Kamis, 05 Maret 2009

Awas, Tahun 2009 Ada Dua Kali Bulan Sura

Tahun 2009 ada 2 x Bulan Sura

Jagad dan alam semesta ini ada, sudah berapa tahun usianya, yo embuh. Milyaran atau tak terbatas. Yang kita ngerti, ada banyak planet. Setiap planet muter-muter, muterin planet lainnya. Misalnya Planet Bulan muterin Bumi dan Matahari. Juga berbagai planet lain saling mutar memutari.

Apakah saling putar antar planet itu juga saling berpengaruh or mempengaruhi? Itu tentu gitulah. Kayak kita orang, tiap orang saling berhubungan, saling pengaruh mempengaruhi. Kagak ada orang yang bisa hidup sendiri. Jadi logikanya, tiap planet ini juga saling mempengaruhi.

Jadi bumi dan alam semesta ini selalu muter. Satu rotasi putaran bumi berdasarkan putaran matahari dan bulan itu butuh waktu sekitar 24 jam atau 1440 menit atau 86400 detik.

Karena bumi tidak pernah berhenti muter, maka tiap detik posisinya pasti berubah. Karena gerak planet berputar pada kisaran yang sama, maka pada waktu tertentu, planet itu akan berada pada satu putaran yang sama. Maka berdasarkan ‘ilmu titen’, terhitunglah bumi bisa mengitari matahari dan kembali pada posisi yang sama dalam waktu tahun atau 365 hari.

Jadi secara umum, ilmu titen menjadi satu wadah yang bernama siklus. Ilmu Titen ini maksudnya ilmu hasil dari mengenali yang terdahulu dan terus berlangsung turun-temurun sejak lahirnya semesta raya ini. Hingga watak alam, watak siklus waktu, bahkan watak seseorang pun secara garis besar dapat dikenali melalui hari keberadaannya.

Siklus waktu yang 365 hari itu lalu dibagi-bagi lagi menjadi 12 bulan (Januari sampai Desember dan 52 minggu. Kalau di Jawa ada siklus pasaran sebanyak 5 hari, Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing.

Sekarang kita mikir. Tiap detik, ada bayi yang lahir. Karena tiap planet dihuni oleh makhluknya, maka tiap makhluk juga dipengaruhi oleh planetnya dan planet lain di semesta raya ini. Artinya, kelahiran manusia di alam semesta ini dengan sendirinya akan menempati salah satu siklus diantara siklus-siklus yang ada.

Misalnya, orang lahir pada hari Sabtu Pahing tanggal 23 Maret 1996, akan dipengaruhi oleh siklus Sabtu Pahing yang telah dihuni oleh banyak orang sebelumnya yang lahir pada hari pasaran yang sama. Artinya tiap orang yang punya hari lahir Sabtu Pahing, mempunyai sikap, pribadi, watak, nasib dan peruntungan yang bisa ditebak berdasarkan ilmu titen tadi.

Sama halnya, tiap siklus ptaran wakt yang sama, bisa pula ditebak berdasarkan ilmu titen.

Nah, kini kita punya kerjaan untuk dipikirkan yakni siklus planet bumi tahun 2009. Ini siklus kalender Jawa yang mengenal windu. Setiap windu ada 8 tahun. Yang dimasalahkan adalah siklus 8 windu atau 64 tahun.


Pada tanggal 29 Desember 2008 sampai 27 Januari 2009 yang lalu, siklus penanggalan Jawa saat itu masuk pada bulan Sura. Tetapi nanti pada Sabtu, 19 Desember 2009 – 17 Januari 2010, bulan itu juga suduh masuk bulan Sura lagi. Jadi ada tanggal 1 – 27 Januari dan 19 – 31 Desember 2009 yang ikut bulan Sura, meski Sura bulan Januari 2009 masuk tahun Jawa 1942 dan Sura bulan Desember 2009 yang masuk tahun Jawa 1943.

Jadi ada 2 kali bulan Sura pada tahun 2009. Kejadian dalam setahun ada dua (2) kali bulan Sura ini hanya berlangsung selama 64 tahun sekali atau 8 windu sekali. Jadi akan ada 2 kali bulan Sura lagi pada tahun 2073 besok (kita sudah mati kali).

Apakah ada pengaruhnya bagi nasib bumi dan manusia Jawa? Mengingat adanya siklus antar planet dan ilmu titen dari embah-embah kita, tahun 2009 ini perlu diingatkan dengan 3 kli kata seru!!! ‘Awas, Suro…Suro…Suro 2009, ada 2 kali.’

Mengapa? Nah inilah yang terlewatkan oleh Nostradamus, Ranggawarsito, Mama Laurent, Ki Joko Bodo, Ki Kusumo atau si Embah tentang kejadian ganjil di tahun yang ada 2 kali bulan Sura-nya. (Mungkin Moyang Sultan Agung sudah mencatat, hanya kadang segelintir aja yang inget).

