Rabu, 10 Desember 2008

SOBO TURUT LURUNG DI SOLO

Menelusuri Jalanan Kota Solo

Dering telepon dari Belanda itu untuk Ni Ngoro, wanita kelahiran Jakarta yang sejak balita dibesarkan di Solo, kota budaya dimana eyangnya tinggal. Suatu hari ketika Ni Ngoro tidak lagi kerja kantoran, ia tertarik pada kisah kampung tempat tinggalnya. Ini bermula setelah kedatangan tamu dari Belanda, Rudd Rden Heintchedoocth, si penelpon dari Belanda tadi. Berkat Sinyo itu, Ni Ngoro kini rajin menyambung-nyambung cerita kampungnya yang dihubungkan dengan nama para tokoh kuno di Solo.
Ni Ngoro sendiri punya nama panjang yang tak disukainya. Sejak mengenal makna-makna nama, herannya, ia tak peduli makna nama panjang dirinya. “Apalah arti sebuah nama,” kata seorang pujangga Inggris. Padahal ia paham, menurut ahli spiritual di kota Solo, makna nama bisa terbawa pada nasibnya. “Nama harus punya makna, bukan datar, antah berantah! Nama tidak boleh serba asal, jangan abu-abu, tak punya arah, takutnya tak bertujuan.”
Jadinya sekarang Ni Ngoro giat cari data, lalu dikonsep dan sudah sedikit dibuat film-nya, berkenaan dengan cerita tentang asal-usul nama kampung-kampung di Solo. Istilahnya toponimi.
Ide awalnya bermula dari rasa heran Heintchedoocth yang tak bisa dijawab Ni Ngoro. Heintchedoocth bertanya, mengapa ada nama jalan yang diambil dari nama burung, nama binatang, nama bunga atau nama pulau-pulau. Memangnya Solo tak punya asal-usul, cari nama saja nyontek nama burung?
“Ini tak masuk akal. Mungkin orang yang beri nama kehabisan ilham, atau tak paham sejarah. Celakanya jika asal beri nama. Tak heran, banyak nama abu-abu di gang-gang kota Solo,” begitulah keheranan Heintchedoocth. Mulanya, Ni Ngoro tak begitu peduli dengan pertanyaan itu.
Sekarang jika ingat nama gang-gang di kampung-kampung, dada Ni Ngoro jadi ikut sesak. Kota tua Solo jadi kota tua yang ternoda maknanya. Padahal namanya kota pusaka, mau adakan konverensi besar-besaran tentang kota pusaka sedunia Oktober nanti.
Tentu rusaknya kota Solo bukan karena urban besar-besaran dari desa (sejak 1980an) yang bikin Solo berkembang tanpa kendali. Ni Ngoro sungkan jika Heintchedoocth ikut resah tentang nama antah berantah itu. Heintchedoocth ini adalah cucu mantan perwira Hindia Belanda di kota Solo sekitar tahun 1930-an, namun ia juga cucu seorang Kanjeng dari Mangkunegaran. Artinya ia memang seorang indo.
Heintchedoocth pertama kali ke Solo diajak opanya. Saat itu usianya baru 7 tahun. Maunya menginap di Hotel Slier, itu hotel di jaman Belanda saat Opa Heintchedoocth masih berkuasa di Solo. Tetapi hotel itu sudah berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Ketika Heintchedoocth datang tahun 1981, hotel itu tak ada lagi, tanahnya terbiarkan merana dihuni setan. Kabarnya mau dibangun dan jadi kantor Bank Indonesia. BI sendiri mau dipakai museum. Heintchedoocth ingat, menurut cerita opanya yang sudah almarhum, BI Solo itu, dulu adalah Javache Bank milik Belanda.
Heintchedoocth mengeluh pada Ni Ngoro, ia merasa kehilangan banyak kenangan di Solo. Perasaan ini sama dengan perasaan opanya. Ni Ngoro tidak terkejut ketika Heintchedoocth berpendapat, “Kota Solo sudah berubah. Dulu aku merasa menjadi orang Jawa berbudaya Jawa ketika masuk Solo. Waktu ke rumah famili di Punggawan, disana penuh dengan nama Jawa. Sekarang bangunan joglonya sudah kusam dan tinggal satu dua. Yang di Widuran kian singup. Di Kauman saja masih belum berubah banyak,” kata Heintchedoocth.
Pertamanya Ni Ngoro tidak sependapat dengan Heintchedoocth. Ni Ngoro meyakini dunia mengalami perubahan secara kontinu. Perubahan adalah alamiah, sama seperti air mengalir. Bahkan setiap dasawarsa, ada penemuan baru yang membuat dunia berkembang pesat. Tahun 1945, Jakarta adalah kampung besar. Sekarang macet dimana-mana! Jadi andai rumah dan kota tidak dibangun menjadi gedung dan kota modern, pasti ketinggalan jaman.
Heintchedoocth membenarkan, tetapi kenangan yang dimaksud adalah goresan tinta emas pada situasi alamiah yang tergulir masuk dalam bathinnya. Sebuah situasi yang bisa membangkitkan perasaan yang sangat menyentuh hati. “Hanya sekali aku ke Borobudur, tetapi kenangan sehari disana, sulit hilang. Mengapa? Karena ada memori yang masuk dalam bathinku, di alam bawah sadar, bahwa aura Borobudur, sampai kapanpun, tetap ada dalam hatiku. Itu maksudku.”
Pada akhirnya Ni Ngoro mengerti dan tiba-tiba saja ia jadi sangat terkesan oleh kata-kata Heintchedoocth. Kesan ini langsung menggelorakan niatan untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang dipunyai kota Solo, yang mampu membuat aura Solo merasuk dalam alam bawah sadar siapapun yang pernah menghirup udara Solo!!!
Itulah yang membuat Ni Ngoro sangat peduli pada makna nama kampung-kampung di Solo. Heintchedoocth mengira, Solo kota yang indah, bersejarah, dibangun zaman Belanda. Ia berharap Solo tetap seperti bayangannya, kota pusaka.
Kali pertama Heintchedoocth ke Solo, militer Indonesia curiga terhadap kehadiran opanya yang dikira CIA. Saat itu tepat ketika terjadi huru-hara pembasmian PKI. Opanya mencatat, tepat pada Oktober 1965, PKI berkhianati. PKI mau membuat negara komunis. Aksi-aksi sepihak memprotes landreform, meneror dan show of force lewat berbagai cara, digerakkan dengan nekad. Pada 1 Oktober, orang Solo dikejutkan siaran RRI Jakarta yang mengabarkan Gerakan 30 September. Malamnya ada isu Dewan Revolusi. Esok harinya Opa Heintchedoocth mendengar dari radio bahwa Walikota Solo Utoyo Ramelan mengumumkan terben¬tuknya Pemerintahan Dewan Revolusi Daerah Kotamadya Surakarta.
Sebenarnya Omanya minta mereka segera meninggalkan Indonesia. Namun karena Opa berbesanan dengan priyayi agung Mangkunegaran, mereka merasa masih aman berada di Solo.
Benar juga, sepekan kemudian Batalyon Divisi Diponegoro yang tadinya pro Dewan Revolusi, menyatakan setia kembali kepada Pangliman Divisi Diponegoro. Namun Opa Heintchedoocth yakin bahwa meski media mengabarkan Jawa Tengah aman dan terkendali, sebenarnya penuh bara api. Apalagi Kol Yasir Hadibroto adakan rapat dengan berbagai golongan anti komunis untuk me¬nentang Dewan Revolusi.
