Rabu, 29 April 2009

Sobo Turut Lurung di Solo
Sebuah perjalanan menyusuri kampung-kampung di Solo
JOWO LONDO DI GANG TUA (3)

Dasar meneer Londo punya langkah panjang dan cepat, kaki Ni Ngoro kesandung kerikil ketika mau mengimbangi kecepatan langkah Heintche. Ia tidak terjatuh, namun telapaknya miring hingga betisnya menapak tanah. Sakitnya luar biasa, seperti ada tulang yang terkilir. Saat itu Ni Ngoro dan partner ‘sobo turut lurung’-nya yang asal Belanda Rudd Rden Heintchedoocth, baru turun dari sampan di sungai Bengawan Solo Bandar Beton Gadingan Kampung Sewu. Mereka baru saja bersampan bolak-balik menyeberangi sungai Bengawan Solo.

Meski terpincang-pincang kesakitan, sebegitunya ia menolak dituntun Heintche. Maklum Ni Ngoro kasihan pada Sinyo yang juga tergelincir di pinggir Bengawan di daerah Jurug beberapa jam lalu. Celana jeansnnya robek, kaosnya kotor, lengannya berdarah. Penduduk kampung memberi obat merah, Heintche sudah merasa tidak sakit lagi. Kini ganti Ni Ngoro terkilir, namun ia tak ingin bermanja-manja pada bule bau keju itu.

“Menit ke depan pasti sembuh sendiri. Aku hanya minta kamu jangan jalan cepet-cepet. Langkahmu terlalu lebar bagiku.” Hentche tertawa. “Kamu memang wanita bandel tiada duanya. Ok. Sekarang bisa lanjut jalan? Jy ziek, Ni?” Ni Ngoro melangkah, terpincang memang. Namun ia berusaha tidak meringis. Inilah pribadi yang akan ditunjukkan kepada sinyo yang bangsanya pernah menjajah Indonesia hingga 3 abad. Tidaklah bagus jika rakyat Indonesia masih cengeng di hadapan meneer penjajah. Londo itu tersenyum dan mengikuti langkah Ni Ngoro yang terpincang. Ia mau menuntun, tetapi Ni Ngoro mengibaskan tangan meneer itu.

“Baiknya kita duduk di bawah pohon, lalu meronce cacatan kita. Bukankah disini wilayah Bandar Beton? Ini pelabuhan sungai milik kerajaan Kartasura, tempat dimana Kyai Solo berkuasa!” kata Heintchedoocth. “Kyai Solo menjabat kepala pelabuhan, juga lurah desa. Hingga kini, siapa nama sebenarnya Kyai Solo, tidak diketahui, begitu kan Ni?”

“Kata Solo memang berasal dari permudahan kata bau soroh. Bau soroh jabatan kepala pelabuhan (tetapi apakah dia pula yang menjabat lurah desa Sala-nya). Biasanya orang Madura, Sumatra dan China sulit menyebut Bau Soroh. Lidah mereka menyuarakan Solo,” ujar Ni Ngoro meringis akibat masih sakit di betis kakinya.

“Kampung ini bernama Kampung Sewu. Pak tua di pinggir tanggul tadi bilang, kata Sewu diambil dari nama abdidalem Nayaka Sewu yang tinggal di kampung ini.” Tetapi tadi si juru sampan bilang bahwa asal kata Sewu katanya dulu ada seorang Kyai bernama Sewu bertapa di bawah pohon dekat kantor kalurahan. Ada lagi yang bilang, untuk keselamatan pelayaran di sungai Bengawanm Solo, perlu upacara dengan menggunakan lilin yang buaanyak sampai seperti ada seribu lilin. Padahal ada upacara tabur apel sewu. Yang bener yang mana, ya Ni?”