Sebelum mencari makna 8 windon dengan 2 Suran dalam sata tahun Masehi, mari kita balik ke kalender Jawa dan makna bulan Sura.

Kalender Jawa

Kalender Jawa dibuat oleh Sultan Agung Mataram abad 17 dulu. Kalender ini bisa memadukan budaya Islam, Hindu-Buddha, Jawa dan budaya Barat. (Hebat tho simbah Sultan Agung kita ini).

mBah Sultan Jorgi e Sltan Agung mengubah sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, tahun Saka 1555. Saat itu tepat pada tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H, sedang tahun Masehi-nya adalah 8 Juli 1633 M.

mBah Sultan mengganti membuat kalender ini tidak dimulai dari Hari Kamis tanggal 1 bulan Sura tahun 1. Tetapi meneruskn tanggalan Jawa waktu itu yang bernama tahun Saka. Waktu itu orang Jawa sudah punya kalender berdasarkan putaran matahari
sistem tanggalan ini tanpa mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga sekarang.
Sistem kalender Jawa memakai 2 siklus hari, yakni siklus mingguan seperti Senin Selasa Rabu dsb, dan siklus pekan pancawara 5 hari pasaran seperti Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon.
Kalender Hijriah dan kalender Jawa memakai dasar penampakan bulan, kalender Masehi memakai dasar matahari. Pada kalender Jawa ada system yang tidak dipunyai kalender Hijriah maupun kalender Masehi, yakni :
Siklus Pawukon (berasal dari kata Wuku). Ada 30 Wuku, tiap 1 wuku terdiri 7 hari dimulai hari Minggu hingga Sabtu, sehingga putaran harinya sebanyak 7 x 30 = 210 hari.
Konsep hari pasaran terdiri lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage)
Siklus delapan tahunan yang disebut Windu. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Nama bulan dalam kalender Jawa adalah sbb:
1. Sura (30 hari)
2. Sapar 29 hari (kecuali tahun Dal 30 hari)
3. Mulud (30 hari)
4. Bakdamulud (29 hari)
5. Jumadilawal (30 hari (kecuali tahun Dal 29 hari)
6. Jumadilakir (29 hari)
7. Rejeb (30 hari)
8. Ruwah (29 hari)
9. Pasa (30 hari)
10. Sawal (29 hari
11. Dulkaidah (30 hari)
12. Besar (29 hari) kecuali kabisat 30 hari. Tahun kabisat dalam
perhitungan Jawa adalah tahun Ehe, Je, dan Jimakir.

Penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa punya tradisi Suran yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta dengan seluruh rakyatnya.

Tradisi Suran

Suran berasal dari kata Sura. Sura adalah bulan pertama kalender Jawa. Berbeda dengan 1 Januari yang dirayakan dengan pesta kembang api atau Imlek dengan makan-makan bagi-bagi angpho, menyambut 1 Sura justru jauh dari hingar bingar pesta.

Satu Sura disambut dengan kegiatan adat yang cenderung pada keprihatinan, mawas diri, bertapa, hening, pengendalian diri, instropeksi diri, doa dan penyucian kegiatan yang bersifat sakral.

Acara ini diciptakan oleh Sultan Agung Mataram pada sabdanya untuk:
- menggalang persatuan orang Mataram untuk mengganyang orang asing (Belanda)
- Menetapkan kalender Jawa 1 Sura 1555 Jawa sebagai kalender resmi yng sat itu sama dengan tanggal 8 Juli 1633 M atau 1 Muharam 1043 .
- Membangun sikap SURAN, yakni BERANI melawan penjajah Belanda
- Berani mewujudkan Mataram raya yang bebas dari angkara murka




Adapun acara Suran ini ditetapkan sebagai :
- Awal tahun baru kalender Jawa
- 1 Sura dianggap sebagai tahun keramat karena menjadi tanggal keputusan raja.

Ada apa pada makna 8 Windon?

Apabila dihitung mundur, kejadian 2 kali bulan Sura dalam satu tahun Masehi, pernah terjadi pada tahun-tahun :
- 1945
- 1881
- 1817
- 1753
- 1689
- 1625 tahun ini kalender Jawa belum berlaku.

Tinggal dilihat, apa yang terjadi pada tahan 1945? Saat itu, Indonesi merdeka!! Namun meski merdeka, masih buanyak sekali kesialan yang lain. Misalnya, gerakan politik yang mulai menggeliat menyebabkan negara sulit stabil.