Di saat hawa politik di Solo memanas, Heintchedoocth kecil uring-uringan. Ia dijanjikan diajak menikmati indahnya kota Solo. Yang terjadi malah banyak asap hitam akibat beberapa toko dan kantor PKI dibakar. Untunglah, keluarga eyangnya yang Kanjeng, masih dapat membawanya ke daerah-daerah seperti di Banjarsari, lalu ke beberapa kampung legendaris dan pesiar di Tirtomoyo. Padahal maksud ajakan itu untuk menyelamatkan Heintchedoocth jika terjadi sesuatu di Hotel Merdeka, daerah yang berada selangkah dari pusat kerusuhan di Balaikota Solo.
Tetapi ketika pada 22 Oktober, Heintchedoocth akan diajak ke Boyolali, rencana ini batal. Ada pemogokan bus di Gemblegan Solo. RKP (Regu Kerja Pemuda) dan Pemuda Rakyat yang underbouw PKI, melarang sopir bus beroperasi. Mereka menghalangi aktivis PNI menghadiri pemakaman Jendral Katamso di Yogya. Heintchedoocth akhirnya hanya tinggal di hotel saja.
Suasana di sekitar Hotel Merdeka sangat panas. Para pemuda datang dari halaman Mesjid Agung setelah sholat Jum’atan menyambut RPKAD di Solo. Lalu mereka demo anti PKI. Dari jarak tak lebih 1000 meter dari hotel, Heintchedoocth kecil melihat percetakan Populair dibakar, sama seperti toko-toko di Singosaren yang sudah merah menyala karena api. (Sewaktu Heintchedoocth datang lagi ke Solo tahun 1981, tanah Populair ini sudah menjadi gedung BCA Slamet Riyadi sekarang).
Di catatan opanya, Heintchedoocth tahu bahwa ketika demonstran memasuki kantor Pemuda PKI bernama CGMI, terdengar serentetan tem¬bak¬an dari arah timur, diperkirakan dari sekitar Beteng. Beberapa demon¬stran tersungkur kena peluru. Jumlah korban 4 tewas dan 14 luka tembak. Para demonstran menjadi panik, terpecah dan kocar-kocar lari cari selamat.
Karena massa PKI terpancing, malam harinya mereka mencegat pendemo di Peterongan, Warung Pelem, Kampung Se¬wu dan Sangkrah. Hasil tangkapan beruap para pendemo anti PKI, dibawa ke Kedungkopi (dulu namanya Putat) dan dihabisi disana sebanyak 22 orang korban mati mengenaskan.
Heintchedoocth heran, ketika mengajak Ni Ngoro ke Kedungkopi, seolah disini tak ada cerita pembantaian yang amat keji. Padahal masih terbayang jelas di pelupuk matanya, semacam trauma masa kecil, ketika melihat banyak darah di depan hotel Merdeka tempatnya menginap, dulu di tahun 1965 pas pendemo ditembaki membabi buta.
Kini, apakah semua sudah garing, sebab tak berbekas lagi. Tak ada tanda kedukaan. Mungkin tidak perlu dikenang, begitu pikirnya menetramkan diri. Padahal seingat Heintchedoocth, masih ada korban yang lolos dari maut Kedungkopi dan baru meninggal setelah tahun 2000. Dia kecewa, tak satupun tanda yang bisa dikenalinya, padahal trauma masa kecilnya itu, belum sembuh hingga kini.
Heintchedoocth dan Ni Ngoro berhenti di perempatan Warung Pelem. Heintchedoocth ingat saat berkunjung ke Solo tahun 1981, di sekitar inilah seorang pribumi dihakimi warga keturunan yang menyulut bakar-bakar di kota Solo dan menjalar hampir di seluruh pulau Jawa dan Indonesia. Namun ia pun tidak menemukan tanda-tanda pernah ada kerusuhan besar di Solo. Rupanya, Heintchedoocth sering berada di tempat di mana ada pergolakan di Solo. Pantas Solo disebut sebagai kota barometer politik Indonesia.
Ni Ngoro dan Heintchedoocth lalu blusak-blusuk di berbagai gang dan kampung-kampung. Orang sering bingung dengan perjalanannya yang tak henti dengan sejuta tanya. “Meneer ini mau bikin thesis, bantu LSM, motret kemiskinan berkedok ilmuwan atau mencari kuburan nenek moyang yang mati dipedang jaman revolusi?” begitu penduduk pribumi bertanya-tanya.
Ni Ngoro tertarik mengenal Heintchedoocth karena ia berbeda dari stereotype sinyo-sinyo Belanda. Mungkin tak mengherankan karena kakek neneknya dari pihak ibu adalah pribumi Jawa tulen. Dulu ketika Indonesia dikuasai Jepang, Opa Heintchedoocth lari ke Australia. Ketika terjadi class tahun 1948, Opa balik ke Solo. Karena anak lelakinya kawin dengan penduduk pribumi, baru tahun 1955 Opa Heintchedoocth memboyong anak mantunya ke Belanda.
Heintchedoocth lahir tahun 1957. Sudah 4 kali datang ke Indonesia, pengetahuannya tentang kota Solo melebihi penduduknya sendiri. Dulu ia suka melihat keramaian pasar Yaik di perempatan Pasar Pon. Sekarang namanya diganti pasar Triwindu gara-gara HUT Mangkunagoro yang bertahta ke 24 tahun. Heintchedoocth juga berkunjung ke Perempatan Ngapeman mencari apem kesukaan Opanya. Namun mana ada apem disini. “Dulu disini ada pasar sepeda onthel bekas. Sekarang menjadi Hotel Novotel!” Ketika mencari benda pecah belah di Pasar mBeling, ia hanya menemukan penjual bakso dorong, tanpa ada pasar yang menjual barang pecah belah sebagaimana nama pasarnya, Pasar mBeling.
Ni Ngoro juga pernah mengajak Heintchedoocth ke Alun-alun. Ia melongo. Mengapa? “Kata Opa, hamparan lapangan Alun-alunnya bukan rumput, tetapi pasir.” Ni Ngoro tersenyum, lalu menjelaskan bahwa ketika Jepang masuk Solo, pasirnya diganti rumput. “Andai diganti pasir lagi bisa, kan? Tapi pasti beayanya tinggi, lebih baik beli BBM untuk rakyat miskin!”
Ni Ngoro jadi ingat biografi Barack Obama. Ketika diboyong ayah tirinya ke Indonesia, hanya kemiskinan saja yang terbingkai di memori calon Presiden Amerika itu, sama seperti Heintchedoocth yang tak pernah lepas dari kata miskin di mulutnya ketika bludas bludus di gang-gang kota Solo.—000—-
Pagi-pagi kedua kawanan Jalond (Jawa-Londo/Belanda) itu berjalan-jalan dari Gondang sampai Kampung Sewu dan Tanggul. Hebatnya, keduanya menyusuri pinggir kali Pepe. Jika pingiran kali tak bisa dilewati, mereka menyusuri lewat rumah penduduk. Perjalanan ini menghabiskan waktu sehari. Heintchedoocth giat mencatat hal-hal yang membuatnya kagum.
