarang jika ingat nama gang-gang di kampung-kampung, dada Ni Ngoro jadi ikut sesak. Kota tua Solo jadi kota tua yang ternoda maknanya. Padahal namanya kota pusaka, mau adakan konverensi besar-besaran tentang kota pusaka sedunia Oktober nanti.

Tentu rusaknya kota Solo bukan karena urban besar-besaran dari desa (sejak 1980an) yang bikin Solo berkembang tanpa kendali. Ni Ngoro sungkan jika Heintchezalaar ikut resah tentang nama antah berantah itu. Heintchezalaar ini adalah cucu mantan perwira Hindia Belanda di kota Solo sekitar tahun 1930-an, namun ia juga cucu seorang Kanjeng dari Mangkunegaran. Artinya ia memang seorang indo.

Heintchezalaar pertama kali ke Solo diajak opanya. Saat itu usianya baru 7 tahun. Maunya menginap di Hotel Slier, itu hotel di jaman Belanda saat Opa Heintchezalaar masih berkuasa di Solo. Tetapi hotel itu sudah berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Ketika Heintchezalaar datang tahun 1981, hotel itu tak ada lagi, tanahnya terbiarkan merana dihuni setan. Kabarnya mau dibangun dan jadi kantor Bank Indonesia. BI sendiri mau dipakai museum. Heintchezalaar ingat, menurut cerita opanya yang sudah almarhum, BI Solo itu, dulu adalah Javache Bank milik Belanda.

Heintchezalaar mengeluh pada Ni Ngoro, ia merasa kehilangan banyak kenangan di Solo. Perasaan ini sama dengan perasaan opanya. Ni Ngoro tidak terkejut ketika Heintchezalaar berpendapat, “Kota Solo sudah berubah. Dulu aku merasa menjadi orang Jawa berbudaya Jawa ketika masuk Solo. Waktu ke rumah famili di Punggawan, disana penuh dengan nama Jawa. Sekarang bangunan joglonya sudah kusam dan tinggal satu dua. Yang di Widuran kian singup. Di Kauman saja masih belum berubah banyak,” kata Heintchezalaar.

Pertamanya Ni Ngoro tidak sependapat dengan Heintchezalaar. Ni Ngoro meyakini dunia mengalami perubahan secara kontinu. Perubahan adalah alamiah, sama seperti air mengalir. Bahkan setiap dasawarsa, ada penemuan baru yang membuat dunia berkembang pesat. Tahun 1945, Jakarta adalah kampung besar. Sekarang macet dimana-mana! Jadi andai rumah dan kota tidak dibangun menjadi gedung dan kota modern, pasti ketinggalan jaman.

Heintchezalaar membenarkan, tetapi kenangan yang dimaksud adalah goresan tinta emas pada situasi alamiah yang tergulir masuk dalam bathinnya. Sebuah situasi yang bisa membangkitkan perasaan yang sangat menyentuh hati. “Hanya sekali aku ke Borobudur, tetapi kenangan sehari disana, sulit hilang. Mengapa? Karena ada memori yang masuk dalam bathinku, di alam bawah sadar, bahwa aura Borobudur, sampai kapanpun, tetap ada dalam hatiku. Itu maksudku.”

Pada akhirnya Ni Ngoro mengerti dan tiba-tiba saja ia jadi sangat terkesan oleh kata-kata Heintchezalaar. Kesan ini langsung menggelorakan niatan untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang dipunyai kota Solo, yang mampu membuat aura Solo merasuk dalam alam bawah sadar siapapun yang pernah menghirup udara Solo!!!

Itulah yang membuat Ni Ngoro sangat peduli pada makna nama kampung-kampung di Solo. Heintchezalaar mengira, Solo kota yang indah, bersejarah, dibangun zaman Belanda. Ia berharap Solo tetap seperti bayangannya, kota pusaka.

Kali pertama Heintchezalaar ke Solo, militer Indonesia curiga terhadap kehadiran opanya yang dikira CIA. Saat itu tepat ketika terjadi huru-hara pembasmian PKI. Opanya mencatat, tepat pada Oktober 1965, PKI berkhianati. PKI mau membuat negara komunis. Aksi-aksi sepihak memprotes landreform, meneror dan show of force lewat berbagai cara, digerakkan dengan nekad. Pada 1 Oktober, orang Solo dikejutkan siaran RRI Jakarta yang mengabarkan Gerakan 30 September. Malamnya ada isu Dewan Revolusi. Esok harinya Opa Heintchezalaar mendengar dari radio bahwa Walikota Solo Utoyo Ramelan mengumumkan terben­tuknya Pemerintahan Dewan Revolusi Daerah Kotamadya Surakarta.

Sebenarnya Omanya minta mereka segera meninggalkan Indonesia. Namun karena Opa berbesanan dengan priyayi agung Mangkunegaran, mereka merasa masih aman berada di Solo.

Benar juga, sepekan kemudian Batalyon Divisi Diponegoro yang tadinya pro Dewan Revolusi, menyatakan setia kembali kepada Pangliman Divisi Diponegoro. Namun Opa Heintchezalaar yakin bahwa meski media mengabarkan Jawa Tengah aman dan terkendali, sebenarnya penuh bara api. Apalagi Kol Yasir Hadibroto adakan rapat dengan berbagai golongan anti komunis untuk me­nentang Dewan Revolusi.

Di saat hawa politik di Solo memanas, Heintchezalaar kecil uring-uringan. Ia dijanjikan diajak menikmati indahnya kota Solo. Yang terjadi malah banyak asap hitam akibat beberapa toko dan kantor PKI dibakar. Untunglah, keluarga eyangnya yang Kanjeng, masih dapat membawanya ke daerah-daerah seperti di Banjarsari, lalu ke beberapa kampung legendaris dan pesiar di Tirtomoyo. Padahal maksud ajakan itu untuk menyelamatkan Heintchezalaar jika terjadi sesuatu di Hotel Merdeka, daerah yang berada selangkah dari pusat kerusuhan di Balaikota Solo.

Tetapi ketika pada 22 Oktober, Heintchezalaar akan diajak ke Boyolali, rencana ini batal. Ada pemogokan bus di Gemblegan Solo. RKP (Regu Kerja Pemuda) dan Pemuda Rakyat yang underbouw PKI, melarang sopir bus beroperasi. Mereka menghalangi aktivis PNI menghadiri pemakaman Jendral Katamso di Yogya. Heintchezalaar akhirnya hanya tinggal di hotel saja.

Suasana di sekitar Hotel Merdeka sangat panas. Para pemuda datang dari halaman Mesjid Agung setelah sholat Jum’atan menyambut RPKAD di Solo. Lalu mereka demo anti PKI. Dari jarak tak lebih 1000 meter dari hotel, Heintchezalaar kecil melihat percetakan Populair dibakar, sama seperti toko-toko di Singosaren yang sudah merah menyala karena api. (Sewaktu Heintchezalaar datang lagi ke Solo tahun 1981, tanah Populair ini sudah menjadi gedung BCA Slamet Riyadi sekarang).

Di catatan opanya, Heintchezalaar tahu bahwa ketika demonstran memasuki kantor Pemuda PKI bernama CGMI, terdengar serentetan tem­bak­an dari arah timur, diperkirakan dari sekitar Beteng. Beberapa demon­stran tersungkur kena peluru. Jumlah korban 4 tewas dan 14 luka tembak. Para demonstran menjadi panik, terpecah dan kocar-kocar lari cari selamat.

Karena massa PKI terpancing, malam harinya mereka mencegat pendemo di Peterongan, Warung Pelem, Kampung Se­wu dan Sangkrah. Hasil tangkapan beruap para pendemo anti PKI, dibawa ke Kedungkopi (dulu namanya Putat) dan dihabisi disana sebanyak 22 orang korban mati mengenaskan.

Heintchezalaar heran, ketika mengajak Ni Ngoro ke Kedungkopi, seolah disini tak ada cerita pembantaian yang amat keji. Padahal masih terbayang jelas di pelupuk matanya, semacam trauma masa kecil, ketika melihat banyak darah di depan hotel Merdeka tempatnya menginap, dulu di tahun 1965 pas pendemo ditembaki membabi buta.

Kini, apakah semua sudah garing, sebab tak berbekas lagi. Tak ada tanda kedukaan. Mungkin tidak perlu dikenang, begitu pikirnya menetramkan diri. Padahal seingat Heintchezalaar, masih ada korban yang lolos dari maut Kedungkopi dan baru meninggal setelah tahun 2000. Dia kecewa, tak satupun tanda yang bisa dikenalinya, padahal trauma masa kecilnya itu, belum sembuh hingga kini.

Heintchezalaar dan Ni Ngoro berhenti di perempatan Warung Pelem. Heintchezalaar ingat saat berkunjung ke Solo tahun 1981, di sekitar inilah seorang pribumi dihakimi warga keturunan yang menyulut bakar-bakar di kota Solo dan menjalar hampir di seluruh pulau Jawa dan Indonesia. Namun ia pun tidak menemukan tanda-tanda pernah ada kerusuhan besar di Solo. Rupanya, Heintchezalaar sering berada di tempat di mana ada pergolakan di Solo. Pantas Solo disebut sebagai kota barometer politik Indonesia.

Ni Ngoro dan Heintchezalaar lalu blusak-blusuk di berbagai gang dan kampung-kampung. Orang sering bingung dengan perjalanannya yang tak henti dengan sejuta tanya. “Meneer ini mau bikin thesis, bantu LSM, motret kemiskinan berkedok ilmuwan atau mencari kuburan nenek moyang yang mati dipedang jaman revolusi?” begitu penduduk pribumi bertanya-tanya.

Ni Ngoro tertarik mengenal Heintchezalaar karena ia berbeda dari stereotype sinyo-sinyo Belanda. Mungkin tak mengherankan karena kakek neneknya dari pihak ibu adalah pribumi Jawa tulen. Dulu ketika Indonesia dikuasai Jepang, Opa Heintchezalaar lari ke Australia. Ketika terjadi class tahun 1948, Opa balik ke Solo. Karena anak lelakinya kawin dengan penduduk pribumi, baru tahun 1955 Opa Heintchezalaar memboyong anak mantunya ke Belanda.

Heintchezalaar lahir tahun 1957. Sudah 4 kali datang ke Indonesia, pengetahuannya tentang kota Solo melebihi penduduknya sendiri. Dulu ia suka melihat keramaian pasar Yaik di perempatan Pasar Pon. Sekarang namanya diganti pasar Triwindu gara-gara HUT Mangkunagoro yang bertahta ke 24 tahun. Heintchezalaar juga berkunjung ke Perempatan Ngapeman mencari apem kesukaan Opanya. Namun mana ada apem disini. “Dulu disini ada pasar sepeda onthel bekas. Sekarang menjadi Hotel Novotel!” Ketika mencari benda pecah belah di Pasar mBeling, ia hanya menemukan penjual bakso dorong, tanpa ada pasar yang menjual barang pecah belah sebagaimana nama pasarnya, Pasar mBeling.

Ni Ngoro juga pernah mengajak Heintchezalaar ke Alun-alun. Ia melongo. Mengapa? “Kata Opa, hamparan lapangan Alun-alunnya bukan rumput, tetapi pasir.” Ni Ngoro tersenyum, lalu menjelaskan bahwa ketika Jepang masuk Solo, pasirnya diganti rumput. “Andai diganti pasir lagi bisa, kan? Tapi pasti beayanya tinggi, lebih baik beli BBM untuk rakyat miskin!”

Ni Ngoro jadi ingat biografi Barack Obama. Ketika diboyong ayah tirinya ke Indonesia, hanya kemiskinan saja yang terbingkai di memori calon Presiden Amerika itu, sama seperti Heintchezalaar yang tak pernah lepas dari kata miskin di mulutnya ketika bludas bludus di gang-gang kota Solo.
---000----

Pagi-pagi kedua kawanan Jalond (Jawa-Londo/Belanda) itu berjalan-jalan dari Gondang sampai Kampung Sewu dan Tanggul. Hebatnya, keduanya menyusuri pinggir kali Pepe. Jika pingiran kali tak bisa dilewati, mereka menyusuri lewat rumah penduduk. Perjalanan ini menghabiskan waktu sehari. Heintchezalaar giat mencatat hal-hal yang membuatnya kagum.

Dari Gondang, Sambeng, Balapan, Jageran, Pasar Legi, Kebalen, Kreteg Arifin, Pasar Gede, Kreteg Gantung, Kedunglumbu, Kampung Sewu hingga menembus sungai Bengawan Solo, notes Heintchezalaar penuh dengan cerita yang mengawali pembentukan nama-nama di daerah itu. Catatan itu akan diaduk-aduk dan dipadu-padankan dengan catatan harian opanya, lalu disambung dengan catatan Ni Ngoro.

“Ini satu-satunya sungai yang melewati tengah kota sepadat Solo. Heran, mengapa airnya kering? Kemana orang Solo membuang air?” tanya Heintchezalaar

Esok paginya mereka menyusuri rel kereta api dari stasiun Sangkrah lewat jalan Slamet Riyadi hingga stasiun Purwosati. Jalan pusat kota ini satu-satunya jalan kota yang masih aktif dengan kereta api antiknya dari Wonogiri. Di catatan opanya, Heintchezalaar ingat bahwa jalan Slamet Riyadi itu dulunya bernama Jalan Wilhemina. Di jaman Jepang namanya berubah menjadi Jalan Purwosari Weg, kini bernama Jalan Slamet Riyadi.

Adapun kereta apinya dulu hanya satu gerbong, ditarik 6 ekor kuda. Ini aneh, kata Heintchezalaar tertawa. Baru 5 tahun kemudian tepatnya 1905, datang loko beneran dengan tenaga batubara. Uap lokonya mengepul hitam, jalannya pelan, persis seperti jalannya puteri Solo. Dulu ada banyak halte. Berangkat dari halte Vastenburg, kereta menuju halte Kauman, lalu halte Derpoyudo Nonongan, halte Pasar Pon, halte Sriwedari, halte Pesanggrahan Ngadisuryan, stasiun Purwosari dan berakhir di Gembongan Kartosuro.

Kata Opa Heintchezalaar, hanya orang asing, saudagar pri­bu­mi dan bangsawan keraton yang sering naik kereta ini, rakyat jelata takut karena tak punya uang. Rakyat naik dokar, andong atau gerobak sapi. Pada saat itu jalanan masih nyaman dilalui karena banyaknya pepohonan besar sehingga tidak panas. Penduduk yang berdiam di pinggir jalan selalu menyediakan kendi air untuk musafir yang kehausan.