Itu adalah contoh peristiwa. Jika ditarik untuk tahun 2009, mungkin pada pemilu nanti akan ada presiden terpilih, tetapi ia membawa kesialan tertentu. (Moga enggak lah). Dan ditarik bagi diri sendiri, aku barusan dikasih tahu sama Si Embah. Begini ceritnya…

Kata Embah, 8 windon dengan 2 bulan Sura di satu tahun Masehi seperti di tahun 2009 ini, akan membawa dampak positif dan negative. Positivenya, ada cita-cita yang tercapai. Tetapi tahun ini adalah tahun sial. Kesialan berpangkal dari pengaruh alam, siklus pawukon dan pengaruh sabda raja (Sultan Agung Mataram). Juga karena pengaruh orang per orang tentang ketidak-konsentrasian diri dan kurangnya amal ibadah. Maka agar terhindar dari kesialan, bagi orang Jawa, perlu melakukan beberapa upacara; yakni:

Bersujud kepada Allah atas segala karunia Nya.
Memohon ampun atas segala dosa-dosa
Lakukan terus menerus sujud, doa, sembayang, ritual-ritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang sholat jangan sampai bolong. Lakukan Tahajud.
Banyak beramal dan berbuat baik untuk lingkungan sosial
Peliharalah lingkungan hidup termasuk lingkungan alam jangan sampai alam ngamuk membuat bencana seperti gempa, longsor, banjir dsb
Kurangi makan nasi dan daging. Daging dimaksud adalah semua daging yang berasal dari hewan hidup seperti daging sapi, ayam, udang, kakap, sampai kripik laron juga puasa dulu, berturut-turut selama seminggu (dalam tahun ini, syukur-syukur setiap bulan usahakan seminggunya gak makan daging. Jadi vegetarian, sebab daging punya pengaruh buruk bagi kepribadian orang - kalau kebanyakan).
Kalau bisa lakukan ruwatan lengkap
Nanyalah pada orang tua-tua, pasti punya pendapat kayak aku ini.
Semoga tahun ini membawa dampak bagus, bukan kesialan melulu. Makanya, jalankan nasehatku yang 8 tadi. Selamat bervegetarian.

Umuk Solo vs Glembuk Yogya

Warisan Feodal :GLEMBUK JOGYA vs UMUK SOLO

1. Jogya vs Solo
Wong Jogya begitu antusias untuk mbeling, utamanya pada wong Solo, yakni mbading-mbadingkan luwihe, kelebihanya dari kota saingannya, Solo। Apa saja dibikin bahan bandingan। dan tentu Jogya selalu lebih baik, itu katanya wong Yogjo

2. Kesukaan wong Jogjo membandingkan dirinya dengan wong Solo sebenarnya merupakan warisan jaman feodal, maksudnya sejak berdirinya kerajaan Jogya. Jogja minta jatah tahta, Pangeran Mangkubumi terus bikin gara-gara mengacau Negara. Akhirnya PB II memberikan separuh kerajaan kepada pamannya itu di Jogja. Perseteruan dua raja ini menurun pada rakyatnya. Dua kerajaan terus saling bersaing menjadi yang terbaik. Solo dan Jogya saling berbenah diri. Kadang salah satu menang, kadang yang lain kalah. Tetapi sejak kemerdekaan, Jogya menjadi ibukota Propinsi, Solo hanya menjadi bagian Jawa Tengah.

3. Karena menjadi kota propinsi, dananya pasti lebih besar, maka kemajuan Jogja lebih cepat dibandingkan Solo. Dulu sebenarna Universitas GajahMada didirikan di Solo, tetapi bisa direbut Jogya hingga menjadi kota pelajar.

4. Jogya meningkat pesat dalam kesenian kontemporer. WS Rendra itu orang Solo, tetapi sejak pindah ke Yogya mendirikan Bengkel Teater dan ngetop se Indonesia, Jogya kian maju. Para senimannya seperti Emha Ainun Najib atau penulis novel ‘Cintaku di Kamps Biru’ dan cs-nya, adalah salah seorang yang paling getol ‘ngenyek’ wong Solo dan mengunggulkan wong Jogya.

5. Tetapi di bidang politik, Jogya hanya menang di HB IX jadi wakil presiden. Masyarakatnya tetap paling lihai berpolitik. Maka kota Solo disebut barometer politik. Misalnya hilangnya Propinsi Surakarta karena Solo punya rakyat bernama Tan Malaka yang paling getol mengganyang system feodal. Juga banyak tokoh PKI dan umat Islam garis keras. Namun yang paling hebat adalah tokoh Jogya yang tunduk manthuk-manthuk pada wanita Solo. Soeharto yang kelahiran Jogya, besar di Wonogiri, bisa jadi presiden karena pulung ratu sebenarnya berada di tangan isterinya- Ibu Tien yang orang Mangkunegaran. Pak Harto selalu tunduk pada perintah Ibu Tien dalam segala kehidupan, termasuk pemerintahan, pengangkatan menteri hingga pembangunan negara. Setelah Bu Tien meninggal, pak Harto pun dilengserkan rakyat.