Dari Gondang, Sambeng, Balapan, Jageran, Pasar Legi, Kebalen, Kreteg Arifin, Pasar Gede, Kreteg Gantung, Kedunglumbu, Kampung Sewu hingga menembus sungai Bengawan Solo, notes Heintchedoocth penuh dengan cerita yang mengawali pembentukan nama-nama di daerah itu. Catatan itu akan diaduk-aduk dan dipadu-padankan dengan catatan harian opanya, lalu disambung dengan catatan Ni Ngoro.
“Ini satu-satunya sungai yang melewati tengah kota sepadat Solo. Heran, mengapa airnya kering? Kemana orang Solo membuang air?” tanya Heintchedoocth
Esok paginya mereka menyusuri rel kereta api dari stasiun Sangkrah lewat jalan Slamet Riyadi hingga stasiun Purwosati. Jalan pusat kota ini satu-satunya jalan kota yang masih aktif dengan kereta api antiknya dari Wonogiri. Di catatan opanya, Heintchedoocth ingat bahwa jalan Slamet Riyadi itu dulunya bernama Jalan Wilhemina. Di jaman Jepang namanya berubah menjadi Jalan Purwosari Weg, kini bernama Jalan Slamet Riyadi.
Adapun kereta apinya dulu hanya satu gerbong, ditarik 6 ekor kuda. Ini aneh, kata Heintchedoocth tertawa. Baru 5 tahun kemudian tepatnya 1905, datang loko beneran dengan tenaga batubara. Uap lokonya mengepul hitam, jalannya pelan, persis seperti jalannya puteri Solo. Dulu ada banyak halte. Berangkat dari halte Vastenburg, kereta menuju halte Kauman, lalu halte Derpoyudo Nonongan, halte Pasar Pon, halte Sriwedari, halte Pesanggrahan Ngadisuryan, stasiun Purwosari dan berakhir di Gembongan Kartosuro.
Kata Opa Heintchedoocth, hanya orang asing, saudagar pri¬bu¬mi dan bangsawan keraton yang sering naik kereta ini, rakyat jelata takut karena tak punya uang. Rakyat naik dokar, andong atau gerobak sapi. Pada saat itu jalanan masih nyaman dilalui karena banyaknya pepohonan besar sehingga tidak panas. Penduduk yang berdiam di pinggir jalan selalu menyediakan kendi air untuk musafir yang kehausan.
Esok pagi lagi, Jalond itu ‘sobo turut lurung’ dari Jurug, menyusuri pinggir kali Bengawan Solo melewati Kampung Sewu, Pasar Kliwon hingga Gading dan masuk keraton Solo. Hari-hari selanjutnya mereka menyusuri di hampir 51 Kelurahan di kota Solo. Sungguh sebuah perjalanan selama 2 minggu yang sangat menawan. Hawa di Solo cukup panas sehabis musim hujan, tetapi tak mengurangi gairah mendapatkan data-data yang menarik.
Sampai terdesak waktu, Ni Ngoro dan Heintchedoocth membuka catatan pinggiran, maksudnya pinggir kali dan pinggir jalan dalam rangka “sobo turut lurung kota Solo”. Keduanya gotong royong membuat jalinan cerita tentang lahirnya kota Solo hingga mencatat banyaknya situs-situs yang hilang tanpa makna.
Solo mulai tumbuh sebagai desa becek pada 1745 ketika PB II memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Ni Ngoro menulis awal-awal ceritanya sbb: Sebelum ada kerajaan Surakarta, desa Sala sering banjir. Penduduknya belum banyak, suasananya sepi, jika malam senyap karena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi sehabis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlantai tanah dan beratap ilalng.
Heintchedoocth tersenyum membaca kata awal tulisan Ni Ngoro. Lelaki cerdas itu memang bisa berbahasa Indonesia dari ajaran mamanya. Ia minta Ni Ngoro mengurai bagaimana Sala kini disebut Solo, sedangkan pemerintahan formalnya disebut Surakarta. Konon kata Solo hanya permudahan ejaan Bau Soroh, jabatan abdidalem keraton yang mengurusi pelabuhan sungai Bengawan di Bandar Beton. Pendatang sulit mengeja kata Soroh dan terpeleset menjadi Sala, hingga akhirnya Bau Sorohnya disebut Sala.
Kepindahan raja dibarengi pergantian nama kerajaan Kartasura menjadi Surakarta, kotanya disebut Sala sesuai nama desa Sala. Sungai Bengawan namanya ditambah Sala. Jadi sungai Bengawan Sala yang memberi nama adalah PB II, seru Heintchedoocth. Dulunya sungai Bengawan Sala itu hanya bernama sungai Bengawan saja.
Eyang Kanjeng membenarkan penamaan itu. Beliau ikut membantu memilahkan pembentukan nama kampung di Solo yang diambil dari kebiasaan, karakter, logat bahasa atau kepentingan politik. Pertumbuhan Solo juga dikotak-kotakkan dalam satu komuninitas. Misalnya komunitas Cina di Mbalong, sedangkan keturunan Arab di Pasar Kliwon.
Di Banjarsari, Belanda menamakan Villa Park. Daerah ini cukup indah, sejuk dan nyaman. Dulu pernah rusak karena dipakai Pasar Klithikan atau Pasar Maling. Sekarang dibuat hampir menyerupai jaman Villa Park. Bangunan loji milik none-none londo masih tersisa. Opa Heintchedoocth pernah tinggal di Villa Park ini sekitar 6 bulan pada tahun 1930-an sebelum dipindah ke Benteng Vastenburg di Gladag.
Sewaktu Jalond sobo di Kauman, didapati pembentukan nama berdasarkan penguasa, tokoh atau orang terhormat disitu. Disana ada kampung Modinan. Dulu memang tempat tinggal para modin. Sekarang, Pak Modin-nya masih ada, tetapi tidak lagi tinggal disini. Di Ketibanoman, nama kampung di jalan Trisula ini diambil dari nama Bupati Keraton bernama Ketib Anom yang tinggal disini. Nama daerah Intip Kuningan pun demikian. Dulu ditinggali Raden Intip Kuning. Disini banyak orang yang magersari. Di dukuh Trayeman, dulu tinggal Raden Trayem. Di Dukuh Sememen, ditinggali Kanjeng Sememi. Sedangkan di Dukuh Pringgokusuman, dulunya tinggal KRT Pringgokusuma. Di dukuh Kamitan, dulu tinggal tokoh batik Haji Kamit, orang paling kaya disini.
Yang membuat mereka tersenyum adalah Kampung Keplekan, lokasinya paling timur, tepat di belakang gedung BCA. Sekarang sudah menjadi daerah perluasan Pasar Klewer. Nnamanya Keplekan meski dekat dengan Masjid Agung dengan penduduk para santri. Tetapi setiap hari ada saja orang yang bermain judi kartu keplek disini. Kenapa para santri tidak marah? Sebab yang bermain adalah para bangsawan keraton, sehingga daerah ini dinamai Kampung Keplekan. Cecck ceck ceck.
Heintchedoocth ingin meneruskan cerita tentang Kalurahan lain di Kecamatan Pasar Kliwon. Misalnya Kedunglumbu atau Baluwarti. “Daerah itu punya cerita legenda yang sangat hidup. Aku mau membuatnya menjadi sebuah novel,” elak Ni Ngoro menolak.