“Kalau mau cari yang bener, mari ke Pak Lurah!” Serta merta Heintche menolak. “Oh nee, nee, nee. Tidak! Aku ingin data dari rakyat. Aku mau tahu seberapa pintar dan pedulinya rakyat pada lingkungan hidup mereka!” gertak Sinyo itu. Ni Ngoro tertawa. “

Seorang nenek penjual jagung rebus ikut duduk di bawah pohon. Betapa senang Ni Ngoro dan Heintche bisa jajan jagung rebus. Nenek jagung itupun bercerita tentang Kampung Sewu. Katanya dulu bandar Benton ini besar. Ni Ngoro melihat bekas-bekas bandar yang masih tersisa. Banyak pabrik di desa paling ujung timur kota Solo ini. Dulunya banyak saudagar batik di Beton. Kandi, penduduk di Beton, nenek moyangnya adalah juragan batik. Selain membuat batik, depan rumahnya juga dibuka toko. Banyak pabrik batik Laweyan yang menitipkan batik di kiosnya untuk dijual pada para pelayar sungai Bengawan. Dari kios-kios itulah, kain batik diperdagangkan para pelayar di wilayah Jawa Timur dan ke seluruh dunia.

Ulet dan pintarnya penduduk Beton dipamerkan oleh Kandi dengan menyebut tokoh dunia yang berasal dari Kampung Sewu. Soebroto, matan Menteri jaman Suharto adalah ketua OPEC. Ada juga mantan ketua MPR RI, May Jen Daryatmo yang juga asli Kampung Sewu. Sedang etos kerja tinggi diperlihatkan oleh Bah Inco, pendiri Konimex di awalnya yang dibesakan di Kampung Sewu. Konimex menjadi multiusaha setelah managemen dipegang anaknya, Joenaedi Joesoef. Yang paling hebat adalah tokoh yang lepas dari penyembelihan PKI tahun 66. Saat menulis ini, catatannya luntur oleh air keringat. Maklum catatan itu dijepit di celana dan perut. Nama tokoh itu luntur. Padahal nama itu tokoh yang pura-pura sudah mati waktu penyembelihan oleh PKI, biar tidak disembelih lagi. Setelah para jagal pergi, iapun lari dan hidup hingga tahun 2000-an. Ni Ngoro merasa cukup bertualang ahri itu. Kakinya sakit. Ia ingin pijat di betisnya yang terkilir. Kebetulan ada taksi kosong yang lewat.

----0000----

Pagi-pagi yang cerah, Ni Ngoro bersama Heintchedoocth ‘sobo turut lurung’ di Kalurahan Kedunglumbu Solo. Mereka memulai di tengah keramaian mall Beteng Plasa. Letaknya hanya 1000 meter dari utara Balaikota Solo, 1000 meter pula dari selatan keraton dan 1000 meter pula dari Pasar Klewer Solo. Di tengah mall besar yang seramai Beteng Plasa, ada makam yang dikeramatkan kalangan tertentu. Inilah makam Pangeran Pabelan.

Inilah makam Pangeran Pabelan yang diragukan oleh Heintchedoocth? Ceritanya Pangeran Pabelan itulah don yuan yang diperdebatkan Ni Ngoro dan Heintchedoocth. Benar atau tidaknya beliau adalah Pangeran Pabelan, generasi sekarang tahunya hanya menurut pada Babad Tanah Jawa yang diuraikan oleh Kyai Solo III kepada pada utusan raja seperti Yosodipura dan Honggowongso. Jika benar dia adalah Pangeran Pabelan putera Tumenggung Mayang, maka beliau hidup pada tahun 1570-an, semasa Djaka Tingkir atau Hadiwijaya berkuasa menggantikan raja-raja Demak. Pangeran Pabelan memacari Puteri Hemas, puteri raja Hadiwijaya.

Bathang mayat Pangeran Pabelan ditemukan seorang Kyai yang menurut Kyai Solo III ditemukan oleh kakeknya, Kyai Solo I. Ceritanya, sang Kyai menemukan mayat tersangkut di sebuah dahan bambu di sungai di Sangkrah. Mayat itu lalu diseret ke tengah air yang mengalir agar terbawa arus dan hilang dari pandangan mata. Namun esok harinya, mayat itu kembali ke tempat semula. Sang Kyai kembali menghanyutkannya ke tengah derasnya air sehingga terbawa arus lagi. Anehnya, esok harinya si mayat kembali di tempat semula.