6. Pribadi orang Jogya akhirnya suka glembuk. Glembuk itu negosiasi, pendekatan dengan cara bermain manis di lidah, suka memuji-muji di depan, di belakang mengumpat. Pujian ini ditujukan kepada targetman agar mendapat perhatian, agar diberi sesuai dengan kemauan yang ngglembuk.

7. Pribadi orang Solo suka umuk. Umuk itu pamer yang tersembunyi, namun jangan sampai pamernya membuat orang cenderung minta. Umuk hanya sekedar wah saja. Sikap dan bicara orang Solo suka pamer diri sendiri. Yang dipamerkan adalah kekayaan, keberhasilan atau apa saja yang merupakan suatu prestasi. Misalnya, dalam arisan, ibu-ibu bilang, “wah anakku, meski tidak jadi PNS, tetapi kerja di perusahaan asing. Dulu tugas ke China. Yang ngantar-ngantar di Cina pangkatnya Gubernur”. Atau cerita umuk seperti ini: “Ini durian enak, hasil panen sendiri. Masih ada 10 ha yang belum dipanen. Masih belum matang.”

8. Cara memanggil nama orang, wong Jogya menyebut nama Kartini itu Karti, kalau orang Solo manggil Tini. Nama Supartono dipanggil Supar oleh orang Jogya. Orang Solo memanggil Tono.

9. Tentang Umuk Solo. Saya dengar bisik-bisik, Wong Solo itu sombong, angkuh, gengsi tinggi dan tentu saja kayak orang Jawa lainnya, pasti munafik.
- Buat aku, artikan engak negative. Sifat munafik dilakukan sebab ada semboyan ‘ojo dumeh peh’. Artinya kalau bertindak selalu lihat kiri kanan jangan sampe bikin tersinggung tetangga disitu.
- Umuk Solo yang sombong dan angkuh itu hanya gambaran nglampiasi kebahagiaan. Contohe, di arisan tante-tante, mereka saling berlomba nyritain anak-anak mereka yang cakep diburu-buru para kumbang, pinter punya gelar, karirnya maju jadi manajer atau yang ngetop jadi artis, sering keluar negeri, temennya para cukong dan pejabat, mobilnya baru dsb. Nah apa crita begitu salah? Nggak dong, boleh aja, pamer kan gak bayar. Biar yang denger jadi keri dan jijik jengkel… Ada yang bilang umuknya wong Solo itu masalah kejiwaan biar harga dirinya berimbang karena seringnya dilecehin orang Jogya atau orang Surabaya/Jawa Timur.
- Apa pendapat orang Jatim tentang wong Solo? Gini lho…wong Solo, kalau pamit bisa diucapin seribu kali। Dari kursi tamu sudah bilang “pareng…(pamit bs Jw)”, ntar di pintu bilang “pareng” lagi, omong-omong lagi di regol, pamit lagi “pareng”। Sampai di regol omong-omong lagi, masuk becak ngucap “pareng” Sudah naik becak masih omong-omong lagi dengan tuan rumah, becak jalan masih ‘pareng”.

Nah siapa yang mau nambahi glembuk Jogya dan Umuk Solo ini?

Sejarah Unik Pasar - Pasar di Solo

Pasar Kuno di Solo

Dongeng pasar di Solo sangat unik। Keunikan itu kini hanya ditemukan di Pasar Legi Solo। Bakul-bakul atau pedagang mbok-mbok dari desa, membawa dagangannya dari desa ke Pasar Legi dalam sebuah cerita yang menarik. Jika sekarang semuanya diangkut dengan mobil, andong atau motor, dulu sangat unik.

Mbok-embok itu diiringi beberapa lelaki, berjalan beriring-iringan menggendong hasil buminya. Selalu ada iringan yang membawa obor, sebab mereka berangkat dari desa jam 2 malam. Sehingga dari jauh sudah tampak barisan obor yang berjalan sambil ceriwis, apalagi simbok-simbok ikut ke pasar, biasanya mulut mereka tak bisa diam menambah barisan bakul pagi ini.

Mereka berjalan berbaris satu persatu, tidak ada yang berjejer apalagi bergandengan, meski itu antara suami isteri anak dengan anak-anaknya. Mereka pergi ke pasar dengan baju kebaya seadanya dan kain bawah jaritan. Ada yang menggendong dagangannya, ada yang menjijing dengan keranjang tas, ada pula yang disunggi di atas kepala mereka.