Bagi Ni Ngoro, kisah perseteruan segita Gladag sangat menarik. “Gladag itu perempatan, bukan segitiga,” bantah Heintchedoocth. Namun Ni Ngoro punya asumsi sendiri bahwa segitiga yang dimaksud bukan pertigaan jalan, tetapi perseteruan segitiga sekaligus kongkalingkong antara Raja Paku Buwana, pemerintah Belanda dan Kadipaten Mangkunegaran. Gladag akan dijadikan simbol perseteruan itu oleh Ni Ngoro. Heintchedoocth tertarik mendengar asumsi Ni Ngoro.
“Di Gladag pula, dua budaya saling beradu, budaya Jawa dan Budaya Eropa. Bukti-bukti bisa dilihat dari bangunan gedung yang masih tersisa. Lihat, di satu wilayah berdekatan, ada bangunan keraton, ada Mesjid Agung, tetapi juga ada Javache Bank, Benteng Vastenburg, Gereja Kalam Kudus, kantor Gubernur Jendral Belanda (sekarang Balaikota), dan rumah dinas Gubernur (sekarang BNI 46). Daerah ini bukit adanya corak 2 budaya, Jawa dan Belanda yang dipaksakan beradu di Gladag.”
“Wah benar. Setelah Belanda membangun Vastenburg tahun 1775, raja Solo langsung mendirikan Panggung Sanggabuwana tahun 1782. Bentuk diplomasi sang raja, panggung itu untuk upacara ritual saat Ratu Selatan berkunjung ke keraton. Padahal tujuannya saling mengintai gerakan militer masing-masing! Hebat!!! Jika aku hidup di jaman itu, kemana aku memihak? Wah… aku tak sabar, buatlah artikel Perseteruan Segitiga Gladag, Ni!” pinta Heintchedoocth yang disanggupi Ni Ngoro.
Selanjutnya Heintchedoocth membuka catatan sejarah kampung Kadipolo. Di kampung ini, ada Pakde, kakak mamanya yang tinggal disini. Menurut Pakde, pembentukan nama Kampung Kadipolo sangat unik. Pertamanya, kampung ini bernama Talangwangi. Waktu membangun keraton, raja mendengar tanah desa ini berbau wangi. Raja ingin keratonnya diurug tanah ini. Penduduk diwajibkan memberi upeti tanah ini dan langsung diantar untuk diurugkan di rawa-rawa desa Sala. Karena rawa yang diurug sangat besar, penduduk sangat kelelahan. Istilah Jawanya seperti “koyo dipolo” (dipiloro/disakiti, dicambuk). Maka kampung di desa Talawangi itu akhirnya disebut Kampung Kadipolo.
Isteri Kanjeng yang penduduk asli kampung Talangwangi pernah mendengar cerita turun temurun. Untuk mengangkut tanah, mereka gunakan gerobag. Dalam sehari serombongan penduduk harus mengangkut sebanyak 5 kali. Jarak tempuhnya sekitar 3 km. Karena keraton harus selesai dibangun 1 tahun, kerja bakti ini dilakukan secara marathon. Bayangkan, tahun 1744 pasti belum ada angkutan truk dan jalan mulus. Begitupun, penduduk desa juga masih sedikit. Apakah tidak ada upah? “Namanya juga upeti, makan cari sendirilah. Maka koyo dipolo itu!” jelas Ni Ngoro.
“Seperti apa bau wangi tanahnya?” tanya Heintchedoocth. “Mungkin seperti kembang telon (bunga 3 macam/warna). Maklum banyak tumbuh bunga-bungaan di Talangwangi.”
Dalam catatan Ni Ngoro, tanah bagus di dekat desa Sala justru dihuni patih keraton. Letaknya sekarang di Kepatihan. Daerah ini termasuk kampung paling tua. Dibangunkan untuk patih Kasunanan Surakarta, KRA Sasraningrat tahun 1769. Sang Patih memba¬ngun rumahnya di Jalan Sanggihe, Kepatihan Wetan. Karena rumah patih, daerah ini disebut Kepatihan. Sekarang sebagian areal rumah kepatihan ini dipakai oleh kantor Kejaksaan.
Suatu kali, Ni Ngoro dan Heintchedoocth bertengkar. Heintchedoocth ingin bercerita secara runtut antar kampung, tetapi Ni Ngoro ingin mengurutkan berdasarkan kelompok asal-usul dan tahun kelahirannya. “Kalau begitu, kita bahas Baluwarti. Itu kampung bolwerk, sangat seru di balik tembok tinggi keraton!” seru Heintchedoocth. Ia sangat terpesona oleh budaya yang masih sangat ‘jawani’ disini. Apalagi datanya diperoleh dari keluarga Kanjeng Mloyomiluhur.
Heintchedoocth tertawa geli ketika tahu bahwa kata Baluwarti berasal dari bahasa Belanda bolwerk yang artinya adalah “benteng”. Asal kata dari bahasa Belanda itulah yang mengawali keingintahuan Heintchedoocth untuk mengaduk-aduk topinimi daerah Solo, yakni sejarah asal usul pembentuk nama suatu daerah. Ia merasa bangga sekali jika ada penamaan daerah yang berbau Belanda-Jawa.Heintchedoocth tertawa geli oleh nama kampung yang berasal dari bahasa atau nama orang Belanda yang terjawakan, lalu berubah ejaan sesuai lidah Jawa. Kata overste, di lidah Jawa jadi obrus, lalu disebut Kampung Ngebrusan. Kampung Beskalan dari kata Ambtenas Belanda berpangkat Beskal. Nama Kampung Jageran berasal dari rumah serdadu Belanda bernama Jager. Kampung Petoran diambil dari orang Belanda di kampung ini bernama Petor. Kampung Jurnasan ditinggali Jurnas, Kampung Kestalan berasal dari kandang kuda yang bahasa Belandanya Stal.Ni Ngoro jengkel, Heintchedoocth terus tertawa tiada henti. Maka ia kembali membahas Kampung Baluwarti. Kini mereka berdebat tentang makam Kyai Gede Solo III yang makamnya berada di pojok Baluwarti. Tokoh inilah yang paling berpe¬ngaruh atas berdirinya keraton di tanah desa Sala.
Heintchedoocth menganggap Kayi Gede Sala sebagai pahlawan pembela rakyat sejati. Tanpa perannya, rakyat desa Sala yang tergusur pembangunan keraton, tak akan mendapat ganti rugi. Mereka hanya diberi kayu gelondongan. Demo rakyat Kyai Gede Sala diwujudkan dengan membuka sumber air dan menaburkan ikan laut hidup sehingga tanah desa Sala menjadi lautan rawa-rawa. Itulah bentuk demo rakyat di jaman kuno.
Ni Ngoro bersikeras bukan demikian cerita yang sebenarnya. Ia mengingatkan nama Raden Pabelan, pemuda yang menodai Puteri Hemas anak raja Hadiwijaya. Don Yuan itu ditemukan sudah menjadi bathang (mayat) di sungai dekat rawa-rawa desa Sala. Namun Heintchedoocth yakin bahwa asumsinya lebih realistis. Kyai Sala dianggap pintar berdiplomasi mengulur waktu hingga raja membayar ganti rugi dengan cerita mistis Raden Pabelan, putera Tumenggung Mayang yang ketahuan dibunuh hulubalang keraton dan mayatnya dihanyutkan di sungai.
Jelas bahwa tenggang waktu Raja Hadiwijaya berkuasa dengan penemuan mayat berselisih hampir dua abad. Raja Hadiwijaya berkuasa tahun 1568-1582, sedangkan pembangunan keraton tahun 1744, saat dimana Kyai Gede Solo bertapa bertemu dengan Raden Pabelan.