Esok pagi lagi, Jalond itu ‘sobo turut lurung’ dari Jurug, menyusuri pinggir kali Bengawan Solo melewati Kampung Sewu, Pasar Kliwon hingga Gading dan masuk keraton Solo. Hari-hari selanjutnya mereka menyusuri di hampir 51 Kelurahan di kota Solo. Sungguh sebuah perjalanan selama 2 minggu yang sangat menawan. Hawa di Solo cukup panas sehabis musim hujan, tetapi tak mengurangi gairah mendapatkan data-data yang menarik.

Sampai terdesak waktu, Ni Ngoro dan Heintchezalaar membuka catatan pinggiran, maksudnya pinggir kali dan pinggir jalan dalam rangka “sobo turut lurung kota Solo”. Keduanya gotong royong membuat jalinan cerita tentang lahirnya kota Solo hingga mencatat banyaknya situs-situs yang hilang tanpa makna.

Solo mulai tumbuh sebagai desa becek pada 1745 ketika PB II memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Ni Ngoro menulis awal-awal ceritanya sbb: Sebelum ada kerajaan Surakarta, desa Sala sering banjir. Penduduknya belum banyak, su­a­sananya sepi, jika malam se­nyap ka­rena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi se­habis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlan­tai tanah dan beratap ilalng.

Heintchezalaar tersenyum membaca kata awal tulisan Ni Ngoro. Lelaki cerdas itu memang bisa berbahasa Indonesia dari ajaran mamanya. Ia minta Ni Ngoro mengurai bagaimana Sala kini disebut Solo, sedangkan pemerintahan formalnya disebut Surakarta. Konon kata Solo hanya permudahan ejaan Bau Soroh, jabatan abdidalem keraton yang mengurusi pelabuhan sungai Bengawan di Bandar Beton. Pendatang sulit mengeja kata Soroh dan terpeleset menjadi Sala, hingga akhirnya Bau Sorohnya disebut Sala.

Kepindahan raja dibarengi pergantian nama kerajaan Kartasura menjadi Surakarta, kotanya disebut Sala sesuai nama desa Sala. Sungai Bengawan namanya ditambah Sala. Jadi sungai Bengawan Sala yang memberi nama adalah PB II, seru Heintchezalaar. Dulunya sungai Bengawan Sala itu hanya bernama sungai Bengawan saja.

Eyang Kanjeng membenarkan penamaan itu. Beliau ikut membantu memilahkan pemben­tukan nama kampung di Solo yang diambil dari kebiasaan, karakter, logat baha­sa atau kepentingan politik. Pertumbuhan Solo juga dikotak-kotakkan dalam satu ko­muninitas. Misalnya komunitas China di Mbalong, sedangkan keturunan Arab di Pasar Kliwon.

Di Banjarsari, Belanda menamakan Villa Park. Daerah ini cukup indah, sejuk dan nyaman. Dulu pernah rusak karena dipakai Pasar Klithikan atau Pasar Maling. Sekarang dibuat hampir menyerupai jaman Villa Park. Ba­ngunan loji milik none-none londo masih tersisa. Opa Heintchezalaar pernah tinggal di Villa Park ini sekitar 6 bulan pada tahun 1930-an sebelum dipindah ke Benteng Vastenburg di Gladag.

Sewaktu Jalond sobo di Kauman, didapati pembentukan nama berdasarkan penguasa, tokoh atau orang terhormat disitu. Disana ada kampung Modinan. Dulu memang tempat tinggal para modin. Sekarang, Pak Modin-nya masih ada, tetapi tidak lagi tinggal disini. Di Ketibanoman, nama kampung di jalan Trisula ini diambil dari nama Bupati Keraton bernama Ketib Anom yang tinggal disini. Nama daerah Intip Kuningan pun demikian. Dulu ditinggali Raden Intip Kuning. Disini banyak orang yang magersari. Di dukuh Trayeman, dulu tinggal Raden Trayem. Di Dukuh Sememen, ditinggali Kanjeng Sememi. Sedangkan di Dukuh Pringgokusuman, dulunya tinggal KRT Pringgokusuma. Di dukuh Kamitan, dulu tinggal tokoh batik Haji Kamit, orang paling kaya disini.

Yang membuat mereka tersenyum adalah Kampung Keplekan, lokasinya paling timur, tepat di belakang gedung BCA. Sekarang sudah menjadi daerah perluasan Pasar Klewer. Nnamanya Keplekan meski dekat dengan Masjid Agung dengan penduduk para santri. Tetapi setiap hari ada saja orang yang bermain judi kartu keplek disini. Kenapa para santri tidak marah? Sebab yang bermain adalah para bangsawan keraton, sehingga daerah ini dinamai Kampung Keplekan. Cecck ceck ceck.

Heintchezalaar ingin meneruskan cerita tentang Kalurahan lain di Kecamatan Pasar Kliwon. Misalnya Kedunglumbu atau Baluwarti. “Daerah itu punya cerita legenda yang sangat hidup. Aku mau membuatnya menjadi sebuah novel,” elak Ni Ngoro menolak.

Bagi Ni Ngoro, kisah perseteruan segita Gladag sangat menarik. “Gladag itu perempatan, bukan segitiga,” bantah Heintchezalaar. Namun Ni Ngoro punya asumsi sendiri bahwa segitiga yang dimaksud bukan pertigaan jalan, tetapi perseteruan segitiga sekaligus kongkalingkong antara Raja Paku Buwana, pemerintah Belanda dan Kadipaten Mangkunegaran. Gladag akan dijadikan simbol perseteruan itu oleh Ni Ngoro. Heintchezalaar tertarik mendengar asumsi Ni Ngoro.

“Di Gladag pula, dua budaya saling beradu, budaya Jawa dan Budaya Eropa. Bukti-bukti bisa dilihat dari bangunan gedung yang masih tersisa. Lihat, di satu wilayah berdekatan, ada bangunan keraton, ada Mesjid Agung, tetapi juga ada Javache Bank, Benteng Vastenburg, Gereja Kalam Kudus, kantor Gubernur Jendral Belanda (sekarang Balaikota), dan rumah dinas Gubernur (sekarang BNI 46). Daerah ini bukit adanya corak 2 budaya, Jawa dan Belanda yang dipaksakan beradu di Gladag.”

“Wah benar. Setelah Belanda membangun Vastenburg tahun 1775, raja Solo langsung mendirikan Panggung Sanggabuwana tahun 1782. Bentuk diplomasi sang raja, panggung itu untuk upacara ritual saat Ratu Selatan berkunjung ke keraton. Padahal tujuannya saling mengintai gerakan militer masing-masing! Hebat!!! Jika aku hidup di jaman itu, kemana aku memihak? Wah… aku tak sabar, buatlah artikel Perseteruan Segitiga Gladag, Ni!” pinta Heintchezalaar yang disanggupi Ni Ngoro.

Selanjutnya Heintchezalaar membuka catatan sejarah kampung Kadipolo. Di kampung ini, ada Pakde, kakak mamanya yang tinggal disini. Menurut Pakde, pembentukan nama Kampung Kadipolo sa­ngat unik. Pertamanya, kampung ini bernama Talangwangi. Waktu membangun keraton, raja mendengar tanah desa ini berbau wangi. Raja ingin keratonnya diurug tanah ini. Penduduk diwajibkan memberi upeti tanah ini dan langsung diantar untuk diurugkan di rawa-rawa desa Sala. Karena rawa yang diurug sangat besar, penduduk sangat kele­lahan. Istilah Jawanya seperti “koyo dipolo” (dipiloro/disakiti, dicambuk). Maka kam­pung di desa Talawangi itu akhirnya disebut Kampung Kadipolo.

Isteri Kanjeng yang penduduk asli kampung Talangwangi pernah mendengar cerita turun temurun. Untuk mengangkut tanah, mereka gunakan gerobag. Dalam sehari serombongan penduduk harus mengangkut sebanyak 5 kali. Jarak tempuhnya sekitar 3 km. Karena keraton harus selesai dibangun 1 tahun, kerja bakti ini dilakukan secara marathon. Bayangkan, tahun 1744 pasti belum ada angkutan truk dan jalan mulus. Begitupun, penduduk desa juga masih sedikit. Apakah tidak ada upah? “Namanya juga upeti, makan cari sendirilah. Maka koyo dipolo itu!” jelas Ni Ngoro.

“Seperti apa bau wangi tanahnya?” tanya Heintchezalaar. “Mungkin seperti kembang telon (bunga 3 macam/warna). Maklum banyak tumbuh bunga-bungaan di Talangwangi.”

Dalam catatan Ni Ngoro, tanah bagus di dekat desa Sala justru dihuni patih keraton. Letaknya sekarang di Kepatihan. Daerah ini termasuk kampung paling tua. Dibangunkan untuk patih Kasunanan Surakarta, KRA Sasraningrat tahun 1769. Sang Patih memba­ngun rumahnya di Jalan Sanggihe, Kepatihan Wetan. Karena rumah patih, daerah ini disebut Kepatihan. Sekarang sebagian areal rumah kepatihan ini dipakai oleh kantor Kejaksaan.

Suatu kali, Ni Ngoro dan Heintchezalaar bertengkar. Heintchezalaar ingin bercerita secara runtut antar kampung, tetapi Ni Ngoro ingin mengurutkan berdasarkan kelompok asal-usul dan tahun kelahirannya. “Kalau begitu, kita bahas Baluwarti. Itu kampung bolwerk, sangat seru di balik tembok tinggi keraton!” seru Heintchezalaar. Ia sangat terpesona oleh budaya yang masih sangat ‘jawani’ disini. Apalagi datanya diperoleh dari keluarga Kanjeng Mloyomiluhur.

Heintchezalaar tertawa geli ketika tahu bahwa kata Baluwarti berasal dari bahasa Belanda bolwerk yang artinya adalah "benteng". Asal kata dari bahasa Belanda itulah yang mengawali keingin-tahuan Heintchezalaar untuk mengaduk-aduk topinimi daerah Solo, yakni sejarah asal usul pembentuk nama suatu daerah. Ia merasa bangga sekali jika ada penamaan daerah yang berbau Belanda-Jawa.
Heintchezalaar tertawa geli oleh nama kampung yang berasal dari bahasa atau nama orang Belanda yang terjawakan, lalu berubah ejaan sesuai lidah Jawa. Kata overste, di lidah Jawa jadi obrus, lalu disebut Kampung Ngebrusan. Kampung Beskalan dari kata Ambtenas Belanda ber­pangkat Beskal. Nama Kampung Jageran berasal dari rumah serdadu Be­landa bernama Jager. Kampung Petoran diambil dari orang Belanda di kampung ini bernama Petor. Kampung Jurnasan ditinggali Jurnas, Kampung Kestalan berasal dari kandang kuda yang bahasa Belandanya Stal.
Ni Ngoro jengkel, Heintchezalaar terus tertawa tiada henti. Maka ia kembali membahas Kampung Baluwarti. Kini mereka berdebat tentang makam Kyai Gede Solo III yang makamnya berada di pojok Baluwarti. Tokoh inilah yang paling berpe­ngaruh atas berdirinya keraton di tanah desa Sala.

Heintchezalaar menganggap Kayi Gede Sala sebagai pahlawan pembela rakyat sejati. Tanpa perannya, rakyat desa Sala yang tergusur pembangunan keraton, tak akan mendapat ganti rugi. Mereka hanya diberi kayu gelondongan. Demo rakyat Kyai Gede Sala diwujudkan dengan membuka sumber air dan menaburkan ikan laut hidup sehingga tanah desa Sala menjadi lautan rawa-rawa. Itulah bentuk demo rakyat di jaman kuno.

Ni Ngoro bersikeras bukan demikian cerita yang sebenarnya. Ia mengingatkan nama Raden Pabelan, pemuda yang menodai Puteri Hemas anak raja Hadiwijaya. Don Yuan itu ditemukan sudah menjadi bathang (mayat) di sungai dekat rawa-rawa desa Sala. Namun Heintchezalaar yakin bahwa asumsinya lebih realistis. Kyai Sala dianggap pintar berdiplomasi mengulur waktu hingga raja membayar ganti rugi dengan cerita mistis Raden Pabelan, putera Tumenggung Mayang yang ketahuan dibunuh hulubalang keraton dan mayatnya dihanyutkan di sungai.

Jelas bahwa tenggang waktu Raja Hadiwijaya berkuasa dengan penemuan mayat berselisih hampir dua abad. Raja Hadiwijaya berkuasa tahun 1568-1582, sedangkan pembangunan keraton tahun 1744, saat dimana Kyai Gede Solo bertapa bertemu dengan Raden Pabelan.

Maka Ni Ngoro dan Heintchezalaar itu berdebat lagi. “Abad 18, tanah Jawa masih kental dengan aroma mistis!” ujar Ni Ngoro. Heintchezalaar tertawa keras. “Bagiku, utusan PB II seperti Sindurejo, Hohendorp, Pringgalaya, Hanggawangsa, Mangkuyuda dan Puspanegara adalah para makelar yang gampang diping-pong Kyai Gede Sala!” ejek Heintchezalaar

“Lihat bukti toponimi Kampung Bathangan dan Sangkrah. Kampung Bathangan berasal dari penemuan bathang (mayat) Raden Pabelan, sedangkan Kampung Sangkrah berasal dari tempat mayat Raden Pabelan ditemukan. Kini, makamnya masih dikeramatkan, berada tepat di tengah keramaian gedung Benteng Plaza dan PGS!” jelas Ni Ngoro.

“Kamu percaya pada karangan Kyai Gede Sala? Ia bilang setelah tiga hari tiga malam bertapa, ia bermimpi ketemu Raden Pabelan yang sudah terkubur 2 abad lamanya. Bualan macam mana itu, jangan-jangan hanya ketemu wewe gentayangan?” Heintchezalaar tak dapat menahan tawa ngakaknya menyanggah cerita di buku Babad Tanah Jawa.

“Hei Boy, kamu Londo yang tak bisa mengerti kejawen,” balas Ni Ngoro. Lalu Ni Ngoro berkhotbah tentang kejawen untuk mengingatkan darah Mangkunegaran yang menempel pada Heintchezalaar.

“Namaku Ruud Rden Heintchezalaar. Kamu tahu Ni, Rden itu singkatan Raden menurut mamaku agar aku tak lupa pada eyang Kanjeng dan tanah Jawa. Tetapi aku hidup di Belanda, aku sekolah fisika dan otakku terbiasa berpikir matematis! Sudahlah, lebih baik kita membahas kampung lain. Dengarlah, kubacakan catatanku….”