Cara berjalannya pun urut aturan, tidak boleh saling mendahului. Jadi seperti barisan semut, beriringan satu persatu. Jika ada si embok yang kebelet pipis, barisan di belakang menunggu hingga si dia selesai pips. Pipisnya pun juga di sembarang tempat. Caranya hanya menarik jaritnya sedikit ke siku kaki lalu ‘thuuuurr’ tanpa jongkok alias kencing berdiri. Rupanya kebiasaan kencing berdiri ini sudah menjadi keahlian tersendiri para bakul, sehingga kain jarik mereka tidak sampai basah. Hingga sekitar tahun 1980-an, bakul-bakul yang menjajakan dagangannya keliling kampung di daerah kota, masih melakukan kebiasaan ‘kencing berdiri di sembarang tempat’. Keunbikan macam itu kini sudah tidak ada lagi. Simbok bakul juga sudah pada malu kencing berdiri. Hihihihi…

1. Pasar Legi

Saat kerajaan Kartasura pindah ke desa Solo, waktu itu belum ada pasar। Sejalan kian ramai desa Solo sebagai ibukota kerajaan, maka pasar-pasar tradisionalpun berdiri। Pasar yang paling mendapat perhatrian adalah Pasar Gede Harjodaksino. Sebenarnya pasar-pasar sebelumnya sudah ada. Bahkan dulu ada pasar Pon, Pasar Wage, Pasar Kliwon, Pasar Pahing dan Pasar Legi. Hingga kini pasar Legi, Pasar Kliwon, Psaar Pon masih ada. Menegnng cerita pasar di kota Solo, mari kita simak pasar-pasar tradisional di Solo.

1 Pasar Legi
Pasar Legi berada di selatan Mangkunegaran, tepatnya di jalan S Parman. Hingga kini pasar Legi masih menjadi pasar grosir paling murah. Arealnyapun terus meluas. Jika pagi, pedaganganya sudah menggelar hasil bumi sejak pukul 02.00 dinihari hingga di emper-emper jalan sekitar pasar. Pasar Legi juga melayani penjualan hingga 24 jam.
Mengapa disebut Pasar Legi? Selain pasar ini pertama kalinya digelar pada pasaran Legi 5 hari sekali, pasar inipun lebih banyak menggelar dagangan yang bersifat legi atau manis. Misalnya gula jawa, jagung manis, gula aren, gula batu, gula aren hingga minuman legen. Pasar Legi menjadi pust grosir dagangan tradisional dan hasil bumi. Hampir semua hasil bumi dari daerah Surakarta dan sekitarnya masuk di Pasar Legi.

1 Pasar Nusukan
Pasar yang cukup besar di Solo yang masih berada di Kecamatan Banjarsari adalah Pasar Nusukan. Pasar ini pernah terbakar di jaman walikota Slamet Suryanto, lalu langsung dibangun tahun 2004. Tempatnya di kampong Nusukan. Disebut Nusukan karena dulunya banyak pedagang sate yang pekerjaannya menusuk-nusukkan daging untuk disate.


2. Pasar Kadipiro
Pasar Kadipiro juga di dekat Pasar Nusukan. Daerahnya dekat dengan perlimaan Joglo, dekat dengan makam Bonoloyo. Pasar ini berada di kampung Kadipiro. Daerah ini dinamakan Kadipiro karena daerahnya kering, banyak alang-alang berduri. Ketika dibasmi, gatal-gatal di tubuh sangat sakit amat sangat, tak terkira-kira, yang dalam bahasa Jawa ‘koyo dipiloro ra piro-piro’, sehingga daerah ini disebut Kadipiro.


3. Pasar Ngemplak
Pasar di Banjarsari ini tepatnya berada di jalan Achmad Yani dan jalan Panjaitan. Lebih tepat lagi berada di pinggir tanggul Kalianyar. Suasana pasar masih sangat tradisonal. Pasar ini disebut Pasar Ngemplak karena di daerah ini sangt kering. Tanaman juga hanya alang-alang dan tanaman kurang berguna lainnya sehingga sangat panas. Apalagi jika musim kemarau, lahan disini pana luar biasa hingga disebut orang jawa ‘panase ngenthak-enthak emplak. Maka daerah ini disebut Ngemplak dan pasarnya disebut Pasar Ngemplak.


Pasar Nggilingan
Pasar ini masih di Kecamatan Banjarsari, teaptnya di jalan Setyabudi dan jalan S Parman. Pasar tradisional ini cukup lengkap. Disebut pasar Gilingan (lebih akrab disebut Pasar ngGilingan) karena berada di kampung Gilingan. Nama kampong Gilingan diambil akrena di daerah itu dulu ada penggilingan beras.