Maka Ni Ngoro dan Heintchedoocth itu berdebat lagi. “Abad 18, tanah Jawa masih kental dengan aroma mistis!” ujar Ni Ngoro. Heintchedoocth tertawa keras. “Bagiku, utusan PB II seperti Sindurejo, Hohendorp, Pringgalaya, Hanggawangsa, Mangkuyuda dan Puspanegara adalah para makelar yang gampang diping-pong Kyai Gede Sala!” ejek Heintchedoocth
“Lihat bukti toponimi Kampung Bathangan dan Sangkrah. Kampung Bathangan berasal dari penemuan bathang (mayat) Raden Pabelan, sedangkan Kampung Sangkrah berasal dari tempat mayat Raden Pabelan ditemukan. Kini, makamnya masih dikeramatkan, berada tepat di tengah keramaian gedung Benteng Plaza dan PGS!” jelas Ni Ngoro.
“Kamu percaya pada karangan Kyai Gede Sala? Ia bilang setelah tiga hari tiga malam bertapa, ia bermimpi ketemu Raden Pabelan yang sudah terkubur 2 abad lamanya. Bualan macam mana itu, jangan-jangan hanya ketemu wewe gentayangan?” Heintchedoocth tak dapat menahan tawa ngakaknya menyanggah cerita di buku Babad Tanah Jawa.
“Hei Boy, kamu Londo yang tak bisa mengerti kejawen,” balas Ni Ngoro. Lalu Ni Ngoro berkhotbah tentang kejawen untuk mengingatkan darah Mangkunegaran yang menempel pada Heintchedoocth.
“Namaku Ruud Rden Heintchedoocth. Kamu tahu Ni, Rden itu singkatan Raden menurut mamaku agar aku tak lupa pada eyang Kanjeng dan tanah Jawa. Tetapi aku hidup di Belanda, aku sekolah fisika dan otakku terbiasa berpikir matematis! Sudahlah, lebih baik kita membahas kampung lain. Dengarlah, kubacakan catatanku….”
Heintchedoocth membaca catatannya keras-keras. “Nama Kampung Gadhing bukan berarti gudang gading gajah. Inilah domisili abdi dalem yang berkewajiban Gadhingan. Gadhingan adalah para te¬tua, penasehat dan spiritualis keraton yang ‘lelaku’ untuk tujuan suci lahir ba¬thin bagi kepentingan keraton. Maka daerah itu disebut Kampung Ganding.” Ni Ngoro langsung menanggapi sambil berseru, “Percaya tidak, itulah kejawen!” Heintchedoocth tersenyum kecut.
Ia langsung membaca catatan pembentukan nama kampung dari kelompok abdidalem berdasar¬kan keahlian. Gandekan daerah domisili para gandhek, Wiji Pinilihan domisili prajurit magang hingga terpilih diangkat tetap. Saragenen domisili prajurit Kaparak Sarageni. Jayatakan, domisili prajurit Tohpati (berani mati). Masih ada lagi Jagalan, Gajahan, Carangan, Kepunton, Baturana, Serengan, Kerten, Kalangan, Kemlayan, Wirengan dll.Ni Ngoro mengganti bahan bicara dengan menyebut nama Mangkunegaran. Ia yakin, Heintchedoocth pasti tertarik. “Mangkunegaran juga punya andil dalam penamaaan kampung-kampung di Solo. Kampung Margoyudan, tempat latihan perang legiun Mangkunagaran.” Setabelan berasal dari salah eja lidah Jawa menyebut meriam sebagai Setabel. Gudang penyimpatan setabel Mangkunegaran dinamakan Setabelan. Para Punggawa Nalapraja dari luar kota diinapkan jika akan menghadap Mangkunagara, kampung inap ini disebut Punggawan. Kebiasaan pangeran timur (masih muda) nongkrong, dinamai Kampung Timuran. Tetapi disini juga tinggal Pangeran Timur.Ni Ngoro memilah penamaan kampung berdasarkan kondisi alam. Misalnya, akibat sering banjir disebut Tambaksegaran karena air luberan kali Pepe membajir seperti segara (laut). Rumah gedung (Jw-loji) yang batal (Jw-wurung) dibangun karena daerahnya sering bajir disebut Kampung Lojiwurung. Kampung Pringgading berasal dari kata pring kuning gading yang banyak tumbuh disini. Kampung Mesen karena banyak alang-alang, sehingga penguasa memungut ongkos satu sen sebagai emes-emese bagi peternak yang angon disini. Sedang lokasi gudang pari disebut Kampung Keparen.Heintchedoocth meletakkan pena dan catatannya. Ia mengajak berbelanja di Pasar Klewer untuk membeli oleh-oleh karena esok pagi akan pulang ke Belanda. Sambil berjalan ke Klewer, keduanya main tebak-tebakan sambil mengingat-ingat data yang sudah tercatat. “Kau ingat, dari mana nama Pasar Klewer?” Heintchedoocth yang ditanya mengangguk.
Cerita asal Klewer, awalnya para bakul menjajakan da¬gangan kain jarik dan selendang yang ditaruh di pundak. Kain dagangannya menjutai-njuntai yang istilah Jawanya ‘pating klewer’. Maka pasar ini disebut Pasar Klewer. Lalu asal kata Pasar Dhawung. Ceritanya sebermula seorang bakul jamu berjualan di bawah pohon dhawung. Bakulnya terkenal manis, jamunya manjur sehingga langganannya banyak. Ini merangsang orang lain berjualan di bawah pohon dhawung, maka kampung dan pasar itu disebut Dhawung.
Kalau Pasar Senggol Purwosari, pasar tiban ini hanya ada di tiap malam. Pasarnya sempit, pengunjungnya banyak, sehingga tampak berdempetan. Setiap orang berdesakan sehingga sering bersenggolan dengan yang lain. Para muda-mudi memakainya khusus untuk senggol-senggolan sebagai acara pendekatan mencari jodoh.
Sepulang dari berbelanja, mereka melanjutkan mengarsip data pembentukan nama kampung yang berasal dari penokohan berdasarkan tempat tinggal. Penamaan tokoh ini menjalar dimana-mana. Mereka hanya memberi akhiran an. Misalnya, tempat tinggal Soemowinoto, daerah itu lalu disebut Soemowinatan. Rumah Kanjeng Mloyosumo, daerahnya jadi Mloyosuman. Kampung Singasaren, kampung ini ditinggali Pangeran Singosari. Kampung Jayanegaran, dulu rumahnya Kanjeng Jayanegara. Juga Kampung Danukusuman, Pringgalayan, Cakranegaran, Wira¬gunan, Purwadiningratan dsb.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika mereka merasa perut sangat keroncongan. Ada baiknya makan nasi liwet di pingir jalan. Esok pagi mereka harus sowan ke semua eyang-eyang karena Heintchedoocth akan berpamitan pulang ke Belanda.
Hari selajutnya Ni Ngoro harus mengerjakan sendiri hasil temuan selama Sobo Turut Lurung di kota Solo, demikian pula Heintchedoocth. Keduanya sepakat untuk bertemu bulan depan, Heintchedoocth berencana mengambil libur panjang untuk meneruskan cerita dan gambar toponimi kampung di Solo.
Saat melepas Heintchedoocth di bandara, Ni Ngoro membisikkan alunan nada yang menggetarkan sanubari Heintchedoocth.