Heintchezalaar membaca catatannya keras-keras. “Nama Kampung Gadhing bukan berarti gudang gading gajah. Inilah domisili abdi dalem yang berkewajiban Gadhingan. Gadhingan adalah para te­tua, penasehat dan spiritualis keraton yang ‘lelaku’ untuk tujuan suci lahir ba­thin bagi kepentingan keraton. Maka daerah itu disebut Kampung Ganding.” Ni Ngoro langsung menanggapi sambil berseru, “Percaya tidak, itulah kejawen!” Heintchezalaar tersenyum kecut.

Ia langsung membaca catatan pembentukan nama kampung dari kelompok abdidalem berdasar­kan keahlian. Gandekan daerah domisili para gandhek, Wiji Pinilihan domisili prajurit magang hingga terpilih diangkat tetap. Saragenen domisili prajurit Kaparak Sarageni. Jayatakan, domisili prajurit Tohpati (berani mati). Masih ada lagi Jagalan, Gajahan, Carangan, Kepunton, Baturana, Serengan, Kerten, Kalangan, Kemlayan, Wirengan dll.
Ni Ngoro mengganti bahan bicara dengan menyebut nama Mangkunegaran. Ia yakin, Heintchezalaar pasti tertarik. “Mangkunegaran juga punya andil dalam penamaaan kampung-kampung di Solo. Kampung Margoyudan, tempat latihan perang legiun Mangkunagaran.” Setabelan berasal dari salah eja lidah Jawa menyebut meriam sebagai Setabel. Gudang penyimpatan setabel Mangkunegaran dinamakan Setabelan. Para Punggawa Nalapraja dari luar kota diinapkan jika akan menghadap Mangkunagara, kampung inap ini disebut Punggawan. Kebiasaan pangeran timur (masih muda) nongkrong, dinamai Kampung Timuran. Tetapi disini juga tinggal Pangeran Timur.
Ni Ngoro memilah penamaan kampung berdasarkan kondisi alam. Misalnya, akibat sering banjir disebut Tambaksegaran karena air luberan kali Pepe membajir seperti segara (laut). Rumah gedung (Jw-loji) yang batal (Jw-wurung) dibangun karena daerahnya sering bajir disebut Kampung Lojiwurung. Kampung Pringgading berasal dari kata pring kuning gading yang banyak tumbuh disini. Kampung Mesen karena banyak alang-alang, sehingga penguasa memungut ongkos satu sen sebagai emes-emese bagi peternak yang angon disini. Sedang lokasi gudang pari disebut Kampung Keparen.
Heintchezalaar meletakkan pena dan catatannya. Ia mengajak berbelanja di Pasar Klewer untuk membeli oleh-oleh karena esok pagi akan pulang ke Belanda. Sambil berjalan ke Klewer, keduanya main tebak-tebakan sambil mengingat-ingat data yang sudah tercatat. “Kau ingat, dari mana nama Pasar Klewer?” Heintchezalaar yang ditanya mengangguk.

Cerita asal Klewer, awalnya para bakul menjajakan da­gangan kain jarik dan selendang yang ditaruh di pundak. Kain dagangannya menjutai-njuntai yang istilah Jawanya ‘pating klewer’. Maka pasar ini disebut Pasar Klewer. Lalu asal kata Pasar Dhawung. Ceritanya sebermula seorang bakul jamu berjualan di bawah pohon dhawung. Bakulnya terkenal manis, jamunya manjur sehingga langganannya banyak. Ini merangsang orang lain berjualan di bawah pohon dhawung, maka kampung dan pasar itu disebut Dhawung.

Kalau Pasar Senggol Purwosari, pasar tiban ini hanya ada di tiap malam. Pasarnya sempit, pengunjungnya banyak, sehingga tampak berdempetan. Setiap orang berdesakan sehingga sering bersenggolan dengan yang lain. Para muda-mudi memakainya khusus untuk senggol-senggolan sebagai acara pendekatan mencari jodoh.

Sepulang dari berbelanja, mereka melanjutkan mengarsip data pembentukan nama kampung yang berasal dari penokohan berdasarkan tempat tinggal. Penamaan tokoh ini menjalar dimana-mana. Mereka hanya memberi akhiran an. Misalnya, tempat tinggal Soemowinoto, daerah itu lalu disebut Soemowinatan. Rumah Kanjeng Mloyosumo, daerahnya jadi Mloyosuman. Kampung Singasaren, kampung ini ditinggali Pangeran Singosari. Kampung Jayanegaran, dulu rumahnya Kanjeng Jayanegara. Juga Kampung Danukusuman, Pringgalayan, Cakranegaran, Wira­gunan, Purwadiningratan dsb.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika mereka merasa perut sangat keroncongan. Ada baiknya makan nasi liwet di pingir jalan. Esok pagi mereka harus sowan ke semua eyang-eyang karena Heintchezalaar akan berpamitan pulang ke Belanda.

Hari selajutnya Ni Ngoro harus mengerjakan sendiri hasil temuan selama Sobo Turut Lurung di kota Solo, demikian pula Heintchezalaar. Keduanya sepakat untuk bertemu bulan depan, Heintchezalaar berencana mengambil libur panjang untuk meneruskan cerita dan gambar toponimi kampung di Solo.

Saat melepas Heintchezalaar di bandara, Ni Ngoro membisikkan alunan nada yang menggetarkan sanubari Heintchezalaar.

Kita adalah sejoli liar yang sangat nekad
Menelusuri kali ke kali
Menjelajah gang-gang pinggiran
Berjalan tanpa letih
Bekerja tanpa selesai
Kita meronce keping makna yang akan terkubur
Maka jangan pernah berhenti jika itu untuk keabadian
Kalau kau tak kembali
Aku takut ada yang hilang, aku takut ada kekalahan

Heintchezalaar tersenyum, terasa Ni Ngoro jatuh cinta tak alang kepalang. Kepadakukah? Heintchezalaar menebak-nebak. Ia memeluk Ni Ngoro, lalu berbisik.

Cintailah Ni, bukan hanya kepada nama kampungmu.
Aku pasti pulang
Ke tanah dimana ada darahku, yang mengalir disini.
Tunggulah, Ni.

Selesai

Keterangan untuk redaksi:
1. bahan-bahan perjalanan ‘sobo turut lurung’ ini masih ratusan halaman, dibumbui cerita legenda nyata dari daerah tersebut).
2. Film dokumentasi toponimi Sobo Turut Lurung episode Laweyan, episode Kedunglumbu dan episode Kemlayan sudah disampaikan kepada walikota Solo Jokowi.
3. Episode lain baru akan dibuat menunggu dana.

Solo, 28 Oktober 2008
Ni Ngoro - Petualang
Oro Republic of Chocholate
Jl. Imam Bonjol 1
Solo
Sobo Turut Lurung di Solo (2)
JOWO LONDO DI GANG TUA
Kampung Lojiwurung, Nama yang Hilang


Kampung Baru adalah salah satu kalurahan di kecamatan Pasar Kliwon Surakarta. Sejarahnya yang sangat menarik di Kalurahan ini, dihilangkan tanpa makna oleh kroco-kroco Balaikota Solo yang tak mampu menghargai makna sejarah.





Ada dua manusia nekad yang merasa bisa tampil beda. Ni Ngoro, cewek Indonesia dan Heintchedoocth, pria Jawa-Belanda. Keduanya pernah bersama-sama ‘sobo turut lurung’ (dolan menyusuri berbagai jalanan dan gang-gang) di kota Solo untuk mencari tahu asal usul penamaan kampung-kampung di Solo.

Heintchedoocth dan Ni Ngoro menuliskan tentang kisah mereka saat sobo turut lurung di kampung yang berada di tengah kota Solo, kalurahan dimana ada kantornya walikota, balaikota. Walikota Joko Widodo yang dipanggil Jokowi, ingin membangun Solo ke depan sebagaimana adanya Solo gaya lama. Ia sukses mengadakan pertemuan para walikota sedunia dari 50-an Negara. Tetapi entahlah, nama-nama kampung dan gang-gang di Solo tidak dilirik. Nama gang-gang masih nyontek nama burung, nama pulau atau bunga dsb, jadi masih terkesan abu-abu.

Kalurahan kota dimana Jokowi berkantor yang dimaksud Heintchedoocth adalah Kalurahan Kampung Baru. Ni Ngoro paling sering berkeliaran dengan Heintchedoocth di daerah ini. Kalurahan ini terdiri dari 6 RW. Batas Kampungnya dari Gladag ke selatan sampai kreteg Arifin, ke barat sampai Pring Gading, ke utara hingga pertigaan jalan Imam Bonjol - jalan Slamet Riyadi dan ke timur sampai ke Gladag lagi.

Heintchedoocth pernah menginap di Hotel Merdeka, dulu bernama Hotel Slier, hotel pertama yang ada di Solo pada jaman Belanda. Letaknya persis di depan benteng Vastenberg. Hotel ini masuk kalurahan Kampung Baru, namun kini tampak kosong, meski rupanya sering dipakai Bank Indonesia Solo untuk ‘tukar uang baru’ saat lebaran tiba.

Saat mengelilingi kalurahan Kampung Baru, mereka mencatat adanya perkantoran seperti gedung Balaikota, ke utara gedung BI, lalu Kantor Pos, Bank Bukopin, gereja Protestan hingga perempatan Gladag. Dari pertigaan jalan Imam Bonjol, tampak Bank Haga, Bank Jateng, Penjara Solo, Bank Mandiri, Asuransi Bumi Putera, Bank Niaga dan gedung tertinggi Bank BHS yang masih kosong sejak dilikuidasi..



Bagi Heintchedoocth, nama Kampung Baru terasa tidak masuk akal. Wilayah ini berseberangan dengan Keraton Solo dan Benteng Vastenberg. Pasti daerah ini termasuk wilayah tua seumur berdirinya keraton Solo. Heintchedoocth menanyakan, mengapa kalurahan ini bernama Kampung Baru? Bukankah wilayah yang sangat strategis sebagai pusat perkantoran ini bukan kampung yang baru dibangun?

Dari tanya sana-sini, konon di jaman pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini termasuk daerah banjir. Sebenarnya pemerintahan Kompeni Belanda yang terus memantau perkembangan keraton Solo, sangat berminat mendirikan banyak gedung-gedung di wilayah ini karena sangat dekat dengan keraton. Apalagi sejak PB II sendiri tahun 1747, juga berminat membangun beberapa gedung untuk berbagai kepentingan, termasuk mengawasi kandang binatang hutan milik keratin yang juga ada di sini.

Tetapi baik raja maupun Belanda, semuanya membatalkan membangun daerah ini karena terus dilanda banjir. Loji-loji yang direncanaknan dibangun, urung didirikan disini. Akhirnya Kampung ini dinamai LOJIWURUNG. Hingga sekarang, keraton Surakarta masih menyebut wilayah ini Lojiwurung, bukan Kampung Baru.

Nama Kampung Baru dipakai setelah agresi Belanda tahun 1948. Yang memberi nama Kampung Baru, hingga kini pun masih gelap. Yang jelas sejak tertip administrasi ketika Raja Solo, Sunan PB XII bukan lagi sebagai gubernur dari Daerah Istimewa Propinsi Surakarta, Surakarta dimasukkan dalam wilayah Jawa Tengah dan menjadi Karesidenan Surakarta, Kalurahan Lojiwurung diubah menjadi Kalurahan Kampung Baru oleh para pegawai Balaikota Solo. Nama baru ini menghilangkan nama Lojiwurung.

Sebelum dinamai Lojiwurung, wilayah ini pernah bernama Krapyak. Krapyak artinya kandang binatang liar. Memang, dulu wilayah ini dijadikan kandang-kandang binatang liar seperti Macan, Babi hutan, Beruang, Menjangan, Sapi, Banteng dan Serigala dll. Binatang itu hasil buruan raja, para pangeran, bangsawan dan prajurit keraton yang suka berburu ke hutan.

Jika di Spanyol ada jagoan gladiator yang diadu melawan Banteng, di keraton Solo juga ada gladiator. Aduan manusia (biasanya manusia hukuman atau para ksatria), diadu melawan binatang hutan yang dikandangkan di Krapak ini. Jika ada aduan manusia melawan binatang di Alun-Alun, rakyat akan datang berduyun-duyun. Kalah atau menang, binatangnya langsung disembelih, lalu dibagi-bagikan untuk rakat. Adapun anak turunan para gladiator Jawa ini sudah buta pada kejuangan nenek moyangnya, sehingga tidak lagi ketahuan juntrungnya.

Selain itu, jika keraton punya kerja atau pada tanggal-tanggal tertentu dari hitungan Jawa seperti Muludan dan Suran, hewan liar yang dikandangkan di Krapak (lokasinya berada di belakang Penjara Solo, masuk RW I Kalurahan Kampung Baru), pasti hewan-hewan ini disembelih dan dagingnya diperebutkan rakyat. Binatang liar itu di gelandang dan disembelih di daerah yang kini bernama Gladag. Dari Krapyak, hewan itu ditarik paksa menggunakan tali dadung besar. Orang-orang mengatakan, hewannya di-gladag (diseret paksa). Maka daerah itu dinamakan Gladag.

Namun Belanda tetap menggunakan tanah Kampung Baru untuk membangun gedung-gedung penting karena dekat dengan keraton. Di antaranya gedung Balaikota sebagai kantor Gubernuran dan Javache Bank (kini Bank Indonesia). Adapun nama Krapyak kini tinggal kenangan karena tidak ada alamat surat yang bisa sampai di Kampung Krapyak.

Jalan-jalan di Kampung Krapyak sudah diubah menjadi jalan yang diberi nama jalan Frores. “Nama jalan Flores ini menggelikan, sangat aneh dan lucu karena tak bermakna sesuai dengan histori dan faktor-faktor alam lainnya,” ujar Heintchedoocth. Kampung Krapyak sendiri masuk di wilayah Kalurahan Kampung Baru RW I. Daerah ini malah terkenal dengan nama Balaikampung, sebab balaikampung Kalurahan Kampng Baru terletak di Krapyak ini.

Di timur Krapyak masuk wilayah RW II ada daerah yang bernama kampung Kabupaten. Dinamai Kampung Kabupaten karena dulu, ada bupati di jaman Belanda yang bermukim disini. Bekas rumah dinasnya kini menjadi gedung Bank BPD Jateng atau Bank Jateng.

Di selatan gereja Protestan, dulu ada kantor Polantas, namun kini sudah dibangun sebagai gedung Bank Bukopin. Di selatannya berdiri Kantor Pos Solo. Tanah kantor pos ini dulunya merupakan rumah loji milik seorang warga Belanda. Di sebelah selatannya inilah berdiri hotel Slier tempat Opa Heintchedoocth suka menginap.