Pasar Widuran
Pasar ini berada di jalan Sutanb Syahrir dan jalan Arifin. Pasar ini hanya berjualan burung dan perlengkapan peliharaan burung. Sejak tahun 1985-an Pasar ini dipindah ke Depok. Pasar burung Widuran pindahn dari Pasar burung di Slompretan Klewer. Meski sudah dipindah, tetapi hingga kini masih banyak pedagang yang berjualan bermacam-macam burung dan perlengkapannya. Nama Pasar Widuran diambil dearah itu yang bernama Widuran. Sebenarnya namanya dari bangsawan keraton Solo yang ngetop pada jamannya, Pangeran Widuro.


Pasar Kandang Sapi
Di depan Rumah Sakit dr Oen Jebres, tepatnya di jalan Katamso dan jalan Tentara Pelajar, disini ada Pasar yang murah sekali dagangannya. Masih sangat tradisional dengan jajanan kuno. Pasarnya tidak begitu besar, cukup untuk konsumsi penduduk setempat. Disebut pasar Kandang Sapi karena berada di daerah yang bernama Kandang Sapi. Di daerah ini dulunya banyak penduduk yang beternak sapi segala macam. Ada sapi perah, sapi pedaging, susu sapi hingga makanan sapi.


Pasar Ledhoksari
Di dekat pasar Kandang Sapi juga ada pasar yang lumayan besar, meski hanya cukup untuk kebutuhan penduduk setempat. Berada di Kecamatan Jebres tepatnya di jalan Urip Sumoharjo, namanya Pasar Ledhoksari. Karena tergusur oleh gedung-gedung tinggi di jalan abesar itu, pasarnya minggu ke kampong di jalan Johanes dan menjadi Pasar Jebres. Jebres berasal dari seorang Belanda bernama Van der Jeep Reic yang bermukim di daerah Jebres dan karena lidah Jawa menjadi Jebres.


Pasar Gede
Ini pasar paling besar di Solo. Disebut juga Pasar Gede. Pasar ini didirikan di jaman PB X. Saat awal, para bakulnya masih memakai kebaya dan kain jarit, sedangkan pedagang prianya mengen akan busana Jawa dan blangkon. Setiap hari keraton akan menarik pajak. Pasar ini dibangun oleh arsitek terkenal dari Eropa yang juga membangun Pasar Semarang dan gedung-gedung indah di Bandung. Pasar Gede disebut juga Paar Harjonegara, maksudnya untuk mengenang bangsawan Harjonegara yang memulai mendirikan Pasar Gede. Awalnya Pasar Gede dibangun di tanah titipan yang dihuni Babah China b erpangkat Mayor yang terkenal Babah Mayor. Ia mendirikan warung-warung kecil yang berjejer hingga Warung Miri (kelompok penjual bumbu pawon) dan Warung Pelem (kelompok penjual buah utamanya mangga). Namun setelah dibangun gedung Pasar, warung-warung diminta masuk Pasar Gede hingga sekarang. Pasar Besar ini pernah terbakar habis sekitar tahun 2000 dan kini sudah dibangun lebih megah lagi.


Pasar Singosaren
Dulu di Matahari Singosaren ada pasar tradisional bernama Pasar Singosaren. Setelah bakul-bakulnya dialihkan ke Pasar Kadipolo, pasar Singosaren menjadi pertokoan mewah. Berada di jalan Rajiman dan jalan Diponegoro, kini daerah itu merupakan daerah pertokoan paling ramai di Solo. Nama Singosaren diambil dari nama menantu PB X yang bernama Pangeran Singosari.


Pasar Kembang
Mungkin hanya ada di kota Solo suatu Pasar yang hanya menjual bunga-bunga setaman. Dalam perkembangannya, pasar ini akhirnya juga menjual kebutuhan pokok dan dapur. Tetpi pasar yang terletak di Jalan Rajimn ini memang khusus menjadi pasar kembang. DUlunya pedagangnya lebih suka berjualan dengan cara berhamburan di sepanjang pinggir jalan Honggowongso. Maklum pembelinya hanya membeli bunga setaman, sehingga malas parkir dan masuk pasar. Rupanya pembangunan gedung pasar tidak sukses karena penjual bunga merasa sepi pembeli. Pasar ini ramai ketika musim sadranan atau nyekar pada bulan Ruwah, Syawal, Sura dan bulan-bulan dimana banyak orang mantu.


Pasar Kadipolo
Rasanya pasar Kadipolo berhubungan erat dengan Pasar Kembang. Maklum hanya selangkah di depannya. Pasar Kadipolo dulunya kecil, tetapi sejak bakul-bakul pasar Singosaen dipindah ke pasar Kadipolo, pasar ini mendadak ramai. Sayangnya lahannya teramat sempit. Beberapa tahun bakulnya berhamburan di sepanajang jalan Rajiman. Kini sudah cukup tertip masuk di pasar Kadipolo dan Pasar Kembang. Nama Kadipolo diambil dari perasaan merasa disakiti amat sangat, dimana orang Jawa menyebut ‘koyo dipiloro dipolo’ sehingga menjadi Kadipolo. Kesakitan ini karena penduduk diminta memberi upeti berupa tanah di Kadipiro untuk pembangunan keraton Surakarta. Tanah ini sebelum disebut Kadipolo bernama tanah Talangwangi. Maklum tanah disini berbau wangi sehingga dipilih PB II untuk mengurug rawa-rawa desa Solo yang akan dibangun keraton Solo.