Kita adalah sejoli liar yang sangat nekad
Menelusuri kali ke kali
Menjelajah gang-gang pinggiran
Berjalan tanpa letih
Bekerja tanpa selesai
Kita meronce keping makna yang akan terkubur
Maka jangan pernah berhenti jika itu untuk keabadian
Kalau kau tak kembali
Aku takut ada yang hilang, aku takut ada kekalahan

Solo Sep 08

KRAPYAK DAN LOJIWURUNG YANG HILANG

Nama Kampung Baru Tak Punya Makna

Kampung Baru adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon Surakarta. Sejarah panjang dan menarik di kelurahan ini, dihilangkan tanpa makna oleh aparat pemerintah Balaikota Solo yang tak mampu menghargai makna sejarah.

Ada dua manusia nekad yang merasa bisa tampil beda. Ni Ngoro, cewek Indonesia dan Heintchedoocth, pria Jawa-Belanda. Keduanya pernah bersama-sama ‘sobo turut lurung’ (dolan menyusuri berbagai jalanan dan gang-gang) di kota Solo untuk mencari tahu asal usul penamaan kampung-kampung di Solo.

Heintchedoocth dan Ni Ngoro menuliskan tentang kisah mereka saat sobo turut lurung di kampung yang berada di tengah kota Solo, kelurahan di mana walikota berkantor yang disebut balaikota. Walikota Joko Widodo yang dipanggil Jokowi, ingin membangun Solo ke depan sebagaimana adanya Solo gaya lama. Ia sukses mengadakan pertemuan para walikota sedunia dari 50-an negara. Tetapi entahlah, nama-nama kampung dan gang-gang di Solo tidak dilirik. Nama gang-gang masih nyontek nama burung, nama pulau atau bunga, jadi masih terkesan abu-abu.

Kelurahan tempat Jokowi berkantor yang dimaksud Heintchedoocth adalah Kelurahan Kampung Baru. Ni Ngoro paling sering berkeliaran dengan Heintchedoocth di daerah ini. Kelurahan ini terdiri dari 6 RW. Batas kampungnya dari Gladag ke selatan sampai Kreteg Arifin, ke barat sampai Pring Gading, ke utara hingga pertigaan Jalan Imam Bonjol - Jalan Slamet Riyadi dan ke timur sampai ke Gladag lagi.

Heintchedoocth pernah menginap di Hotel Merdeka, dulu bernama Hotel Slier, hotel pertama yang ada di Solo pada zaman Belanda. Letaknya persis di depan Benteng Vastenberg. Hotel ini masuk Kelurahan Kampung Baru, namun kini tampak kosong, meski rupanya sering dipakai Bank Indonesia Solo untuk ‘tukar uang baru’ saat lebaran tiba.

Saat mengelilingi Kelurahan Kampung Baru, mereka mencatat adanya perkantoran seperti gedung Balaikota, ke utara gedung BI, lalu kantor pos, Bank Bukopin, gereja Protestan hingga perempatan Gladag. Dari pertigaan jalan Imam Bonjol, tampak Bank Haga, Bank Jateng, Penjara Solo, Bank Mandiri, Asuransi Bumi Putera, Bank Niaga dan gedung tertinggi Bank BHS yang masih kosong sejak dilikuidasi.

Bagi Heintchedoocth, nama Kampung Baru terasa tidak masuk akal. Wilayah ini berseberangan dengan Keraton Solo dan Benteng Vastenberg. Pasti daerah ini termasuk wilayah tua seumur berdirinya Keraton Solo. Heintchedoocth menanyakan, mengapa kelurahan ini bernama Kampung Baru? Bukankah wilayah yang sangat strategis sebagai pusat perkantoran ini bukan kampung yang baru dibangun?

Dari tanya sana-sini, konon di zaman pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini termasuk daerah banjir. Sebenarnya pemerintahan Kompeni Belanda yang terus memantau perkembangan keraton Solo, sangat berminat mendirikan banyak gedung-gedung di wilayah ini karena sangat dekat dengan keraton. Apalagi sejak PB (Pakubuwono) II sendiri tahun 1747, juga berminat membangun beberapa gedung untuk berbagai kepentingan, termasuk mengawasi kandang binatang hutan milik keraton yang juga ada di sini.

Tetapi baik raja maupun Belanda, semuanya membatalkan membangun daerah ini karena terus dilanda banjir. Loji-loji yang direncanaknan dibangun, urung didirikan disini. Akhirnya Kampung ini dinamai LOJIWURUNG. Hingga sekarang, keraton Surakarta masih menyebut wilayah ini Lojiwurung, bukan Kampung Baru.

Nama Kampung Baru dipakai setelah agresi Belanda tahun 1948. Yang memberi nama Kampung Baru, hingga kini pun masih gelap. Yang jelas sejak tertib administrasi ketika Raja Solo, Sunan PB XII bukan lagi sebagai gubernur dari Daerah Istimewa Provinsi Surakarta, Surakarta dimasukkan dalam wilayah Jawa Tengah dan menjadi Karesidenan Surakarta, Kelurahan Lojiwurung diubah menjadi Kelurahan Kampung Baru oleh para pegawai Balaikota Solo. Nama baru ini menghilangkan nama Lojiwurung.

Sebelum dinamai Lojiwurung, wilayah ini pernah bernama Krapyak. Krapyak artinya kandang binatang liar. Memang, dulu wilayah ini dijadikan kandang-kandang binatang liar seperti macan, babi hutan, beruang, menjangan, sapi, banteng dan serigala. Binatang itu hasil buruan raja, para pangeran, bangsawan dan prajurit keraton yang suka berburu ke hutan.

Jika di Spanyol ada jagoan gladiator yang diadu melawan Banteng, di keraton Solo juga ada gladiator. Aduan manusia (biasanya manusia hukuman atau para ksatria), diadu melawan binatang hutan yang dikandangkan di Krapak ini. Jika ada aduan manusia melawan binatang di alun-alun, rakyat akan datang berduyun-duyun. Kalah atau menang, binatangnya langsung disembelih, lalu dibagi-bagikan untuk rakyat. Adapun anak turunan para gladiator Jawa ini sudah buta pada kejuangan nenek moyangnya, sehingga tidak lagi ketahuan juntrungnya.

Selain itu, jika keraton punya kerja atau pada tanggal-tanggal tertentu dari hitungan Jawa seperti Muludan dan Suran, hewan liar yang dikandangkan di Krapyak (lokasinya berada di belakang Penjara Solo, masuk RW I Kelurahan Kampung Baru), pasti hewan-hewan ini disembelih dan dagingnya diperebutkan rakyat. Binatang liar itu digelandang dan disembelih di daerah yang kini bernama Gladag. Dari Krapyak, hewan itu ditarik paksa menggunakan tali dadung besar. Orang-orang mengatakan, hewannya di-gladag (diseret paksa). Maka daerah itu dinamakan Gladag.

Namun Belanda tetap menggunakan tanah Kampung Baru untuk membangun gedung-gedung penting karena dekat dengan keraton. Di antaranya gedung balaikota sebagai kantor Gubernuran dan Javache Bank (kini Bank Indonesia). Adapun nama Krapyak kini tinggal kenangan karena tidak ada alamat surat yang bisa sampai di Kampung Krapyak.