Satu bangunan joglo tua yang direnovasi mewah adalah Hotel Kusuma Sahid. Dulu lokasi ini milik putera PB X, KPH Kusumayuda yang pernah hampir menjadi PB XI. Mengapa hampir? Menurut cerita, Sang Pangeran terlalu lama mengeram di dalam kandungan Ibu Suri melebihi batas 9 bulan, bahkan hampir setahun. Padahal ada garwa padmi atau isteri raja lainnya yang juga mengandung dan melahirkannya tepat 9 bulan. Dialah putera raja yang akhirnya menjadi PB XI karena lahir lebih dulu beberapa hari dari Pangeran Kusumayuda. Ada gossip yang mengabarkan bahwa garwa padmi tadi minta bantuan dukun agar Pangeran Kusumayuda jangan lahir dulu sebelum anak yang dikandungnya lahir. “Wah, benar atau tidak, ya?” seru Heintchedoocth geleng-geleng kepala mendengar cerita ini.

Menurut tradisi, pangeran yang lahir lebih dahulu, dialah yang berhak atas tahta istana. Andai Pangeran Kusumayuda lahir 9 bulan dalam kandungan, bukan setahun, beliaulah PB XI-nya, karena saat itu kandungan garwa padmi baru 6 bulan. Adapun daerah rumah sang Pangeran kini bernama Kusumayudan, sedang rumah Kusumayuda pernah dipakai sebagai gedung Universitas Cokroaminoto sebelum menjadi Hotel Kusuma Sahid.

Di hotel Kusuma Sahid ini pula, almarhum Sunan PB XII yang wafat tahun 2004, menjalankan roda kerajaan Surakarta. Selama menjadi raja sejak 1945-an hingga wafatnya, PB XII melakukan topo broto “tidur di luar tembok keraton”. Mungkin sebagai tanda bahwa dirinya bukan lagi maharaja yang berkuasa, karena Indonesia telah merdeka. Sukamndani Sahid Gitosardjono menyediakan kamar khusus secara gratis kepada sang Sunan, lengkap dengan segala keperluannya. Bagi Sukamndani, ini tidaklah membebani, bukankah tanah hotel bekas milik paman Sunan, yakni Pangeran Kusumayuda?

Di Kalurahan Kampung Baru ini, Ni Ngoro dan Heintchedoocth tidak menemukan banyaknya nama-nama dukuh atau wilayah. Di RW I – III hanya ada nama Krapyak dan Kadipaten, tetapi nama itu lama-lama hilang. Di jalan ini ada pemain sepakbola yang ngetop di era 1980-an, namanya Didik Darmadi. Di sebelah selatan rumah Didik Darmadi adalah rumah Pangliman ABRI sekarang, Jendral Joko Santoso.

Jendral yang berparas seperti orang Timor ini putera asli Kampung Baru. Ayahnya bernama Joko Suyono, seorang guru. Semua puteranya diberi nama Joko. Ada Joko Santoso (sulung/Pangab), ada Joko Pitoyo yang menjabat Kepala Perairan DKI, si pengurus banjir Jakarta. Di Solo, keluarga ini hidup sederhana. Rumah masa kecil Jendral Joko Santosa sekarang sudah dibangun cukup layak, ditempati adik perempan pak Jendral.

Di dukuh Kadipaten, orang terkenal adala keluarga juragan batik Harjosumarto. Keluarga ini kian tenar setelah salah seorang anaknya, Suhendra pernah berjuang menjadi kandidat walikota Solo sekitar tahun 2000 lalu, namun kalah dalam pemilu di DPRD. Sebagian rumah Harjosumarto dijual, lalu dikuasai ketrunan Cina pedagang batik Pasar Klewer yang membangun rumah besar sekaligus menjadi gudang batik.

Jalan Ronggowarsito Kampung Baru merupakan jalan baru yang dibangun tahun 1970. Hanya ada 3 pemilik rumah yang diberi ganti rugi, selebihnya gratis. Maklum tanah di sekitar Balaikota, saat itu hanya berstatus HGB, bukan hak milik. Mereka yang mendapat ganti rugi adalah dukun Mangun Wiguna, janda Hendro dan tokoh PNI Soemowinoto (sudah almarhum semua). Tokoh Soemowinoto adalah veteran pejuang 45. Ia pernah ditugasi mencetak Uang Negara Darurat pada awal kemerdekaan saat ekonomi Indonesia belum stabil.

Cerita adanya uang yang dicetak di Solo ini sangat menarik. Heintchedoocth tidak habis mengerti, ada uang yang dicetak di kota Solo. Ternyata uang ini hanya berlaku selama setengah tahun. Dicetaknya hanya dengan kertas payung. Saat itu sekitar tahun 1946. Ceritanya, Komandan Sub Teritorial Commando sebagai Pangliman Divisi IV, Letnan Kolonel Mursito, bersama penguasa milter lain seperti Slamet Riyadi, Gatot Subroto dan Achmadi (entah apa pangkat militernya dulu), mengizinkan dicetaknya uang lokal yang hanya berlaku di daerah Karesidenan Surakarta.

Uang ini berlaku effektif sebagai alat tukar di Karesidenan Surakarta, yakni kota Solo, Klaten, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo dan Boyolali. Sayangnya Heintchedoocth dan Ni Ngoro gagal mendapat dokumen uang kota Solo itu. Keturunan Soemowinoto tidak memiliki arsip bukti-bukti Uang Negara Darurat itu. Maklum, dicetaknya hanya memakai kertas payung. “Wa, sudah dimakan rayap…,” tukas Sundari Soemowinoto, salah seorang anak dari 16 anak Soemowinoto dari satu orang isteri (cek cek cek. Kalau jaman sekarang punya anak 5 saja sudah jadi bahan gunjingan).

Nah tokoh yang mencetak uang itu adalah Soemowinoto ini, waktu itu pangkat militernya Letnan II. Lokasi percetakannya di Gading (sekarang milik Soto Gading). Rumah Soemowinoto di sebelah kantor kalurahan Kampung Baru ini, sedangkan Letkol Mursito rumahnya di sebagian dari rumah Dadapmantep, orang paling kaya di bagian selatan Kampung Baru. Kedua tokoh kota Solo ini tidak terabadikan dalam penamaan wilayah, dikalahkan penamaan nama burung, nama bunga atau nama gombal lainnya.

Di jalan Ronggowarsito Kampung Baru, sayangnya jalannya tidak lurus, memotong serong rumah-rumah, sehingga bangunan rumah di jalan ini tidak simetris. Jalan tengah kota itu tampak gersang, tak ada sebuah pohon pun yang tertanam. Ada sebagian pinggir jalan yang masih berupa rumah reot, sehingga tidak enak dipandang.

Di gang-gang sempit, ternyata tengah kota ini menyimpan rumah-rumah kumuh padat penduduk. Bangunan reyot, gang sempit, got mampet, WC bau, air sumur buthek, ramainya tangis anak-anak dan pertengkaran warga gara-gara sesendok nasi, mewarnai kehidupan warga yang papa. Mulut Heintchedoocth yang membingkai otaknya dengan kemiskinan di Indonesia, kadang menyesalkan tidak adanya upaya perbaikan.

Heintchedoocth dan Ni Ngoro maklum jika dulu kampung ini bernama Lojiwurung, yakni rumah-rumah gedong yang batal didirikan karena selalu banjir. Di tengah gang-gang sempit ini, tanahnya memang rendah, lebih rendah dari kali kecil penampung air buangan. Jangan heran jika hujan, daerah ini selalu banjir. “Itulah banjir peninggalan jaman kuno yang hingga kini masih abadi di Kampung Baru,” ejek Heintchedoocth.

Sewaktu melihat Kantor Balaikota Solo yang pernah disebut sebagai kantor Gubernuran, Heintchedoocth bertanya, mengapa disebut Gubernuran? Tentu tidak mengherankan. Tahun 1928, penguasa Belanda diangkat menjadi Gubernur, sehingga Balaikota pernah disebut Gubernuran. Rumah dinasnya, kini menjadi bank BNI 46, lokasinya tepat di depan Balaikota. Opa Heintchedoocth punya catatan tentang nama-nama Gubernur yang pernah berkuasa di Solo.

Pada class II di Solo, rumah dinas Pak Gubernur dibakar sampai hancur. Sedangkan bekas gedung kantor gubernuran, dibangun lagi tahun 1952 dan kini menjadi Gedung Balaikota Surakarta. Balaikota Solo dibangun dengan arsiteknya Bung Karno. Karpet merahnya juga habis dibakar massa PDIP pada saat Bu Mega kalah lawan Gus Dur pada sidang MPR tahun 1999, padahal karpet itu disumbang langsung oleh Bung Karno.

Balaikota menempati lahan sangat luas, mungkin sekitar 3 ha. Tahun 1960-1983, bagian belakang gedung ini masih berupa pepohonan yang angker. Penduduk di belakang tembok Balaikota sering kesurupan diganggu makhluk halus balaikota. Banyak orang yang sakit mendadak dan sakitnya aneh.

Tahun 1982 bagian belakang balaikota dibangun gedung-gedung perkantoran baru. Makhluk halusnya marah besar. Tembok pembatas yang dipakai sandaran tanah galian, ambruk. Tiga orang anak tewas. Gedung ini masih angker, dimana sampai tahun 1999 sebagiannya habis dimakan si jago merah. Tentang hal hantu-hantu balaikota, Heintchedoocth menanggapinya hanya tersenyum. Dia bilang, hantunya kini berambut hitam, suka mencuri uang lewat korupsi, katanya berseloroh. Gedung Balaikota diperbaiki lagi pada 2002.

Dua jalan yang membelah Kalurahan Kampung Baru adalah jalan Sugiopranoto dan jalan Ronggowarsito. Di jalan Sugiopranoto, dulu bernama jalan Asrama, sebab ada asrama serdadu Belanda, yang akhirnya menjadi asrama para pendeta, bruder, pastur dan suster dari gereja Katholik Purbayan. Disini juga ada Yayasan Marsudirini yang mempunyai ribuan murid dari TK hingga SLTA.

Tepat di belakang Balaikota, berdiri Asmil Denpal Solo yakni Asrama Militer Detasemen Peralatan. Dulu DPLAD singkatan dari Dinas Peralatan Lalu-lintas Angkatan Darat. Selain itu ada juga polisinya tentara, yakni Polisi Militer. Di sebelah utara ada kantor PLN Solo. Satu lagi, penjara kota Solo juga berada di Kampung Baru. Lahannya sangat luas, dikeliling tembok tinggi, itupun masih dipagari kawat berduri. Karena namanya penjara, kedua sejoli ini malas mencari data adanya penjara di tengah kota Solo.

Di bagian selatan Kampung Baru dibatasi sungai Pepe. Di sepanjang sungai dari Kreteg Arifin sampai Pring Gading sekitar sekilo, daerah ini dulu adalah rumah dan halaman milik satu orang, yakni juragan benang lawe Ki dan Nyai Dadapmantep. Daerah ini namanya Kebalen.

Asal usul Kebalen sebagai kemudahan pengucapan ngGebalen. Nama ngGebalen sudah ada pada jaman Jepang masuk Solo tahun 1942. Sebelumnya orang menyebut “Wingking nDalem Kusumayudan” (belakang rumah Kusumayuda). Maklum, wilayah ini masuk daerah kekuasaan Keraton Kasunanan, dimana Putera PB X, Kanjeng Pangeran Kusumayuda bermukim disini. Lahan itu kini menjadi Hotel Kusuma Sahid. Tak heran sekitar Kebalen dulu bernama Wingking Kusumayudan.

Di jaman awal abad 20, Dadapmantep merupakan orang Solo paling kaya. Ia mendapat monopoli perdagangan benang lawe sebagai bahan utama pembuatan mori untuk kain batik. Anak cucunya banyak. Biasanya menjadi juragan batik. Meski kaya, makamnya di Kragilan Bonoloyo, tidak terawat, bahkan jarang dikunjungi anak cucunya. Selain itu, tak ada tanda-tanda namanya diabadikan sebagai nama dukuh, nama wilayah, nama gang atau nama kenangan lainnya.

Selama perjalanan mengelilingi Kampung Baru, Ni Ngoro dan Heintchedoocth tidak menjumpai sebuah situs yang bisa menceritakan sisi geografis, sosiologis atau semacam sejarah yang bisa disebut sebagai awal pembentukan nama Kampung Baru. “Ini nama abu-abu. Sebaiknya nama Kalurahan ini Krapyak atau Lojiwurung saja,” ujar Heintchedoocth penuh semangat. Loji adalah rumah gedung, wurung sama dengan urung atau batal. Tepat sekali jika nama Kampung Baru dikembalikan ke nama asalnya.

“Tetapi nama Krapyak lebih tepat,” ujar Ni Ngoro. Krapyak menggambarkan kandang-kandang binatang hutan liar hasil buruan para Pangeran, bahkan pernah diadu dengan manusia. “Nama Krapak lahir seiring dengan lahirnya keraton di desa Solo ini,” tambah Ni Ngoro. Heintchedoocth menanggapi dengan berpantun:

Sudahlah Ni
Kita hanya sejoli liar
Tak punya nama, tak punya kuasa
Kita berjalan, mencari dan bertanya
Untuk siapa keringat ini mengalir?
Jangan lagi bersilat lidah
Lebih baik bergulat di mesin tulis
Jadi biarkanlah, walau mungkin,
Seribu tahun lagi
Keringat kita… baru terbaca

Solo, 2 November 2008
Ni Ngoro for Heintchedoocth
Sobo Turut Lurung di Solo (3)
Sebuah perjalanan menyusuri kampung-kampung di Solo
JOWO LONDO DI GANG TUA

Dasar meneer Londo punya langkah panjang dan cepat, kaki Ni Ngoro kesandung kerikil ketika mau mengimbangi kecepatan langkah Heintche. Ia tidak terjatuh, namun telapaknya miring hingga betisnya menapak tanah. Sakitnya luar biasa, seperti ada tulang yang terkilir. Saat itu Ni Ngoro dan partner ‘sobo turut lurung’-nya yang asal Belanda Rudd Rden Heintchedoocth, baru turun dari sampan di sungai Bengawan Solo Bandar Beton Gadingan Kampung Sewu. Mereka baru saja bersampan bolak-balik menyeberangi sungai Bengawan Solo.