Pasar Penumping
Kea rah bvarat dari Pasar Kadipolo, ada Pasar Penumping. Pasarnya tidak begitu besar, cukup untuk kebutuhan penduduk daerah Penumping dan Baron. Nama Penumping diambil dari abdi dalem kerajaan yang berpangkat Nayaka Penumping, sehingga daerah ini disebut Penumping.


Pasar Purwosari
Ini pasar yang berda di sebalik jalan Slamet Riyadi, tepatnya di belakang resto Sari. Pasarnya gede banget, ramai banget, tetapi tidak teratur. Pinggir jalan kampong dipenuhi bakul-bakul. Masuk pasar juga sempit, apalagi jika masuk dari pintu jalan Slamet Riyadi. Di dalam pasar lebih sepi dibandingkan yang di luar pasar di sekujur belakang pasar atau di jalan kampung.


Pasar Sangkrah
Berada di kampung Sangkrah, tepatnya di jalan Sambas. Pasar ini sangat ramai di pagi hari. Dekat dengan stasiun Sangkrah. Pasar ini hanya cukup untuk melayani penduduk sekitar. Disebut Pasar Sangkrah karena berada di Kalurahan Sangkrah. Nama Sangkrah tidak lepas dari penemuan mayat yang menyangkut (nyangkrah-Jw) di dahan-dahan pohon bamboo di pinggir sungai. Mayat itu oleh Kyai Solo diketahui sebagai Pangeran Pabelan, putera Tumenggung Mayang yang memacari Puteri Sultan Hadiwijaya jaman tahun 1578-an. Meski pasar ini kecil tetapi cukup komplit plit.


Pasar Kliwon
Pasar ini berada jalan Mulyadi. Kini jualannya komplit untuk segala kebutuhan dapur dan rumah tangga. Padahal awalnya, pasar ini hanya menjadi trasitnya pedagang kambing. Setiap pasaran Kliwon, pasar ini sangat ramai, sehingga disebut Pasar Kliwon. Nama Pasar Kliwon menjadi nama Kalurahan dan sekaligus nama kecamatan. Adapun pasar kambing dialihkan ke Silir, bersamaan dengan pasar ayam dan bebek.


Pasar Gadhing
Berada di jalan Veteran, pasarnya cukup ramai. Para bakul suka berjualan disini karena mengharapkan dagangannya dimakan Kebo Bule Kyai Slamet milik araja. Jika dagangannya dimakan Kyai Slamet alamat akan mendapat rejeki. Pasar ini berada di kampung Gadhing. Nama Gadhing bukan berasal dari gading gajah, tetapi dari abdi dalem raja yang pekerjaannya gadhingan, yakni orang suci demi kejayaan keratin, utamanya tugas-tugas di saat ada raja yang wafat.


Pasar Harjadaksino di Gemblegan
Nama Pasar secara resmi Pasar Harjodaksino, berada di jalan Yos Sudarso dan jalan Dewi Sartika, Danukusuma. Tetapi karena berada di dekat perempatan Gemblegan, lebih popular disebut pasar Gemblegan. Asal nama Gemblegan dari daerah yang ditempati abdi dalem kerajaan yang bertugas kuningan pembuat bokor, tempat kinang atau barang-barang yang berasal dari kuningan. Profesi itu dalam bahasa Jawa disebut Tukang Gemblak, maka daerah itu disebut Gemblegan. Jika ingin mencari makanan kuno makuno yang sangat tradisional, cari di pasar ini, pasti ketemu.


Pasar Klewer
Ini pasar kain dan sudah ngetop menjadi pasar Mangga Duanya Solo. Semula merupakan Pasar burung di Slompretan. Nama Slompretan berasal dari plesetan Pakretan, dari asal kata kreta. Dulu banyak kereta yang parkir di Nglorengan ini Karen penumpangnya akan menghadap sang raja. Karena banyak kereta yang parkir, daerah ini lalu disebut Pakretan yang di plesetkan menjadi Slompretan. Nama Nglorengan sendiri berasal dari sinyo Belanda bernama Lourens yang dalam lidah Jawa menjadi Loreng hingga menjadi Nglorengan.
Pasar Klewer kini penuh dengan kain batik Disebut Pasar Klewer diawali banyaknya penjual kain yang tidak punya kios yang dompleng jualan di pasar burung. Maklum pasar burungnya ramai. Simbok pedagang kain jarit, lendang dan kebaya hanya ditaruh di pundak, padahal dagangannya dibuka lembaran. Tak heran dagangannya menjuntai-juntai keleweran di tubuhnya. Si embok penjual kain ini mengejar pembeli agar dagangannya dibeli. Lebih baik beli baju daripada beli burung, kan bapaknya sudah punya burung, kata mereka. Kian hari pedagang kain kelewran ini kian banyak, malah lebih banyak dari pada penjual burungnya, sehingga pedagang burung dpindah ke Pasar Widuran. Akhirnya pedagang keleweran ini dibuatkan gedung pasar dan diberi nama Pasar Klewer sesaui dengan sejarahnya yang kainnya keleweran di pun dak si bakul.