Heran atas peristiwa itu, Kyai tadi langsung bertapa untuk mengetahui siapa gerangan si mayat. Dalam tapanya, Kyai hanya mampu menerima pesan bawa mayat ini minta dimakamkan secara wajar. Maka iapun akhirnya diambil dan dimakamkan di sebuah tanah, hingga tanah di daerah itu diberi nama Bathangan. Bathangan berasal dari bahasa Jawa bathang (mayat). Tak heran mayat itu pertamanya disebut Kyai Bathang.

Adapun tempat dimana ditemukan mayat yang menyangkut di sungai diberi nama Sangkrah. Sangkrah berasal dari bahasa Jawa nyangkrah atau bahasa Indonesia ‘menyangkut’. Nama Sangkrah selain nama sebuah dukuh, juga menjadi nama Kalurahan di Kecamatan Pasar Kliwon sekarang.

Hingga sampai di sini, Heintchedoocth masih percaya pada cerita itu. Tetapi pada tahun 1742. Namun selisih waktu antara 1570 dengan 1740 berkisar 170 tahun inilah yang membuat Heintchedoocth heran, bagaimana Kyai Solo bisa menyatakan bahwa Raden Bathang ini adalah Raden Pabelan. Makam di mall ini nyaris tidak diketahui pengunjung mall, karena ditempatkan tersendiri.

Daerah Bathangan terletak di Kalurahan Kedunglumbu. Nama ini juga disangkut pautkan dengan Pangeran Pabélan ini. Adalah Kyai Solo III, tetua desa Sala. Tahun 1742, utusan raja Pajang PB II diantaranya Yosodipura dan Honggowongso, mereka meminta secara resmi bahwa tanah kekuasaan Kyai Solo akan dipakai sebagai istana raja Pajang yang ingin pindah ke desa Sala. Rakyat desa Solo harus bedol desa. Namun raja PB II hanya memberi ganti rugi berupa kayu gelondongan. Jadi dari mana uang untuk membeli tanah, paku, pasir, semen dsb?

Menurut Babad Tanah Jawa, tanah desa Sala berupa rawa-rawa. Benarkah? Andai benar, bagaimana rakyat desa Sala bisa hidup di rawa-rawa? Bagi Heintchedoocth, rakyat desa Sala memang pergi, namun mereka bergerilya membuka sumber-sumber air di tanah dimana istana akan didirikan. Air terus mengalir, menggenangi tanah dan mengubahnya menjadi rawa-rawa. Rakyat juga menaburkan segala macam ikan termasuk ikan air laut.

Tiap kali rawa-rawa disumbat dengan kayu-kayu, batu atau benda keras lain, air tetap tak berhenti mengalir. Ini tidak mengerankan, karena setiap habis disumbat, malamnya, rakyat gerilya lagi membuka sumber air. Apa artinya? Artinya, itulah bentuk demo rakyat desa Sala di tahun 1742-1744. Penggeraknya, siapa lagi kalau bukan Kyai Gede Solo III?

Toh pada akhirnya, karena keraton harus cepat dibangun, raja mengabulkan permintaan rakyat dan membayar ganti rugi sebanyak 10 ribu gulden (entah uang segitu dulu sebanyak apa). Setelah diberi ganti rugi, Kyai Sala pura-pura bertapa di makam Kyai Bathang. Nah dalam tapanya ini, beliau mengarang cerita bahwa makam itu adalah Raden Pabelan. Dalam tapanya, beliau diberi Raden Pabelan sebuah bunga delima dan daun lumbu untuk menutup sumber air Tirta Amarta Kamandanu.

Keringlah rawa-rawanya. “Hebat! Sumber air rawa hanya ditutup pakai daun lumbu. Padahal dibendung pakai kayu jati gelondongan tidak bisa,” seru Sinyo Londo tertawa terbahak. Ni Ngoro ikut tersenyum kecut. “Dalam bahasa spiritual, daun lumbu itu bisa menutup sumber air ‘tirta amarta kamandanu’. Ingat, kamu punya darah Jawa, kamu harus belajar kejawen,” bela Ni Ngoro. “Ya udah. Tetapi boleh aku bilang begini…setelah rakyat terima uang ganti rugi bagian dari 10 ribu golden itu, mereka tak lagi membuka sumber-sumber air. Udah Ni, nggak usah berdebat lagi!”