Meski terpincang-pincang kesakitan, sebegitunya ia menolak dituntun Heintche. Maklum Ni Ngoro kasihan pada Sinyo yang juga tergelincir di pinggir Bengawan di daerah Jurug beberapa jam lalu. Celana jeansnnya robek, kaosnya kotor, lengannya berdarah. Penduduk kampung memberi obat merah, Heintche sudah merasa tidak sakit lagi. Kini ganti Ni Ngoro terkilir, namun ia tak ingin bermanja-manja pada bule bau keju itu.

“Menit ke depan pasti sembuh sendiri. Aku hanya minta kamu jangan jalan cepet-cepet. Langkahmu terlalu lebar bagiku.” Hentche tertawa. “Kamu memang wanita bandel tiada duanya. Ok. Sekarang bisa lanjut jalan? Jy ziek, Ni?” Ni Ngoro melangkah, terpincang memang. Namun ia berusaha tidak meringis. Inilah pribadi yang akan ditunjukkan kepada sinyo yang bangsanya pernah menjajah Indonesia hingga 3 abad. Tidaklah bagus jika rakyat Indonesia masih cengeng di hadapan meneer penjajah. Londo itu tersenyum dan mengikuti langkah Ni Ngoro yang terpincang. Ia mau menuntun, tetapi Ni Ngoro mengibaskan tangan meneer itu.

“Baiknya kita duduk di bawah pohon, lalu meronce cacatan kita. Bukankah disini wilayah Bandar Beton? Ini pelabuhan sungai milik kerajaan Kartasura, tempat dimana Kyai Solo berkuasa!” kata Heintchedoocth. “Kyai Solo menjabat kepala pelabuhan, juga lurah desa. Hingga kini, siapa nama sebenarnya Kyai Solo, tidak diketahui, begitu kan Ni?”

“Kata Solo memang berasal dari permudahan kata bau soroh. Bau soroh jabatan kepala pelabuhan (tetapi apakah dia pula yang menjabat lurah desa Sala-nya). Biasanya orang Madura, Sumatra dan China sulit menyebut Bau Soroh. Lidah mereka menyuarakan Solo,” ujar Ni Ngoro meringis akibat masih sakit di betis kakinya.

“Kampung ini bernama Kampung Sewu. Pak tua di pinggir tanggul tadi bilang, kata Sewu diambil dari nama abdidalem Nayaka Sewu yang tinggal di kampung ini.” Tetapi tadi si juru sampan bilang bahwa asal kata Sewu katanya dulu ada seorang Kyai bernama Sewu bertapa di bawah pohon dekat kantor kalurahan. Ada lagi yang bilang, untuk keselamatan pelayaran di sungai Bengawanm Solo, perlu upacara dengan menggunakan lilin yang buaanyak sampai seperti ada seribu lilin. Padahal ada upacara tabur apel sewu. Yang bener yang mana, ya Ni?”

“Kalau mau cari yang bener, mari ke Pak Lurah!” Serta merta Heintche menolak. “Oh nee, nee, nee. Tidak! Aku ingin data dari rakyat. Aku mau tahu seberapa pintar dan pedulinya rakyat pada lingkungan hidup mereka!” gertak Sinyo itu. Ni Ngoro tertawa. “

Seorang nenek penjual jagung rebus ikut duduk di bawah pohon. Betapa senang Ni Ngoro dan Heintche bisa jajan jagung rebus. Nenek jagung itupun bercerita tentang Kampung Sewu. Katanya dulu bandar Benton ini besar. Ni Ngoro melihat bekas-bekas bandar yang masih tersisa. Banyak pabrik di desa paling ujung timur kota Solo ini. Dulunya banyak saudagar batik di Beton. Kandi, penduduk di Beton, nenek moyangnya adalah juragan batik. Selain membuat batik, depan rumahnya juga dibuka toko. Banyak pabrik batik Laweyan yang menitipkan batik di kiosnya untuk dijual pada para pelayar sungai Bengawan. Dari kios-kios itulah, kain batik diperdagangkan para pelayar di wilayah Jawa Timur dan ke seluruh dunia.

Ulet dan pintarnya penduduk Beton dipamerkan oleh Kandi dengan menyebut tokoh dunia yang berasal dari Kampung Sewu. Soebroto, matan Menteri jaman Suharto adalah ketua OPEC. Ada juga mantan ketua MPR RI, May Jen Daryatmo yang juga asli Kampung Sewu. Sedang etos kerja tinggi diperlihatkan oleh Bah Inco, pendiri Konimex di awalnya yang dibesakan di Kampung Sewu. Konimex menjadi multiusaha setelah managemen dipegang anaknya, Joenaedi Joesoef. Yang paling hebat adalah tokoh yang lepas dari penyembelihan PKI tahun 66. Saat menulis ini, catatannya luntur oleh air keringat. Maklum catatan itu dijepit di celana dan perut. Nama tokoh itu luntur. Padahal nama itu tokoh yang pura-pura sudah mati waktu penyembelihan oleh PKI, biar tidak disembelih lagi. Setelah para jagal pergi, iapun lari dan hidup hingga tahun 2000-an. Ni Ngoro merasa cukup bertualang ahri itu. Kakinya sakit. Ia ingin pijat di betisnya yang terkilir. Kebetulan ada taksi kosong yang lewat.

----0000----

Pagi-pagi yang cerah, Ni Ngoro bersama Heintchedoocth ‘sobo turut lurung’ di Kalurahan Kedunglumbu Solo. Mereka memulai di tengah keramaian mall Beteng Plasa. Letaknya hanya 1000 meter dari utara Balaikota Solo, 1000 meter pula dari selatan keraton dan 1000 meter pula dari Pasar Klewer Solo. Di tengah mall besar yang seramai Beteng Plasa, ada makam yang dikeramatkan kalangan tertentu. Inilah makam Pangeran Pabelan.

Inilah makam Pangeran Pabelan yang diragukan oleh Heintchedoocth? Ceritanya Pangeran Pabelan itulah don yuan yang diperdebatkan Ni Ngoro dan Heintchedoocth. Benar atau tidaknya beliau adalah Pangeran Pabelan, generasi sekarang tahunya hanya menurut pada Babad Tanah Jawa yang diuraikan oleh Kyai Solo III kepada pada utusan raja seperti Yosodipura dan Honggowongso. Jika benar dia adalah Pangeran Pabelan putera Tumenggung Mayang, maka beliau hidup pada tahun 1570-an, semasa Djaka Tingkir atau Hadiwijaya berkuasa menggantikan raja-raja Demak. Pangeran Pabelan memacari Puteri Hemas, puteri raja Hadiwijaya.

Bathang mayat Pangeran Pabelan ditemukan seorang Kyai yang menurut Kyai Solo III ditemukan oleh kakeknya, Kyai Solo I. Ceritanya, sang Kyai menemukan mayat tersangkut di sebuah dahan bambu di sungai di Sangkrah. Mayat itu lalu diseret ke tengah air yang mengalir agar terbawa arus dan hilang dari pandangan mata. Namun esok harinya, mayat itu kembali ke tempat semula. Sang Kyai kembali menghanyutkannya ke tengah derasnya air sehingga terbawa arus lagi. Anehnya, esok harinya si mayat kembali di tempat semula.

Heran atas peristiwa itu, Kyai tadi langsung bertapa untuk mengetahui siapa gerangan si mayat. Dalam tapanya, Kyai hanya mampu menerima pesan bawa mayat ini minta dimakamkan secara wajar. Maka iapun akhirnya diambil dan dimakamkan di sebuah tanah, hingga tanah di daerah itu diberi nama Bathangan. Bathangan berasal dari bahasa Jawa bathang (mayat). Tak heran mayat itu pertamanya disebut Kyai Bathang.

Adapun tempat dimana ditemukan mayat yang menyangkut di sungai diberi nama Sangkrah. Sangkrah berasal dari bahasa Jawa nyangkrah atau bahasa Indonesia ‘menyangkut’. Nama Sangkrah selain nama sebuah dukuh, juga menjadi nama Kalurahan di Kecamatan Pasar Kliwon sekarang.

Hingga sampai di sini, Heintchedoocth masih percaya pada cerita itu. Tetapi pada tahun 1742. Namun selisih waktu antara 1570 dengan 1740 berkisar 170 tahun inilah yang membuat Heintchedoocth heran, bagaimana Kyai Solo bisa menyatakan bahwa Raden Bathang ini adalah Raden Pabelan. Makam di mall ini nyaris tidak diketahui pengunjung mall, karena ditempatkan tersendiri.

Daerah Bathangan terletak di Kalurahan Kedunglumbu. Nama ini juga disangkut pautkan dengan Pangeran Pabélan ini. Adalah Kyai Solo III, tetua desa Sala. Tahun 1742, utusan raja Pajang PB II diantaranya Yosodipura dan Honggowongso, mereka meminta secara resmi bahwa tanah kekuasaan Kyai Solo akan dipakai sebagai istana raja Pajang yang ingin pindah ke desa Sala. Rakyat desa Solo harus bedol desa. Namun raja PB II hanya memberi ganti rugi berupa kayu gelondongan. Jadi dari mana uang untuk membeli tanah, paku, pasir, semen dsb?

Menurut Babad Tanah Jawa, tanah desa Sala berupa rawa-rawa. Benarkah? Andai benar, bagaimana rakyat desa Sala bisa hidup di rawa-rawa? Bagi Heintchedoocth, rakyat desa Sala memang pergi, namun mereka bergerilya membuka sumber-sumber air di tanah dimana istana akan didirikan. Air terus mengalir, menggenangi tanah dan mengubahnya menjadi rawa-rawa. Rakyat juga menaburkan segala macam ikan termasuk ikan air laut.

Tiap kali rawa-rawa disumbat dengan kayu-kayu, batu atau benda keras lain, air tetap tak berhenti mengalir. Ini tidak mengerankan, karena setiap habis disumbat, malamnya, rakyat gerilya lagi membuka sumber air. Apa artinya? Artinya, itulah bentuk demo rakyat desa Sala di tahun 1742-1744. Penggeraknya, siapa lagi kalau bukan Kyai Gede Solo III?

Toh pada akhirnya, karena keraton harus cepat dibangun, raja mengabulkan permintaan rakyat dan membayar ganti rugi sebanyak 10 ribu gulden (entah uang segitu dulu sebanyak apa). Setelah diberi ganti rugi, Kyai Sala pura-pura bertapa di makam Kyai Bathang. Nah dalam tapanya ini, beliau mengarang cerita bahwa makam itu adalah Raden Pabelan. Dalam tapanya, beliau diberi Raden Pabelan sebuah bunga delima dan daun lumbu untuk menutup sumber air Tirta Amarta Kamandanu.

Keringlah rawa-rawanya. “Hebat! Sumber air rawa hanya ditutup pakai daun lumbu. Padahal dibendung pakai kayu jati gelondongan tidak bisa,” seru Sinyo Londo tertawa terbahak. Ni Ngoro ikut tersenyum kecut. “Dalam bahasa spiritual, daun lumbu itu bisa menutup sumber air ‘tirta amarta kamandanu’. Ingat, kamu punya darah Jawa, kamu harus belajar kejawen,” bela Ni Ngoro. “Ya udah. Tetapi boleh aku bilang begini…setelah rakyat terima uang ganti rugi bagian dari 10 ribu golden itu, mereka tak lagi membuka sumber-sumber air. Udah Ni, nggak usah berdebat lagi!”

Adapun asal nama Kedunglumbu bermakna politis. Kedhung berarti sumber air. Di kedhung itu tumbuhlah jutaan tanaman lumbu. Daerah ini lalu dinamakan Kedunglumbu. Ni Ngoro mencatat penemuan tentang makna Kedhung Lumbu yang lain.
(bersambung)
Pasar Kuno di Solo

Dongeng pasar di Solo sangat unik. Keunikan itu kini hanya ditemukan di Pasar Legi Solo. Bakul-bakul atau pedagang mbok-mbok dari desa, membawa dagangannya dari desa ke Pasar Legi. Jika sekarang semuanya diangkut dengan mobil, andong atau motor, dulu sangat unik.

Mbok-embok itu diiringi beberapa lelaki, berjalan beriring-iringan menggendong hasil buminya. Selalu ada iringan yang membawa obor, sebab mereka berangkat dari desa jam 2 malam. Sehingga dari jauh sudah tampak barisan obor yang berjalan sambil ceriwis, apalagi simbok-simbok ikut ke pasar, biasanya mulut mereka tak bisa diam menambah barisan bakul pagi ini.

Mereka berjalan berbaris satu persatu, tidak ada yang berjejer apalagi bergandengan, meski itu antara suami isteri anak dengan anak-anaknya. Mereka pergi ke pasar dengan baju kebaya seadanya dan kain bawah jaritan. Ada yang menggendong dagangannya, ada yang menjijing dengan keranjang tas, ada pula yang disunggi di atas kepala mereka.

Cara berjalannya pun urut aturan, tidak boleh saling mendahului. Jadi seperti barisan semut, beriringan satu persatu. Jika ada si embok yang kebelet pipis, barisan di belakang menunggu hingga si dia selesai pips. Pipisnya pun juga di sembarang tempat. Caranya hanya menarik jaritnya sedikit ke siku kaki lalu ‘thuuuurr’ tanpa jongkok alias kencing berdiri. Rupanya kebiasaan kencing berdiri ini sudah menjadi keahlian tersendiri para bakul, sehingga kain jarik mereka tidak sampai basah. Hingga sekitar tahun 1980-an, bakul-bakul yang menjajakan dagangannya keliling kampung di daerah kota, masih melakukan kebiasaan ‘kencing berdiri di sembarang tempat’. Keunbikan macam itu kini sudah tidak ada lagi. Simbok bakul juga sudah pada malu kencing berdiri. Hihihihi…

Pasar Legi

Saat kerajaan Kartasura pindah ke desa Solo, waktu itu belum ada pasar. Sejalan kian ramai desa Solo sebagai ibukota kerajaan, maka pasar-pasar tradisionalpun berdiri. Pasar yang paling mendapat perhatrian adalah Pasar Gede Harjodaksino. Sebenarnya pasar-pasar sebelumnya sudah ada. Bahkan dulu ada pasar Pon, Pasar Wage, Pasar Kliwon, Pasar Pahing dan Pasar Legi. Hingga kini pasar Legi, Pasar Kliwon, Psaar Pon masih ada. Menegnng cerita pasar di kota Solo, mari kita simak pasar-pasar tradisional di Solo.

Pasar Legi berada di selatan Mangkunegaran, tepatnya di jalan S Parman. Hingga kini pasar Legi masih menjadi pasar grosir paling murah. Arealnyapun terus meluas. Jika pagi, pedaganganya sudah menggelar hasil bumi sejak pukul 02.00 dinihari hingga di emper-emper jalan sekitar pasar. Pasar Legi juga melayani penjualan hingga 24 jam.