Jalan-jalan di Kampung Krapyak sudah diubah menjadi jalan yang diberi nama jalan Flores. “Nama jalan Flores ini menggelikan, sangat aneh dan lucu karena tak bermakna sesuai dengan histori dan faktor-faktor alam lainnya,” ujar Heintchedoocth. Kampung Krapyak sendiri masuk di wilayah Kelurahan Kampung Baru RW I. Daerah ini malah terkenal dengan nama balaikampung, sebab balaikampung Kelurahan Kampung Baru terletak di Krapyak ini.

Di timur Krapyak masuk wilayah RW II ada daerah yang bernama Kampung Kabupaten. Dinamai Kampung Kabupaten karena dulu, ada bupati di zaman Belanda yang bermukim disini. Bekas rumah dinasnya kini menjadi gedung Bank BPD Jateng atau Bank Jateng.

Di selatan gereja Protestan, dulu ada kantor polantas, namun kini sudah dibangun sebagai gedung Bank Bukopin. Di selatannya berdiri kantor pos Solo. Tanah kantor pos ini dulunya merupakan rumah loji milik seorang warga Belanda. Di sebelah selatannya inilah berdiri Hotel Slier tempat Opa Heintchedoocth suka menginap.

Satu bangunan joglo tua yang direnovasi mewah adalah Hotel Kusuma Sahid. Dulu lokasi ini milik putera PB X, KPH Kusumayuda yang pernah hampir menjadi PB XI. Mengapa hampir? Menurut cerita, Sang Pangeran terlalu lama mengeram di dalam kandungan Ibu Suri melebihi batas 9 bulan, bahkan hampir setahun. Padahal ada garwa padmi atau isteri raja lainnya yang juga mengandung dan melahirkannya tepat 9 bulan. Dialah putera raja yang akhirnya menjadi PB XI karena lahir lebih dulu beberapa hari dari Pangeran Kusumayuda. Ada gossip yang mengabarkan bahwa garwa padmi tadi minta bantuan dukun agar Pangeran Kusumayuda jangan lahir dulu sebelum anak yang dikandungnya lahir. “Wah, benar atau tidak, ya?” seru Heintchedoocth geleng-geleng kepala mendengar cerita ini.

Menurut tradisi, pangeran yang lahir lebih dahulu, dialah yang berhak atas tahta istana. Andai Pangeran Kusumayuda lahir 9 bulan dalam kandungan, bukan setahun, beliaulah PB XI-nya, karena saat itu kandungan garwa padmi baru 6 bulan. Adapun daerah rumah sang Pangeran kini bernama Kusumayudan, sedang rumah Kusumayuda pernah dipakai sebagai gedung Universitas Cokroaminoto sebelum menjadi Hotel Kusuma Sahid.

Di Hotel Kusuma Sahid ini pula, almarhum Sunan PB XII yang wafat tahun 2004, menjalankan roda Kerajaan Surakarta. Selama menjadi raja sejak 1945-an hingga wafatnya, PB XII melakukan topo broto “tidur di luar tembok keraton”. Mungkin sebagai tanda bahwa dirinya bukan lagi maharaja yang berkuasa, karena Indonesia telah merdeka. Sukamndani Sahid Gitosardjono menyediakan kamar khusus secara gratis kepada sang Sunan, lengkap dengan segala keperluannya. Bagi Sukamdani, ini tidaklah membebani, bukankah tanah hotel bekas milik paman Sunan, yakni Pangeran Kusumayuda?

Di Kelurahan Kampung Baru ini, Ni Ngoro dan Heintchedoocth tidak menemukan banyaknya nama-nama dukuh atau wilayah. Di RW I – III hanya ada nama Krapyak dan Kadipaten, tetapi nama itu lama-lama hilang. Di jalan ini ada pemain sepakbola yang ngetop di era 1980-an, namanya Didik Darmadi. Di sebelah selatan rumah Didik Darmadi adalah rumah Panglima TNI sekarang, Jendral Joko Santoso.

Jendral yang berparas seperti orang Timor ini putera asli Kampung Baru. Ayahnya bernama Joko Suyono, seorang guru. Semua puteranya diberi nama Joko. Ada Joko Santoso (sulung/Panglima TNI), ada Joko Pitoyo yang menjabat Kepala Perairan DKI, si pengurus banjir Jakarta. Di Solo, keluarga ini hidup sederhana. Rumah masa kecil Jendral Joko Santoso sekarang sudah dibangun cukup layak, ditempati adik perempan beliau.

Di dukuh Kadipaten, orang terkenal adalah keluarga juragan batik Harjosumarto. Keluarga ini kian tenar setelah salah seorang anaknya, Suhendra pernah berjuang menjadi kandidat walikota Solo sekitar tahun 2000 lalu, namun kalah dalam pemilu di DPRD. Sebagian rumah Harjosumarto dijual, lalu dikuasai keturunan Cina pedagang batik Pasar Klewer yang membangun rumah besar sekaligus menjadi gudang batik.

Jalan Ronggowarsito Kampung Baru merupakan jalan baru yang dibangun tahun 1970. Hanya ada 3 pemilik rumah yang diberi ganti rugi, selebihnya gratis. Maklum tanah di sekitar Balaikota, saat itu hanya berstatus HGB, bukan hak milik. Mereka yang mendapat ganti rugi adalah dukun Mangun Wiguna, janda Hendro dan tokoh PNI Soemowinoto (sudah almarhum semua). Tokoh Soemowinoto adalah veteran pejuang 45. Ia pernah ditugasi mencetak Uang Negara Darurat pada awal kemerdekaan saat ekonomi Indonesia belum stabil.

Cerita adanya uang yang dicetak di Solo ini sangat menarik. Heintchedoocth tidak habis mengerti, ada uang yang dicetak di kota Solo. Ternyata uang ini hanya berlaku selama setengah tahun. Dicetaknya hanya dengan kertas payung. Saat itu sekitar tahun 1946. Ceritanya, Komandan Sub Teritorial Commando sebagai Pangliman Divisi IV, Letnan Kolonel Mursito, bersama penguasa milter lain seperti Slamet Riyadi, Gatot Subroto dan Achmadi (entah apa pangkat militernya dulu), mengizinkan dicetaknya uang lokal yang hanya berlaku di daerah Karesidenan Surakarta.

Uang ini berlaku effektif sebagai alat tukar di Karesidenan Surakarta, yakni Kota Solo, Klaten, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo dan Boyolali. Sayangnya Heintchedoocth dan Ni Ngoro gagal mendapat dokumen uang kota Solo itu. Keturunan Soemowinoto tidak memiliki arsip bukti-bukti Uang Negara Darurat itu. Maklum, dicetaknya hanya memakai kertas payung. “Wa, sudah dimakan rayap…,” tukas Sundari Soemowinoto, salah seorang anak dari 16 anak Soemowinoto dari satu orang isteri (cek cek cek. Kalau zaman sekarang punya anak 5 saja sudah jadi bahan gunjingan).

Nah tokoh yang mencetak uang itu adalah Soemowinoto ini, waktu itu pangkat militernya Letnan II. Lokasi percetakannya di Gading (sekarang milik Soto Gading). Rumah Soemowinoto di sebelah kantor kelurahan Kampung Baru ini, sedangkan Letkol Mursito rumahnya di sebagian dari rumah Dadapmantep, orang paling kaya di bagian selatan Kampung Baru. Kedua tokoh Kota Solo ini tidak terabadikan dalam penamaan wilayah, dikalahkan penamaan nama burung, nama bunga atau nama gombal lainnya.