Adapun asal nama Kedunglumbu bermakna politis. Kedhung berarti sumber air. Di kedhung itu tumbuhlah jutaan tanaman lumbu. Daerah ini lalu dinamakan Kedunglumbu. Ni Ngoro mencatat penemuan tentang makna Kedhung Lumbu yang lain.
(bersambung)
Solo, Rawa-rawa Ajang Demo Rakyat

Di subuh buta, kapal-kapal pelabuhan Beton Kampung Sewu telah menumpahkan barang-barang kebutuhan paduka Sinuwun Paku Buwana dari kerajaan Kartasura. Ki Bau Soroh, abdi dalem keraton yang ditugaskan khusus untuk mengurusinya, membawanya ke istana tanpa kekurangan apapun. Betapa senang Paduka raja oleh pengabdian Bau Soroh, hingga akhirnya jabatannya dinaikkan sebagai kepala pelabuhan sekaligus lurah desa. Wilayah desanya meliputi pinggir sungai Bengawan Solo. Saat itu daerahnya masih berupa rawa-rawa.

Namun Ki Soroh tak putus asa. Rakyatnya digerakkan untuk membangun desa dengan pelabuhan Beton di pinggir sungai Bengawan Solo sebagai titik pusat pasar transit berbagai barang. Maka kapal-kapal dari Jawa Timur, Madura, Kalimantan, China, Belanda dsb, selalu hilir mudik di pelabuhan Beton. Tidaklah heran jika dengan cepat desa rawa-rawa ini dipenuhi membaurnya beberapa ras manusia yang ber­beda. Logat bicaranya juga beraneka. Banyak juga pendatang yang sulit mengucap huruf R.

Padahal mereka sering berhubungan dengan Ki Bau Soroh. Namun lidah mereka aelalu kelu untuk bicara huruf R dan akhiran H, maka nama Ki Soroh hanya bisa diucapkan dengan nama Ki Sala (diucapkan Saulau, a nya seperti ucapan au dalam kata beliau). Akibat Bahasa Melayu tak kenal huruf au, maka agar tidak salah ucap menjadi Sala (huruf a seperti kala), maka huruf a diganti huruf o menjadi Solo.

Nama Ki Soroh pun akhirnya berganti dengan sendirinya menjadi Ki Solo. Pak Lurah Solo ini adalah pribadi yang sangat sakti mandraguna, maka namanya menjadi Kyai Gede Solo. Desanya juga dinamai desa Solo. Kian ramainya pelabuhan Beton membuat desa Solo kian makmur.

Sampai suatu saat, Ki Solo menerima tamu penting utusan Paduka Sinuwun dari kerajaan Kartasura. Para utusan itu adalah Panembahan Wijil, Suranata, Khalifah Buyut, Pangulu Fakih Ibrahim dan Pujangga RT. Tirtawiguna. Mereka mengemukakan bahwa atas dasar wisik ketika bertapa, desa Solo ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kota pusat kerajaan.

Memang ketika itu Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) telah kembali dari pelarian di Ponorogo (1742). Ia sangat sedih melihat kehancuran bangunan istananya di Kartasura. Istana ditinggal dan Sinuhun mengungsi karena adanya pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) yang dibantu RM Said atau Pangeran Sambernyawa. Mas Garendi dapat menguasai Keraton Kartosura pada 30 Juni 1742. Alasan penguasaan adalah karena Sinuhun bersedia bekerjasama dengan Belanda. Di saat yang sama, pemberontakan China di Batavia melawan kompeni Belanda meluas hingga ke keraton Kartasura.

Hancurlah bangunan istana Kartasura dan tidak layak lagi sebagai istana pusat kerajaan. Pada akhirnya Sinuwun dapat kembali ke Istana setelah para pemberontak ditaklukkan kompeni Belanda. Melihat istananya rusak, Sinuwun bermaksud memindahkan bangunan istananya ke desa Solo.