Mengapa disebut Pasar Legi? Selain pasar ini pertama kalinya digelar pada pasaran Legi 5 hari sekali, pasar inipun lebih banyak menggelar dagangan yang bersifat legi atau manis. Misalnya gula jawa, jagung manis, gula aren, gula batu, gula aren hingga minuman legen. Pasar Legi menjadi pust grosir dagangan tradisional dan hasil bumi. Hampir semua hasil bumi dari daerah Surakarta dan sekitarnya masuk di Pasar Legi.


Pasar yang cukup besar di Solo yang masih berada di Kecamatan Banjarsari adalah Pasar Nusukan. Pasar ini pernah terbakar di jaman walikota Slamet Suryanto, lalu langsung dibangun tahun 2004. Tempatnya di kampong Nusukan. Disebut Nusukan karena dulunya banyak pedagang sate yang pekerjaannya menusuk-nusukkan daging untuk disate.


Pasar Kadipiro
Pasar Kadipiro juga di dekat Pasar Nusukan. Daerahnya dekat dengan perlimaan Joglo, dekat dengan makam Bonoloyo. Pasar ini berada di kampung Kadipiro. Daerah ini dinamakan Kadipiro karena daerahnya kering, banyak alang-alang berduri. Ketika dibasmi, gatal-gatal di tubuh sangat sakit amat sangat, tak terkira-kira, yang dalam bahasa Jawa ‘koyo dipiloro ra piro-piro’, sehingga daerah ini disebut Kadipiro.

Pasar Ngemplak
Pasar di Banjarsari ini tepatnya berada di jalan Achmad Yani dan jalan Panjaitan. Lebih tepat lagi berada di pinggir tanggul Kalianyar. Suasana pasar masih sangat tradisonal. Pasar ini disebut Pasar Ngemplak karena di daerah ini sangt kering. Tanaman juga hanya alang-alang dan tanaman kurang berguna lainnya sehingga sangat panas. Apalagi jika musim kemarau, lahan disini pana luar biasa hingga disebut orang jawa ‘panase ngenthak-enthak emplak. Maka daerah ini disebut Ngemplak dan pasarnya disebut Pasar Ngemplak.


Pasar Nggilingan
Pasar ini masih di Kecamatan Banjarsari, teaptnya di jalan Setyabudi dan jalan S Parman. Pasar tradisional ini cukup lengkap. Disebut pasar Gilingan (lebih akrab disebut Pasar ngGilingan) karena berada di kampung Gilingan. Nama kampong Gilingan diambil akrena di daerah itu dulu ada penggilingan beras.


Pasar Widuran
Pasar ini berada di jalan Sutanb Syahrir dan jalan Arifin. Pasar ini hanya berjualan burung dan perlengkapan peliharaan burung. Sejak tahun 1985-an Pasar ini dipindah ke Depok. Pasar burung Widuran pindahn dari Pasar burung di Slompretan Klewer. Meski sudah dipindah, tetapi hingga kini masih banyak pedagang yang berjualan bermacam-macam burung dan perlengkapannya. Nama Pasar Widuran diambil dearah itu yang bernama Widuran. Sebenarnya namanya dari bangsawan keraton Solo yang ngetop pada jamannya, Pangeran Widuro.

Pasar Kandang Sapi


Di depan Rumah Sakit dr Oen Jebres, tepatnya di jalan Katamso dan jalan Tentara Pelajar, disini ada Pasar yang murah sekali dagangannya. Masih sangat tradisional dengan jajanan kuno. Pasarnya tidak begitu besar, cukup untuk konsumsi penduduk setempat. Disebut pasar Kandang Sapi karena berada di daerah yang bernama Kandang Sapi. Di daerah ini dulunya banyak penduduk yang beternak sapi segala macam. Ada sapi perah, sapi pedaging, susu sapi hingga makanan sapi.


Pasar Ledhoksari


Di dekat pasar Kandang Sapi juga ada pasar yang lumayan besar, meski hanya cukup untuk kebutuhan penduduk setempat. Berada di Kecamatan Jebres tepatnya di jalan Urip Sumoharjo, namanya Pasar Ledhoksari. Karena tergusur oleh gedung-gedung tinggi di jalan abesar itu, pasarnya minggu ke kampong di jalan Johanes dan menjadi Pasar Jebres. Jebres berasal dari seorang Belanda bernama Van der Jeep Reic yang bermukim di daerah Jebres dan karena lidah Jawa menjadi Jebres.


Pasar Gede
Ini pasar paling besar di Solo. Disebut juga Pasar Gede. Pasar ini didirikan di jaman PB X. Saat awal, para bakulnya masih memakai kebaya dan kain jarit, sedangkan pedagang prianya mengen akan busana Jawa dan blangkon. Setiap hari keraton akan menarik pajak. Pasar ini dibangun oleh arsitek terkenal dari Eropa yang juga membangun Pasar Semarang dan gedung-gedung indah di Bandung. Pasar Gede disebut juga Paar Harjonegara, maksudnya untuk mengenang bangsawan Harjonegara yang memulai mendirikan Pasar Gede. Awalnya Pasar Gede dibangun di tanah titipan yang dihuni Babah China b erpangkat Mayor yang terkenal Babah Mayor. Ia mendirikan warung-warung kecil yang berjejer hingga Warung Miri (kelompok penjual bumbu pawon) dan Warung Pelem (kelompok penjual buah utamanya mangga). Namun setelah dibangun gedung Pasar, warung-warung diminta masuk Pasar Gede hingga sekarang. Pasar Besar ini pernah terbakar habis sekitar tahun 2000 dan kini sudah dibangun lebih megah lagi.


Pasar Singosaren
Dulu di Matahari Singosaren ada pasar tradisional bernama Pasar Singosaren. Setelah bakul-bakulnya dialihkan ke Pasar Kadipolo, pasar Singosaren menjadi pertokoan mewah. Berada di jalan Rajiman dan jalan Diponegoro, kini daerah itu merupakan daerah pertokoan paling ramai di Solo. Nama Singosaren diambil dari nama menantu PB X yang bernama Pangeran Singosari.


Pasar Kembang
Mungkin hanya ada di kota Solo suatu Pasar yang hanya menjual bunga-bunga setaman. Dalam perkembangannya, pasar ini akhirnya juga menjual kebutuhan pokok dan dapur. Tetpi pasar yang terletak di Jalan Rajimn ini memang khusus menjadi pasar kembang. DUlunya pedagangnya lebih suka berjualan dengan cara berhamburan di sepanjang pinggir jalan Honggowongso. Maklum pembelinya hanya membeli bunga setaman, sehingga malas parkir dan masuk pasar. Rupanya pembangunan gedung pasar tidak sukses karena penjual bunga merasa sepi pembeli. Pasar ini ramai ketika musim sadranan atau nyekar pada bulan Ruwah, Syawal, Sura dan bulan-bulan dimana banyak orang mantu.


Pasar Kadipolo
Rasanya pasar Kadipolo berhubungan erat dengan Pasar Kembang. Maklum hanya selangkah di depannya. Pasar Kadipolo dulunya kecil, tetapi sejak bakul-bakul pasar Singosaen dipindah ke pasar Kadipolo, pasar ini mendadak ramai. Sayangnya lahannya teramat sempit. Beberapa tahun bakulnya berhamburan di sepanajang jalan Rajiman. Kini sudah cukup tertip masuk di pasar Kadipolo dan Pasar Kembang. Nama Kadipolo diambil dari perasaan merasa disakiti amat sangat, dimana orang Jawa menyebut ‘koyo dipiloro dipolo’ sehingga menjadi Kadipolo. Kesakitan ini karena penduduk diminta memberi upeti berupa tanah di Kadipiro untuk pembangunan keraton Surakarta. Tanah ini sebelum disebut Kadipolo bernama tanah Talangwangi. Maklum tanah disini berbau wangi sehingga dipilih PB II untuk mengurug rawa-rawa desa Solo yang akan dibangun keraton Solo.


Pasar Penumping
Kea rah bvarat dari Pasar Kadipolo, ada Pasar Penumping. Pasarnya tidak begitu besar, cukup untuk kebutuhan penduduk daerah Penumping dan Baron. Nama Penumping diambil dari abdi dalem kerajaan yang berpangkat Nayaka Penumping, sehingga daerah ini disebut Penumping.


Pasar Purwosari
Ini pasar yang berda di sebalik jalan Slamet Riyadi, tepatnya di belakang resto Sari. Pasarnya gede banget, ramai banget, tetapi tidak teratur. Pinggir jalan kampong dipenuhi bakul-bakul. Masuk pasar juga sempit, apalagi jika masuk dari pintu jalan Slamet Riyadi. Di dalam pasar lebih sepi dibandingkan yang di luar pasar di sekujur belakang pasar atau di jalan kampung.


Pasar Sangkrah
Berada di kampung Sangkrah, tepatnya di jalan Sambas. Pasar ini sangat ramai di pagi hari. Dekat dengan stasiun Sangkrah. Pasar ini hanya cukup untuk melayani penduduk sekitar. Disebut Pasar Sangkrah karena berada di Kalurahan Sangkrah. Nama Sangkrah tidak lepas dari penemuan mayat yang menyangkut (nyangkrah-Jw) di dahan-dahan pohon bamboo di pinggir sungai. Mayat itu oleh Kyai Solo diketahui sebagai Pangeran Pabelan, putera Tumenggung Mayang yang memacari Puteri Sultan Hadiwijaya jaman tahun 1578-an. Meski pasar ini kecil tetapi cukup komplit plit.


Pasar Kliwon
Pasar ini berada jalan Mulyadi. Kini jualannya komplit untuk segala kebutuhan dapur dan rumah tangga. Padahal awalnya, pasar ini hanya menjadi trasitnya pedagang kambing. Setiap pasaran Kliwon, pasar ini sangat ramai, sehingga disebut Pasar Kliwon. Nama Pasar Kliwon menjadi nama Kalurahan dan sekaligus nama kecamatan. Adapun pasar kambing dialihkan ke Silir, bersamaan dengan pasar ayam dan bebek.


Pasar Gadhing
Berada di jalan Veteran, pasarnya cukup ramai. Para bakul suka berjualan disini karena mengharapkan dagangannya dimakan Kebo Bule Kyai Slamet milik araja. Jika dagangannya dimakan Kyai Slamet alamat akan mendapat rejeki. Pasar ini berada di kampung Gadhing. Nama Gadhing bukan berasal dari gading gajah, tetapi dari abdi dalem raja yang pekerjaannya gadhingan, yakni orang suci demi kejayaan keratin, utamanya tugas-tugas di saat ada raja yang wafat.


Pasar Harjadaksino di Gemblegan
Nama Pasar secara resmi Pasar Harjodaksino, berada di jalan Yos Sudarso dan jalan Dewi Sartika, Danukusuma. Tetapi karena berada di dekat perempatan Gemblegan, lebih popular disebut pasar Gemblegan. Asal nama Gemblegan dari daerah yang ditempati abdi dalem kerajaan yang bertugas kuningan pembuat bokor, tempat kinang atau barang-barang yang berasal dari kuningan. Profesi itu dalam bahasa Jawa disebut Tukang Gemblak, maka daerah itu disebut Gemblegan. Jika ingin mencari makanan kuno makuno yang sangat tradisional, cari di pasar ini, pasti ketemu.


Pasar Klewer
Ini pasar kain dan sudah ngetop menjadi pasar Mangga Duanya Solo. Semula merupakan Pasar burung di Slompretan. Nama Slompretan berasal dari plesetan Pakretan, dari asal kata kreta. Dulu banyak kereta yang parkir di Nglorengan ini Karen penumpangnya akan menghadap sang raja. Karena banyak kereta yang parkir, daerah ini lalu disebut Pakretan yang di plesetkan menjadi Slompretan. Nama Nglorengan sendiri berasal dari sinyo Belanda bernama Lourens yang dalam lidah Jawa menjadi Loreng hingga menjadi Nglorengan.
Pasar Klewer kini penuh dengan kain batik Disebut Pasar Klewer diawali banyaknya penjual kain yang tidak punya kios yang dompleng jualan di pasar burung. Maklum pasar burungnya ramai. Simbok pedagang kain jarit, lendang dan kebaya hanya ditaruh di pundak, padahal dagangannya dibuka lembaran. Tak heran dagangannya menjuntai-juntai keleweran di tubuhnya. Si embok penjual kain ini mengejar pembeli agar dagangannya dibeli. Lebih baik beli baju daripada beli burung, kan bapaknya sudah punya burung, kata mereka. Kian hari pedagang kain kelewran ini kian banyak, malah lebih banyak dari pada penjual burungnya, sehingga pedagang burung dpindah ke Pasar Widuran. Akhirnya pedagang keleweran ini dibuatkan gedung pasar dan diberi nama Pasar Klewer sesaui dengan sejarahnya yang kainnya keleweran di pun dak si bakul.


Pasar Nangka
Meski namanya Pasar Nangka, tetapi yang menjual nangka hanya sedikit. Maklum disebut pasar Nangka karena dulunya di daerah itu banyak tanaman nangkanya. Kini tidak ada satupun. Meski begitu, dulunya pasar ini memangh special menjual nagka, gori dan kluwih. Pasar ini berada di jalan RM Said komplit dan murah, tetapi pasarnya kecil. Pasar ini kian ramai karena di depan pasar juga ada pasar tanaman hias.


Pasar Coyudan
Ini bukan pasar tradisional, tetapi merupakan pertokoan barang-barang kebutuhan sekunder seperti kain, tas, sepatu dll. Sekarang merupakan daerah pertokoan paling ramai di Solo, tepat di jalan Rajiman dan jalan Yos Sudarso. Disebut Pasar Coyudan berasal dari Pangeran Secoyuda yang bermukim di daerah ini.


Pasar Triwindu
Pasar ini berada di depan Pasar Pon tepat di jalan Diponegoro. Barang jualannya berupa benda antik. Pasarnya telah direnovasi menjadi salah satu asset pasar paling yahut di Solo. Dulunya bernama Pasar Ya’ik. Berubah menjadi Pasar Triwindu karena menjadi arena peringatan 3 windu jumenenganya Mangkunegoro VII. Akhirnya disebut Pasar Triwindu.



Meski masih ada beberapa pasar lagi, tetapi kecil saja.
Adapun pasar-pasar yang tergusur dan tampil dengan wajah baru adalah sbb:

Pasar Dhawung
DUlu berada di kampong Dhawung, tetapi kini sudah menjadi pertokoan yang cukup besar. Disebut pasar Dhawung karena dulu ada penjual jamu dan bahan jamu yang berjualan di bawah pohon dhawung. B akulnya manis, jamunya manjur sehingga banyak pembelinya. Karena kian ramai, banyak bakul yang ikut berjualan disini sehingga akhirnya disebut Pasar Dhawung.