Di jalan Ronggowarsito Kampung Baru, sayangnya jalannya tidak lurus, memotong serong rumah-rumah, sehingga bangunan rumah di jalan ini tidak simetris. Jalan tengah kota itu tampak gersang, tak ada sebuah pohon pun yang tertanam. Ada sebagian pinggir jalan yang masih berupa rumah reot, sehingga tidak enak dipandang.

Di gang-gang sempit, ternyata tengah kota ini menyimpan rumah-rumah kumuh padat penduduk. Bangunan reyot, gang sempit, got mampet, WC bau, air sumur buthek, ramainya tangis anak-anak dan pertengkaran warga gara-gara sesendok nasi, mewarnai kehidupan warga yang papa. Mulut Heintchedoocth yang membingkai otaknya dengan kemiskinan di Indonesia, kadang menyesalkan tidak adanya upaya perbaikan.

Heintchedoocth dan Ni Ngoro maklum jika dulu kampung ini bernama Lojiwurung, yakni rumah-rumah gedong yang batal didirikan karena selalu banjir. Di tengah gang-gang sempit ini, tanahnya memang rendah, lebih rendah dari kali kecil penampung air buangan. Jangan heran jika hujan, daerah ini selalu banjir. “Itulah banjir peninggalan zaman kuno yang hingga kini masih abadi di Kampung Baru,” ejek Heintchedoocth.

Sewaktu melihat Kantor Balaikota Solo yang pernah disebut sebagai kantor Gubernuran, Heintchedoocth bertanya, mengapa disebut Gubernuran? Tentu tidak mengherankan. Tahun 1928, penguasa Belanda diangkat menjadi Gubernur, sehingga Balaikota pernah disebut Gubernuran. Rumah dinasnya, kini menjadi bank BNI 46, lokasinya tepat di depan Balaikota. Opa Heintchedoocth punya catatan tentang nama-nama Gubernur yang pernah berkuasa di Solo.

Pada class II di Solo, rumah dinas Pak Gubernur dibakar sampai hancur. Sedangkan bekas gedung kantor gubernuran, dibangun lagi tahun 1952 dan kini menjadi Gedung Balaikota Surakarta. Balaikota Solo dibangun dengan arsiteknya Bung Karno. Karpet merahnya juga habis dibakar massa PDIP pada saat Bu Mega kalah lawan Gus Dur pada sidang MPR tahun 1999, padahal karpet itu disumbang langsung oleh Bung Karno.

Balaikota menempati lahan sangat luas, mungkin sekitar 3 ha. Tahun 1960-1983, bagian belakang gedung ini masih berupa pepohonan yang angker. Penduduk di belakang tembok Balaikota sering kesurupan diganggu makhluk halus balaikota. Banyak orang yang sakit mendadak dan sakitnya aneh.

Tahun 1982 bagian belakang balaikota dibangun gedung-gedung perkantoran baru. Makhluk halusnya marah besar. Tembok pembatas yang dipakai sandaran tanah galian, ambruk. Tiga orang anak tewas. Gedung ini masih angker, di mana sampai tahun 1999 sebagiannya habis dimakan si jago merah. Tentang hal hantu-hantu balaikota, Heintchedoocth menanggapinya hanya tersenyum. Dia bilang, hantunya kini berambut hitam, suka mencuri uang lewat korupsi, katanya berseloroh. Gedung Balaikota diperbaiki lagi pada 2002.

Dua jalan yang membelah Kelurahan Kampung Baru adalah jalan Sugiopranoto dan jalan Ronggowarsito. Di jalan Sugiopranoto, dulu bernama jalan Asrama, sebab ada asrama serdadu Belanda, yang akhirnya menjadi asrama para pendeta, bruder, pastur dan suster dari gereja Katholik Purbayan. Di sini juga ada Yayasan Marsudirini yang mempunyai ribuan murid dari TK hingga SLTA.

Tepat di belakang Balaikota, berdiri Asmil Denpal Solo yakni Asrama Militer Detasemen Peralatan. Dulu DPLAD singkatan dari Dinas Peralatan Lalu-lintas Angkatan Darat. Selain itu ada juga polisinya tentara, yakni Polisi Militer. Di sebelah utara ada kantor PLN Solo. Satu lagi, penjara Kota Solo juga berada di Kampung Baru. Lahannya sangat luas, dikelilingi tembok tinggi, itupun masih dipagari kawat berduri. Karena namanya penjara, kedua sejoli ini malas mencari data adanya penjara di tengah Kota Solo.

Di bagian selatan Kampung Baru dibatasi Sungai Pepe. Di sepanjang sungai dari Kreteg Arifin sampai Pring Gading sekitar sekilo, daerah ini dulu adalah rumah dan halaman milik satu orang, yakni juragan benang lawe Ki dan Nyai Dadapmantep. Daerah ini namanya Kebalen.

Asal usul Kebalen sebagai kemudahan pengucapan ngGebalen. Nama ngGebalen sudah ada pada zaman Jepang masuk Solo tahun 1942. Sebelumnya orang menyebut “Wingking nDalem Kusumayudan” (belakang rumah Kusumayuda). Maklum, wilayah ini masuk daerah kekuasaan Keraton Kasunanan, dimana Putera PB X, Kanjeng Pangeran Kusumayuda bermukim disini. Lahan itu kini menjadi Hotel Kusuma Sahid. Tak heran sekitar Kebalen dulu bernama Wingking Kusumayudan.

Di zaman awal abad 20, Dadapmantep merupakan orang Solo paling kaya. Ia mendapat monopoli perdagangan benang lawe sebagai bahan utama pembuatan mori untuk kain batik. Anak cucunya banyak. Biasanya menjadi juragan batik. Meski kaya, makamnya di Kragilan Bonoloyo, tidak terawat, bahkan jarang dikunjungi anak cucunya. Selain itu, tak ada tanda-tanda namanya diabadikan sebagai nama dukuh, nama wilayah, nama gang atau nama kenangan lainnya.

Selama perjalanan mengelilingi Kampung Baru, Ni Ngoro dan Heintchedoocth tidak menjumpai sebuah situs yang bisa menceritakan sisi geografis, sosiologis atau semacam sejarah yang bisa disebut sebagai awal pembentukan nama Kampung Baru. “Ini nama abu-abu. Sebaiknya nama Kelurahan ini Krapyak atau Lojiwurung saja,” ujar Heintchedoocth penuh semangat. Loji adalah rumah gedung, wurung sama dengan urung atau batal. Tepat sekali jika nama Kampung Baru dikembalikan ke nama asalnya.

“Tetapi nama Krapyak lebih tepat,” ujar Ni Ngoro. Krapyak menggambarkan kandang-kandang binatang hutan liar hasil buruan para Pangeran, bahkan pernah diadu dengan manusia. “Nama Krapyak lahir seiring dengan lahirnya keraton di desa Solo ini,” tambah Ni Ngoro. Heintchedoocth menanggapi dengan berpantun:

Sudahlah Ni
Kita hanya sejoli liar
Tak punya nama, tak punya kuasa
Kita berjalan, mencari dan bertanya
Untuk siapa keringat ini mengalir?
Jangan lagi bersilat lidah
Lebih baik bergulat di mesin tulis
Jadi biarkanlah, walau mungkin,
Seribu tahun lagi
Keringat kita… baru terbaca