Mendengar perintah raja bahwa wilayahnya akan dibangun istana, Kyai Gede Solo tentu tidak keberatan. Namun beliau mengingatkan bahwa di desa Solo terdapat sebuah makam bernama Kyai Bathang. Nama Kyai Bathang yang sebenarnya adalah Pangeran Pabelan, putera Tumenggung Mayang. Ia dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton di jaman Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, raja Pajang. Setelah dibunuh, mayat Raden Pabelan dihanyutkan di sungai Lawiyan (sungai Braja), lalu terdampar dan nyangkrah atau menyangkut di pinggir kali Pepe dalam wilayah desa Sala.

Cerita itu tidak menghalangi Sinuwun untuk memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Berita di tentang adanys dua makam ayah dan kakek Kyai Solo, tak digubris. Apalagi 3 orang utusan raja yakni Kyai Tohjaya, Kyai Yasadipura I dan RT Padmagara, menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air) di desa ini. Sinuwun kian bersemangat sehingga memerintahkan pembangunan istana dimulai.

Maka para abdi dalem mulai menimbuni daerah rawa-rawa ini dengan balok-balok kayu. Herannya, sekian ribu m3 balok kayu ditimbun, itupun tidak bisa menyumbat mata air rawa tadi, bahkan airnya semakin deras menyerupai Grojogan Sewu. Ajaibnya, berbagai jenis ikan laut seperti teri pethek dll, bermunculan dari sumber air rawa. Selain itu tumbuhan lumbu dengan cepat tumbuh menghutan di desa Solo. Para punggawa keraton panik tak alang kepalang. Saat itu masuk pada tahun 1743.

Para pujangga akhirnya bertapa 7 hari tanpa makan, minum dan tidur. Di malam Anggara Kasih Selasa Kliwon, Pujangga Kyai Yasadipura mendengar wisik yang berbunyi: kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase.

Terjemahan bebasnya: Wahai pertapa, rawa ini tembusan dari Laut Selatan, tak dapat ditutup kecuali dengan syarat; gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala tledhek ronggeng cendol mata orang).

Sinuwun mengartikan wisik itu bahwa beliau harus membayar ganti rugi kepada Kyai Gede Solo sebesar sepuluh ribu ringgit dan uang itu akhirnya dibayarkan. Selanjutnya Kyai Gede Solo berbesar hati untuk menerima ganti rugi dan langsung membaginya kepada rakyat desa Solo.

Para punggawa seolah melihat bahwa Kyai Gede Solo bertapa di makam Kyai Bathang. Keluar dari bertapa, Kyai Gede Solo membawa “Sekar Delima Seta” dan daun lumbu (sejenis talas). Dengan sedikit upacara ritual, kedua barang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu. Herannya, sumber airpun bisa disumbat dan berhenti mengalir. Tentu bisa dimaklumi karena Kyai Gede Solo adalah orang yang mempunyai ilmu bathin yang tinggi.

Padahal pada kenyataannya, kesulitan menutup rawa-rawa itu sebenarnya adalah akibat semacam sabotase rakyat desa Solo, rakyatnya Pak Kyai. Mereka merasa terusir, namun Sinuwun hanya memberi ganti rugi berupa gelondongan kayu untuk membangun rumah di lahan pengganti. Lalu dari mana mendapat uang untuk membeli paku, pasir dan genting?

Maka ramai-ramai rakyat desa Solo berdemo. Demo pada tahun 1743 itu mungkin demo pertama di tanah Jawa. Cara demonya dilampiaskan dengan membuka sumber-sumber air dan melemparkan ikan laut yang masih hidup di rawa itu. Adapun makam Pangeran Pabelan dan ayahanda Kyai Solo jangan diusik, tetapi harus dirawat dan dilestarikan. Kyai Gede Solo akhirnya menang dalam pertikaian melawan Sinuwun. Namun meski kalah, Sinuwun bisa membangun keratonnya di desa Solo.