Pasar Pon
Disebut Pasar Pon karena ramainya ketika pasaran Pon. Pasarnya sudah hilang, tetapi nama Psar Pon menjadi nama perempatan Pasar Pon yang paling ramai di Solo. Letaknya di perempatan jalan Slamet Riyadi, jalan Diponegoro dan jalan Gatot Subroto.

Pasar mBeling
Ini adalah pasarnya barang-barang pecah belah di Solo. Tepatnya berada di sewkitar perempatan jalan Supomo depan SMU Muhammadiyah.

Pasar Ngapeman
Dulu banyak yang jualan apem, tepatnya di jalan Slamet Riyadi dan jalan Gajah Mada. Disini juga menjadi pasar sepeda bekas. Kini menjadi hotel Novotel.

Pasar Senggol
Di Purwosari, jika malam tiba, jalan Purwosari sederetan dengan Resto Sari selalu penuh oleh penjual kaki lima. Pengunjung buanyak, pasarnya sempit karena berada di pinggir jalan. Maka selalu terjadi senggol-senggolan, sehingga disebut Pasar Senggol.

Masih ada lagi? Tentu masih banyak seiring denagn perkembangan jaman. (noni)


Rabu, 29 April 2009

Sobo Turut Lurung di Solo
Sebuah perjalanan menyusuri kampung-kampung di Solo
JOWO LONDO DI GANG TUA (3)

Dasar meneer Londo punya langkah panjang dan cepat, kaki Ni Ngoro kesandung kerikil ketika mau mengimbangi kecepatan langkah Heintche. Ia tidak terjatuh, namun telapaknya miring hingga betisnya menapak tanah. Sakitnya luar biasa, seperti ada tulang yang terkilir. Saat itu Ni Ngoro dan partner ‘sobo turut lurung’-nya yang asal Belanda Rudd Rden Heintchedoocth, baru turun dari sampan di sungai Bengawan Solo Bandar Beton Gadingan Kampung Sewu. Mereka baru saja bersampan bolak-balik menyeberangi sungai Bengawan Solo.

Meski terpincang-pincang kesakitan, sebegitunya ia menolak dituntun Heintche. Maklum Ni Ngoro kasihan pada Sinyo yang juga tergelincir di pinggir Bengawan di daerah Jurug beberapa jam lalu. Celana jeansnnya robek, kaosnya kotor, lengannya berdarah. Penduduk kampung memberi obat merah, Heintche sudah merasa tidak sakit lagi. Kini ganti Ni Ngoro terkilir, namun ia tak ingin bermanja-manja pada bule bau keju itu.

“Menit ke depan pasti sembuh sendiri. Aku hanya minta kamu jangan jalan cepet-cepet. Langkahmu terlalu lebar bagiku.” Hentche tertawa. “Kamu memang wanita bandel tiada duanya. Ok. Sekarang bisa lanjut jalan? Jy ziek, Ni?” Ni Ngoro melangkah, terpincang memang. Namun ia berusaha tidak meringis. Inilah pribadi yang akan ditunjukkan kepada sinyo yang bangsanya pernah menjajah Indonesia hingga 3 abad. Tidaklah bagus jika rakyat Indonesia masih cengeng di hadapan meneer penjajah. Londo itu tersenyum dan mengikuti langkah Ni Ngoro yang terpincang. Ia mau menuntun, tetapi Ni Ngoro mengibaskan tangan meneer itu.

“Baiknya kita duduk di bawah pohon, lalu meronce cacatan kita. Bukankah disini wilayah Bandar Beton? Ini pelabuhan sungai milik kerajaan Kartasura, tempat dimana Kyai Solo berkuasa!” kata Heintchedoocth. “Kyai Solo menjabat kepala pelabuhan, juga lurah desa. Hingga kini, siapa nama sebenarnya Kyai Solo, tidak diketahui, begitu kan Ni?”

“Kata Solo memang berasal dari permudahan kata bau soroh. Bau soroh jabatan kepala pelabuhan (tetapi apakah dia pula yang menjabat lurah desa Sala-nya). Biasanya orang Madura, Sumatra dan China sulit menyebut Bau Soroh. Lidah mereka menyuarakan Solo,” ujar Ni Ngoro meringis akibat masih sakit di betis kakinya.

“Kampung ini bernama Kampung Sewu. Pak tua di pinggir tanggul tadi bilang, kata Sewu diambil dari nama abdidalem Nayaka Sewu yang tinggal di kampung ini.” Tetapi tadi si juru sampan bilang bahwa asal kata Sewu katanya dulu ada seorang Kyai bernama Sewu bertapa di bawah pohon dekat kantor kalurahan. Ada lagi yang bilang, untuk keselamatan pelayaran di sungai Bengawanm Solo, perlu upacara dengan menggunakan lilin yang buaanyak sampai seperti ada seribu lilin. Padahal ada upacara tabur apel sewu. Yang bener yang mana, ya Ni?”

“Kalau mau cari yang bener, mari ke Pak Lurah!” Serta merta Heintche menolak. “Oh nee, nee, nee. Tidak! Aku ingin data dari rakyat. Aku mau tahu seberapa pintar dan pedulinya rakyat pada lingkungan hidup mereka!” gertak Sinyo itu. Ni Ngoro tertawa. “

Seorang nenek penjual jagung rebus ikut duduk di bawah pohon. Betapa senang Ni Ngoro dan Heintche bisa jajan jagung rebus. Nenek jagung itupun bercerita tentang Kampung Sewu. Katanya dulu bandar Benton ini besar. Ni Ngoro melihat bekas-bekas bandar yang masih tersisa. Banyak pabrik di desa paling ujung timur kota Solo ini. Dulunya banyak saudagar batik di Beton. Kandi, penduduk di Beton, nenek moyangnya adalah juragan batik. Selain membuat batik, depan rumahnya juga dibuka toko. Banyak pabrik batik Laweyan yang menitipkan batik di kiosnya untuk dijual pada para pelayar sungai Bengawan. Dari kios-kios itulah, kain batik diperdagangkan para pelayar di wilayah Jawa Timur dan ke seluruh dunia.

Ulet dan pintarnya penduduk Beton dipamerkan oleh Kandi dengan menyebut tokoh dunia yang berasal dari Kampung Sewu. Soebroto, matan Menteri jaman Suharto adalah ketua OPEC. Ada juga mantan ketua MPR RI, May Jen Daryatmo yang juga asli Kampung Sewu. Sedang etos kerja tinggi diperlihatkan oleh Bah Inco, pendiri Konimex di awalnya yang dibesakan di Kampung Sewu. Konimex menjadi multiusaha setelah managemen dipegang anaknya, Joenaedi Joesoef. Yang paling hebat adalah tokoh yang lepas dari penyembelihan PKI tahun 66. Saat menulis ini, catatannya luntur oleh air keringat. Maklum catatan itu dijepit di celana dan perut. Nama tokoh itu luntur. Padahal nama itu tokoh yang pura-pura sudah mati waktu penyembelihan oleh PKI, biar tidak disembelih lagi. Setelah para jagal pergi, iapun lari dan hidup hingga tahun 2000-an. Ni Ngoro merasa cukup bertualang ahri itu. Kakinya sakit. Ia ingin pijat di betisnya yang terkilir. Kebetulan ada taksi kosong yang lewat.

----0000----

Pagi-pagi yang cerah, Ni Ngoro bersama Heintchedoocth ‘sobo turut lurung’ di Kalurahan Kedunglumbu Solo. Mereka memulai di tengah keramaian mall Beteng Plasa. Letaknya hanya 1000 meter dari utara Balaikota Solo, 1000 meter pula dari selatan keraton dan 1000 meter pula dari Pasar Klewer Solo. Di tengah mall besar yang seramai Beteng Plasa, ada makam yang dikeramatkan kalangan tertentu. Inilah makam Pangeran Pabelan.

Inilah makam Pangeran Pabelan yang diragukan oleh Heintchedoocth? Ceritanya Pangeran Pabelan itulah don yuan yang diperdebatkan Ni Ngoro dan Heintchedoocth. Benar atau tidaknya beliau adalah Pangeran Pabelan, generasi sekarang tahunya hanya menurut pada Babad Tanah Jawa yang diuraikan oleh Kyai Solo III kepada pada utusan raja seperti Yosodipura dan Honggowongso. Jika benar dia adalah Pangeran Pabelan putera Tumenggung Mayang, maka beliau hidup pada tahun 1570-an, semasa Djaka Tingkir atau Hadiwijaya berkuasa menggantikan raja-raja Demak. Pangeran Pabelan memacari Puteri Hemas, puteri raja Hadiwijaya.

Bathang mayat Pangeran Pabelan ditemukan seorang Kyai yang menurut Kyai Solo III ditemukan oleh kakeknya, Kyai Solo I. Ceritanya, sang Kyai menemukan mayat tersangkut di sebuah dahan bambu di sungai di Sangkrah. Mayat itu lalu diseret ke tengah air yang mengalir agar terbawa arus dan hilang dari pandangan mata. Namun esok harinya, mayat itu kembali ke tempat semula. Sang Kyai kembali menghanyutkannya ke tengah derasnya air sehingga terbawa arus lagi. Anehnya, esok harinya si mayat kembali di tempat semula.

Heran atas peristiwa itu, Kyai tadi langsung bertapa untuk mengetahui siapa gerangan si mayat. Dalam tapanya, Kyai hanya mampu menerima pesan bawa mayat ini minta dimakamkan secara wajar. Maka iapun akhirnya diambil dan dimakamkan di sebuah tanah, hingga tanah di daerah itu diberi nama Bathangan. Bathangan berasal dari bahasa Jawa bathang (mayat). Tak heran mayat itu pertamanya disebut Kyai Bathang.

Adapun tempat dimana ditemukan mayat yang menyangkut di sungai diberi nama Sangkrah. Sangkrah berasal dari bahasa Jawa nyangkrah atau bahasa Indonesia ‘menyangkut’. Nama Sangkrah selain nama sebuah dukuh, juga menjadi nama Kalurahan di Kecamatan Pasar Kliwon sekarang.

Hingga sampai di sini, Heintchedoocth masih percaya pada cerita itu. Tetapi pada tahun 1742. Namun selisih waktu antara 1570 dengan 1740 berkisar 170 tahun inilah yang membuat Heintchedoocth heran, bagaimana Kyai Solo bisa menyatakan bahwa Raden Bathang ini adalah Raden Pabelan. Makam di mall ini nyaris tidak diketahui pengunjung mall, karena ditempatkan tersendiri.

Daerah Bathangan terletak di Kalurahan Kedunglumbu. Nama ini juga disangkut pautkan dengan Pangeran Pabélan ini. Adalah Kyai Solo III, tetua desa Sala. Tahun 1742, utusan raja Pajang PB II diantaranya Yosodipura dan Honggowongso, mereka meminta secara resmi bahwa tanah kekuasaan Kyai Solo akan dipakai sebagai istana raja Pajang yang ingin pindah ke desa Sala. Rakyat desa Solo harus bedol desa. Namun raja PB II hanya memberi ganti rugi berupa kayu gelondongan. Jadi dari mana uang untuk membeli tanah, paku, pasir, semen dsb?

Menurut Babad Tanah Jawa, tanah desa Sala berupa rawa-rawa. Benarkah? Andai benar, bagaimana rakyat desa Sala bisa hidup di rawa-rawa? Bagi Heintchedoocth, rakyat desa Sala memang pergi, namun mereka bergerilya membuka sumber-sumber air di tanah dimana istana akan didirikan. Air terus mengalir, menggenangi tanah dan mengubahnya menjadi rawa-rawa. Rakyat juga menaburkan segala macam ikan termasuk ikan air laut.

Tiap kali rawa-rawa disumbat dengan kayu-kayu, batu atau benda keras lain, air tetap tak berhenti mengalir. Ini tidak mengerankan, karena setiap habis disumbat, malamnya, rakyat gerilya lagi membuka sumber air. Apa artinya? Artinya, itulah bentuk demo rakyat desa Sala di tahun 1742-1744. Penggeraknya, siapa lagi kalau bukan Kyai Gede Solo III?

Toh pada akhirnya, karena keraton harus cepat dibangun, raja mengabulkan permintaan rakyat dan membayar ganti rugi sebanyak 10 ribu gulden (entah uang segitu dulu sebanyak apa). Setelah diberi ganti rugi, Kyai Sala pura-pura bertapa di makam Kyai Bathang. Nah dalam tapanya ini, beliau mengarang cerita bahwa makam itu adalah Raden Pabelan. Dalam tapanya, beliau diberi Raden Pabelan sebuah bunga delima dan daun lumbu untuk menutup sumber air Tirta Amarta Kamandanu.

Keringlah rawa-rawanya. “Hebat! Sumber air rawa hanya ditutup pakai daun lumbu. Padahal dibendung pakai kayu jati gelondongan tidak bisa,” seru Sinyo Londo tertawa terbahak. Ni Ngoro ikut tersenyum kecut. “Dalam bahasa spiritual, daun lumbu itu bisa menutup sumber air ‘tirta amarta kamandanu’. Ingat, kamu punya darah Jawa, kamu harus belajar kejawen,” bela Ni Ngoro. “Ya udah. Tetapi boleh aku bilang begini…setelah rakyat terima uang ganti rugi bagian dari 10 ribu golden itu, mereka tak lagi membuka sumber-sumber air. Udah Ni, nggak usah berdebat lagi!”

Adapun asal nama Kedunglumbu bermakna politis. Kedhung berarti sumber air. Di kedhung itu tumbuhlah jutaan tanaman lumbu. Daerah ini lalu dinamakan Kedunglumbu. Ni Ngoro mencatat penemuan tentang makna Kedhung Lumbu yang lain.
(bersambung)
Solo, Rawa-rawa Ajang Demo Rakyat

Di subuh buta, kapal-kapal pelabuhan Beton Kampung Sewu telah menumpahkan barang-barang kebutuhan paduka Sinuwun Paku Buwana dari kerajaan Kartasura. Ki Bau Soroh, abdi dalem keraton yang ditugaskan khusus untuk mengurusinya, membawanya ke istana tanpa kekurangan apapun. Betapa senang Paduka raja oleh pengabdian Bau Soroh, hingga akhirnya jabatannya dinaikkan sebagai kepala pelabuhan sekaligus lurah desa. Wilayah desanya meliputi pinggir sungai Bengawan Solo. Saat itu daerahnya masih berupa rawa-rawa.