Rakyat kerajaan dikerahkan membangun istana. Permulaan pembangunan ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana “ tahun 1744. Rawanya diurug balok kayu dan tanahnya yang wangi diambil dari daerah Talangwangi, Kadipala dan Sanasewu. Bagaimana kelanjutannya? Tunggu di terbitan mendatang. (noni/bersambung)



Sejarah kota Solo (2)
Sinuwun Meresmikan Kerajaan Surakarta

Gelapnya malam di istana Kartasura kian membuat hati Sinuwun Paku Buwana II sangat gundah. Perselisihan dengan para kerabat tak pernah berhenti, harta benda terus berkurang, keratonnya pun rusak parah dihancurkan musuh. Dalam keheningan, Sinuwun berharap Tuhan segera memberikan karunia agar keraton baru yang sedang dibangun di desa Solo segera rampung.
Doa Sinuhun dikabulkan. Dengan tergopoh-gopoh, abdi dalem RT Tirtawiguna telah mendapatkan berbagai persyaratan untuk perpindahan istana baru, istilahnya slup-slupan. Perintah mengadakan upacara secara besar-besaran dikelola dengan teliti.
Para pendeta dan ustad-ustad mengadakan sesajian dan pengajian selama beberapa malam sebelum hari H. Bunga-bunga harum dipetik dari pelosok wilayah. Juru masak membuat sesaji dan seribu tumpeng lengkap dengan daging hewan berkaki empat. Ikan air tawar, ikan laut dan berbagai jenis unggas tak ketinggalan, termasuk palawija, buah-buahan dan jajanan pasar.
Setelah semua persiapan dilengkapi, Sinuhun dengan segala harta benda dan para abdi dalemnya, pindah dari Kartasura ke desa Sala. Para tamu berdatangan menyambut perpindahan itu, termasuk tuan Belanda penguasa tanah Jawa, Mayor Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. beserta 5 kompi pasukannya. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Februari 1745.
Iring-iringan barisan kerajaan yang berangkat dari Alun-alun Kartasura, disambut rakyat di sepnajang jalan yang dilalui. Kereta kencana Sinuhun digerakkan 8 ekor kuda, diiringi permaisuri dan garwa padmi, lalu putera mahkota, patih dan para punggawa lainnya sebanyak 50 ribu orang. Barisan berjalan sangat lambat karena harus memutar melewati Alun-alun kerajaan Pajang di kota Gede. Barang-barang yang dibawa juga sangat banyak, sedangkan para serdadu harus membuka jalan dengan menebasi hutan dan semak belukar.
Di sore hari ketika mentari sudah berada di ujung barat, iring-iringan barisan Sinuhun baru sampai di desa Solo. Sinuhun disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Di dampar kencana, Sri Sunan Paku Buwana bersabda kepada segenap hadirin: Wahai hambaku, dengarkan sabdaku. Sejak hari ini, desa Solo aku ambil namanya, aku tetapkan menjadi negaraku, aku namai negara Surakarta Hadiningrat. Siarkanlah ke seluruh rakyatku di Tanah Jawa.
Kepindahan ini diikuti kerabat dan pembesar negara yang segera membangun kediaman yang baru. Di luar tembok istana seperti di Hadiwijayan dan Suryaha­mi­jayan dibangun untuk kerabat raja. Begitupun para prajurit diberi lahan-lahan dan dibangunkan sesuai dengan jabatan mereka. Nama daerahnya juga dinamai sesuai dengan pangkatnya seperti di Saragenen, Mertalulutan, Jayantakan dan Miji Pinilihan. Penempatan per golongan mencip­takan nama-na­ma kampung seperti Kampung Kalangan, Jagalan, Gandekan dsb.
Syahdan, para pembesar Belanda pun ikut gusar jika tidak mengawasi kerajaan. Maka dengan serta merta penguasa Belanda mencari tanah yang dekat dengan bangunan keraton Surakarta. Tanah di Kedunglumbu dipilih para pejabat Pemerintah Hindia Belanda.Orang-orang asing dan para Misionaris, ramai-ramai membangun rumah kediaman di seputar Gladag.
Sayangnya desa Sala saat itu sering banjir. Penduduknya belum banyak, su­a­sananya sepi, jika malam se­nyap ka­rena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi se­habis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlan­tai tanah dan beratap ilalng. Rumah priyagung dan ju­ragan batik sudah berbalok kayu atau tembok tinggi tanpa lepo. Atapnya genting, alasnya mester. Pagar rumah penduduk juga hanya dari bambu.