Namun Ki Soroh tak putus asa. Rakyatnya digerakkan untuk membangun desa dengan pelabuhan Beton di pinggir sungai Bengawan Solo sebagai titik pusat pasar transit berbagai barang. Maka kapal-kapal dari Jawa Timur, Madura, Kalimantan, China, Belanda dsb, selalu hilir mudik di pelabuhan Beton. Tidaklah heran jika dengan cepat desa rawa-rawa ini dipenuhi membaurnya beberapa ras manusia yang ber­beda. Logat bicaranya juga beraneka. Banyak juga pendatang yang sulit mengucap huruf R.

Padahal mereka sering berhubungan dengan Ki Bau Soroh. Namun lidah mereka aelalu kelu untuk bicara huruf R dan akhiran H, maka nama Ki Soroh hanya bisa diucapkan dengan nama Ki Sala (diucapkan Saulau, a nya seperti ucapan au dalam kata beliau). Akibat Bahasa Melayu tak kenal huruf au, maka agar tidak salah ucap menjadi Sala (huruf a seperti kala), maka huruf a diganti huruf o menjadi Solo.

Nama Ki Soroh pun akhirnya berganti dengan sendirinya menjadi Ki Solo. Pak Lurah Solo ini adalah pribadi yang sangat sakti mandraguna, maka namanya menjadi Kyai Gede Solo. Desanya juga dinamai desa Solo. Kian ramainya pelabuhan Beton membuat desa Solo kian makmur.

Sampai suatu saat, Ki Solo menerima tamu penting utusan Paduka Sinuwun dari kerajaan Kartasura. Para utusan itu adalah Panembahan Wijil, Suranata, Khalifah Buyut, Pangulu Fakih Ibrahim dan Pujangga RT. Tirtawiguna. Mereka mengemukakan bahwa atas dasar wisik ketika bertapa, desa Solo ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kota pusat kerajaan.

Memang ketika itu Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) telah kembali dari pelarian di Ponorogo (1742). Ia sangat sedih melihat kehancuran bangunan istananya di Kartasura. Istana ditinggal dan Sinuhun mengungsi karena adanya pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) yang dibantu RM Said atau Pangeran Sambernyawa. Mas Garendi dapat menguasai Keraton Kartosura pada 30 Juni 1742. Alasan penguasaan adalah karena Sinuhun bersedia bekerjasama dengan Belanda. Di saat yang sama, pemberontakan China di Batavia melawan kompeni Belanda meluas hingga ke keraton Kartasura.

Hancurlah bangunan istana Kartasura dan tidak layak lagi sebagai istana pusat kerajaan. Pada akhirnya Sinuwun dapat kembali ke Istana setelah para pemberontak ditaklukkan kompeni Belanda. Melihat istananya rusak, Sinuwun bermaksud memindahkan bangunan istananya ke desa Solo.

Mendengar perintah raja bahwa wilayahnya akan dibangun istana, Kyai Gede Solo tentu tidak keberatan. Namun beliau mengingatkan bahwa di desa Solo terdapat sebuah makam bernama Kyai Bathang. Nama Kyai Bathang yang sebenarnya adalah Pangeran Pabelan, putera Tumenggung Mayang. Ia dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton di jaman Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, raja Pajang. Setelah dibunuh, mayat Raden Pabelan dihanyutkan di sungai Lawiyan (sungai Braja), lalu terdampar dan nyangkrah atau menyangkut di pinggir kali Pepe dalam wilayah desa Sala.

Cerita itu tidak menghalangi Sinuwun untuk memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Berita di tentang adanys dua makam ayah dan kakek Kyai Solo, tak digubris. Apalagi 3 orang utusan raja yakni Kyai Tohjaya, Kyai Yasadipura I dan RT Padmagara, menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air) di desa ini. Sinuwun kian bersemangat sehingga memerintahkan pembangunan istana dimulai.

Maka para abdi dalem mulai menimbuni daerah rawa-rawa ini dengan balok-balok kayu. Herannya, sekian ribu m3 balok kayu ditimbun, itupun tidak bisa menyumbat mata air rawa tadi, bahkan airnya semakin deras menyerupai Grojogan Sewu. Ajaibnya, berbagai jenis ikan laut seperti teri pethek dll, bermunculan dari sumber air rawa. Selain itu tumbuhan lumbu dengan cepat tumbuh menghutan di desa Solo. Para punggawa keraton panik tak alang kepalang. Saat itu masuk pada tahun 1743.

Para pujangga akhirnya bertapa 7 hari tanpa makan, minum dan tidur. Di malam Anggara Kasih Selasa Kliwon, Pujangga Kyai Yasadipura mendengar wisik yang berbunyi: kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase.

Terjemahan bebasnya: Wahai pertapa, rawa ini tembusan dari Laut Selatan, tak dapat ditutup kecuali dengan syarat; gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala tledhek ronggeng cendol mata orang).

Sinuwun mengartikan wisik itu bahwa beliau harus membayar ganti rugi kepada Kyai Gede Solo sebesar sepuluh ribu ringgit dan uang itu akhirnya dibayarkan. Selanjutnya Kyai Gede Solo berbesar hati untuk menerima ganti rugi dan langsung membaginya kepada rakyat desa Solo.

Para punggawa seolah melihat bahwa Kyai Gede Solo bertapa di makam Kyai Bathang. Keluar dari bertapa, Kyai Gede Solo membawa “Sekar Delima Seta” dan daun lumbu (sejenis talas). Dengan sedikit upacara ritual, kedua barang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu. Herannya, sumber airpun bisa disumbat dan berhenti mengalir. Tentu bisa dimaklumi karena Kyai Gede Solo adalah orang yang mempunyai ilmu bathin yang tinggi.

Padahal pada kenyataannya, kesulitan menutup rawa-rawa itu sebenarnya adalah akibat semacam sabotase rakyat desa Solo, rakyatnya Pak Kyai. Mereka merasa terusir, namun Sinuwun hanya memberi ganti rugi berupa gelondongan kayu untuk membangun rumah di lahan pengganti. Lalu dari mana mendapat uang untuk membeli paku, pasir dan genting?

Maka ramai-ramai rakyat desa Solo berdemo. Demo pada tahun 1743 itu mungkin demo pertama di tanah Jawa. Cara demonya dilampiaskan dengan membuka sumber-sumber air dan melemparkan ikan laut yang masih hidup di rawa itu. Adapun makam Pangeran Pabelan dan ayahanda Kyai Solo jangan diusik, tetapi harus dirawat dan dilestarikan. Kyai Gede Solo akhirnya menang dalam pertikaian melawan Sinuwun. Namun meski kalah, Sinuwun bisa membangun keratonnya di desa Solo.

Rakyat kerajaan dikerahkan membangun istana. Permulaan pembangunan ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana “ tahun 1744. Rawanya diurug balok kayu dan tanahnya yang wangi diambil dari daerah Talangwangi, Kadipala dan Sanasewu. Bagaimana kelanjutannya? Tunggu di terbitan mendatang. (noni/bersambung)



Sejarah kota Solo (2)
Sinuwun Meresmikan Kerajaan Surakarta

Gelapnya malam di istana Kartasura kian membuat hati Sinuwun Paku Buwana II sangat gundah. Perselisihan dengan para kerabat tak pernah berhenti, harta benda terus berkurang, keratonnya pun rusak parah dihancurkan musuh. Dalam keheningan, Sinuwun berharap Tuhan segera memberikan karunia agar keraton baru yang sedang dibangun di desa Solo segera rampung.
Doa Sinuhun dikabulkan. Dengan tergopoh-gopoh, abdi dalem RT Tirtawiguna telah mendapatkan berbagai persyaratan untuk perpindahan istana baru, istilahnya slup-slupan. Perintah mengadakan upacara secara besar-besaran dikelola dengan teliti.
Para pendeta dan ustad-ustad mengadakan sesajian dan pengajian selama beberapa malam sebelum hari H. Bunga-bunga harum dipetik dari pelosok wilayah. Juru masak membuat sesaji dan seribu tumpeng lengkap dengan daging hewan berkaki empat. Ikan air tawar, ikan laut dan berbagai jenis unggas tak ketinggalan, termasuk palawija, buah-buahan dan jajanan pasar.
Setelah semua persiapan dilengkapi, Sinuhun dengan segala harta benda dan para abdi dalemnya, pindah dari Kartasura ke desa Sala. Para tamu berdatangan menyambut perpindahan itu, termasuk tuan Belanda penguasa tanah Jawa, Mayor Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. beserta 5 kompi pasukannya. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Februari 1745.
Iring-iringan barisan kerajaan yang berangkat dari Alun-alun Kartasura, disambut rakyat di sepnajang jalan yang dilalui. Kereta kencana Sinuhun digerakkan 8 ekor kuda, diiringi permaisuri dan garwa padmi, lalu putera mahkota, patih dan para punggawa lainnya sebanyak 50 ribu orang. Barisan berjalan sangat lambat karena harus memutar melewati Alun-alun kerajaan Pajang di kota Gede. Barang-barang yang dibawa juga sangat banyak, sedangkan para serdadu harus membuka jalan dengan menebasi hutan dan semak belukar.
Di sore hari ketika mentari sudah berada di ujung barat, iring-iringan barisan Sinuhun baru sampai di desa Solo. Sinuhun disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Di dampar kencana, Sri Sunan Paku Buwana bersabda kepada segenap hadirin: Wahai hambaku, dengarkan sabdaku. Sejak hari ini, desa Solo aku ambil namanya, aku tetapkan menjadi negaraku, aku namai negara Surakarta Hadiningrat. Siarkanlah ke seluruh rakyatku di Tanah Jawa.
Kepindahan ini diikuti kerabat dan pembesar negara yang segera membangun kediaman yang baru. Di luar tembok istana seperti di Hadiwijayan dan Suryaha­mi­jayan dibangun untuk kerabat raja. Begitupun para prajurit diberi lahan-lahan dan dibangunkan sesuai dengan jabatan mereka. Nama daerahnya juga dinamai sesuai dengan pangkatnya seperti di Saragenen, Mertalulutan, Jayantakan dan Miji Pinilihan. Penempatan per golongan mencip­takan nama-na­ma kampung seperti Kampung Kalangan, Jagalan, Gandekan dsb.
Syahdan, para pembesar Belanda pun ikut gusar jika tidak mengawasi kerajaan. Maka dengan serta merta penguasa Belanda mencari tanah yang dekat dengan bangunan keraton Surakarta. Tanah di Kedunglumbu dipilih para pejabat Pemerintah Hindia Belanda.Orang-orang asing dan para Misionaris, ramai-ramai membangun rumah kediaman di seputar Gladag.
Sayangnya desa Sala saat itu sering banjir. Penduduknya belum banyak, su­a­sananya sepi, jika malam se­nyap ka­rena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi se­habis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlan­tai tanah dan beratap ilalng. Rumah priyagung dan ju­ragan batik sudah berbalok kayu atau tembok tinggi tanpa lepo. Atapnya genting, alasnya mester. Pagar rumah penduduk juga hanya dari bambu.

Kondisi yang sepi di pusat kerajaan ini berarti menyuburkan aroma perang. Memang, meski sudah pindah keraton, Sinuhun Paku Buwana tidak pernah bisa tidur pulas. Geger Pacinan masih berbuntut. Banyak sekali para Pangeran yang merasa kuat dan sangat anti Kompeni Belanda. Mereka dengan bebas telah meninggalkan keraton untuk membuat benteng pertahanan sendiri.

Pangeran Puger membangun pertahanan di daerah Sukowati, Sragen. RM Said membangun pertahanan di Randulawang dan Wonogiri, sedangkan Pangeran Mangkubumi lari ke Semarang menuntut penguasa Belanda agar diangkat sebagai raja.

Sinuhun merasa sangat terpukul. Sikapnya meminta bantuan Belanda harus dibayar mahal. Selain dijauhi para Pangeran, Sinuhun juga harus membayar wilayah pantai utara mulai dari Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura untuk dikuasai Belanda. Pengangkatan pejabat tinggi Keraton pun harus seizin Belanda. Benarlah apa yang dikatakan para Pangeran bahwa posisi raja tak lebih dari boneka yang meminjam kekuasaan Belanda.

Dalam heningnya malam, Sinuhun Paku Buwana II menyadari kesalahan. Raja tak ingin apabila kerabatnya saling berselisih karena rakyatlah yang akan menjadi korban. Perselisihan antar kerabat kerajaan berarti keuntungan untuk kompeni Belanda. Maka Sinuhun bertekad untuk memberikan kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi. Serta merta Sinuhun meminta agar Pangeran meredakan pemberontakan dengan janji akan diberi kekuasaan. Namun sang Pangeran sama sekali tidak percaya. Bukankah ia telah pernah dikhianati saat tanah lungguhnya dikurangi?

Sinuhun kian sedih. Sudah 4 tahun singgasana kerajaan Surakarta diduduki. Namun rasa bahagia tak pernah menyambangi. Hatinya tak mampu berbohong. Di keremangan malam, wajahnya berlinang air mata, badannya dingin, tubuhnya bergetar. Semangat tandingnya saat berambisi ingin terus berkuasa, telah surut diterjang rasa kecewa yang mendalam.

Alam bawah sadarnya terluka parah. Sinuhun tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai, peluhnya mengalir deras. Malaikat seakan sudah menyediakan jalan untuk dilewati. Saat Patih nDalem menghadap, Sinuhun hanya berkedip ketika Patih menghaturkan sembah atas hadirnya Gubernur Belanda di pembaringan.

Eyang Londo membezok Paduka Raja. Dalam keadaan alam bawah sadar dan tak sadar karena gering, tangan Sinuhun membubuhkan tanda tangan. Adakah Sinuhun mengerti apakah makna kertas bertulis yang disodorkan Tuwan Gubernur?

Siapa yang menulis surat sakti yang berisi Sinuhun Paku Buwana II, oleh perintah Kumpeni yang agung, kerajaan diserahkan kepada Tuwan Gubernur dan penguasa tanah Jawa, Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Tanda tangannya tertanda: Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Pranatagama.…"

Esok harinya langit kota Solo menggelegar. Kilat menyambar, bumi seakan terguncang saat terompet dibunyikan dengan nada demikian mengenaskan. Sang Paduka Raja Paku Buwana II, telah berpulang. Isak tangis pendiri kota Solo terdengar disana sini. Teriakan rakyat terdengar histeris. “Oh Paduka, hanya seumur jagung usimu di Kota Solo. Restuilah agar desa ini menjadi besar…!!!” (noni)