Kondisi yang sepi di pusat kerajaan ini berarti menyuburkan aroma perang. Memang, meski sudah pindah keraton, Sinuhun Paku Buwana tidak pernah bisa tidur pulas. Geger Pacinan masih berbuntut. Banyak sekali para Pangeran yang merasa kuat dan sangat anti Kompeni Belanda. Mereka dengan bebas telah meninggalkan keraton untuk membuat benteng pertahanan sendiri.

Pangeran Puger membangun pertahanan di daerah Sukowati, Sragen. RM Said membangun pertahanan di Randulawang dan Wonogiri, sedangkan Pangeran Mangkubumi lari ke Semarang menuntut penguasa Belanda agar diangkat sebagai raja.

Sinuhun merasa sangat terpukul. Sikapnya meminta bantuan Belanda harus dibayar mahal. Selain dijauhi para Pangeran, Sinuhun juga harus membayar wilayah pantai utara mulai dari Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura untuk dikuasai Belanda. Pengangkatan pejabat tinggi Keraton pun harus seizin Belanda. Benarlah apa yang dikatakan para Pangeran bahwa posisi raja tak lebih dari boneka yang meminjam kekuasaan Belanda.

Dalam heningnya malam, Sinuhun Paku Buwana II menyadari kesalahan. Raja tak ingin apabila kerabatnya saling berselisih karena rakyatlah yang akan menjadi korban. Perselisihan antar kerabat kerajaan berarti keuntungan untuk kompeni Belanda. Maka Sinuhun bertekad untuk memberikan kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi. Serta merta Sinuhun meminta agar Pangeran meredakan pemberontakan dengan janji akan diberi kekuasaan. Namun sang Pangeran sama sekali tidak percaya. Bukankah ia telah pernah dikhianati saat tanah lungguhnya dikurangi?

Sinuhun kian sedih. Sudah 4 tahun singgasana kerajaan Surakarta diduduki. Namun rasa bahagia tak pernah menyambangi. Hatinya tak mampu berbohong. Di keremangan malam, wajahnya berlinang air mata, badannya dingin, tubuhnya bergetar. Semangat tandingnya saat berambisi ingin terus berkuasa, telah surut diterjang rasa kecewa yang mendalam.

Alam bawah sadarnya terluka parah. Sinuhun tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai, peluhnya mengalir deras. Malaikat seakan sudah menyediakan jalan untuk dilewati. Saat Patih nDalem menghadap, Sinuhun hanya berkedip ketika Patih menghaturkan sembah atas hadirnya Gubernur Belanda di pembaringan.

Eyang Londo membezok Paduka Raja. Dalam keadaan alam bawah sadar dan tak sadar karena gering, tangan Sinuhun membubuhkan tanda tangan. Adakah Sinuhun mengerti apakah makna kertas bertulis yang disodorkan Tuwan Gubernur?

Siapa yang menulis surat sakti yang berisi Sinuhun Paku Buwana II, oleh perintah Kumpeni yang agung, kerajaan diserahkan kepada Tuwan Gubernur dan penguasa tanah Jawa, Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Tanda tangannya tertanda: Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Pranatagama.…"

Esok harinya langit kota Solo menggelegar. Kilat menyambar, bumi seakan terguncang saat terompet dibunyikan dengan nada demikian mengenaskan. Sang Paduka Raja Paku Buwana II, telah berpulang. Isak tangis pendiri kota Solo terdengar disana sini. Teriakan rakyat terdengar histeris. “Oh Paduka, hanya seumur jagung usimu di Kota Solo. Restuilah agar desa ini menjadi besar…!!!” (noni)