Pasar Nangka
Meski namanya Pasar Nangka, tetapi yang menjual nangka hanya sedikit. Maklum disebut pasar Nangka karena dulunya di daerah itu banyak tanaman nangkanya. Kini tidak ada satupun. Meski begitu, dulunya pasar ini memangh special menjual nagka, gori dan kluwih. Pasar ini berada di jalan RM Said komplit dan murah, tetapi pasarnya kecil. Pasar ini kian ramai karena di depan pasar juga ada pasar tanaman hias.


Pasar Coyudan
Ini bukan pasar tradisional, tetapi merupakan pertokoan barang-barang kebutuhan sekunder seperti kain, tas, sepatu dll. Sekarang merupakan daerah pertokoan paling ramai di Solo, tepat di jalan Rajiman dan jalan Yos Sudarso. Disebut Pasar Coyudan berasal dari Pangeran Secoyuda yang bermukim di daerah ini.


Pasar Triwindu
Pasar ini berada di depan Pasar Pon tepat di jalan Diponegoro. Barang jualannya berupa benda antik. Pasarnya telah direnovasi menjadi salah satu asset pasar paling yahut di Solo. Dulunya bernama Pasar Ya’ik. Berubah menjadi Pasar Triwindu karena menjadi arena peringatan 3 windu jumenenganya Mangkunegoro VII. Akhirnya disebut Pasar Triwindu.



Meski masih ada beberapa pasar lagi, tetapi kecil saja.
Adapun pasar-pasar yang tergusur dan tampil dengan wajah baru adalah sbb:

Pasar Dhawung
DUlu berada di kampong Dhawung, tetapi kini sudah menjadi pertokoan yang cukup besar. Disebut pasar Dhawung karena dulu ada penjual jamu dan bahan jamu yang berjualan di bawah pohon dhawung. B akulnya manis, jamunya manjur sehingga banyak pembelinya. Karena kian ramai, banyak bakul yang ikut berjualan disini sehingga akhirnya disebut Pasar Dhawung.

Pasar Pon
Disebut Pasar Pon karena ramainya ketika pasaran Pon. Pasarnya sudah hilang, tetapi nama Psar Pon menjadi nama perempatan Pasar Pon yang paling ramai di Solo. Letaknya di perempatan jalan Slamet Riyadi, jalan Diponegoro dan jalan Gatot Subroto.

Pasar mBeling
Ini adalah pasarnya barang-barang pecah belah di Solo. Tepatnya berada di sewkitar perempatan jalan Supomo depan SMU Muhammadiyah.

Pasar Ngapeman
Dulu banyak yang jualan apem, tepatnya di jalan Slamet Riyadi dan jalan Gajah Mada. Disini juga menjadi pasar sepeda bekas. Kini menjadi hotel Novotel.

Pasar Senggol
Di Purwosari, jika malam tiba, jalan Purwosari sederetan dengan Resto Sari selalu penuh oleh penjual kaki lima. Pengunjung buanyak, pasarnya sempit karena berada di pinggir jalan. Maka selalu terjadi senggol-senggolan, sehingga disebut Pasar Senggol.

Masih ada lagi? Tentu masih banyak seiring denagn perkembangan jaman. (noni)

Wong Solo Tepo Seliro

Wong Solo Tepo Seliro

Aku orang Solo, rumahku di tengah-tengah antara keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Aku denger, orang Solo punya ciri suka sombong yang tersembunyi. Istilahnya Umuk Solo. Menurut penilinku, wong Solo itu ‘tepa selira’, bukan munafik

Apa tepo seliro itu? Tepo seliro adalah sikap diri pribadi yang sangat menghormati orang lain dengan cara tenggang rasa untuk menciptakan keserasian hubungan antar sesama, sehingga hubungan familier dan menghargai ini tidak membawa dampak sakit hati atau tersinggung.

Orang Solo bisa dibilang ahli tepo seliro. Perasaannya peka untuk diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain karena menjadi tiang penyangga perasaan. Tepo seliro ini merupakan gabungan dari ‘rara-raras-laras, yang berarti serasi.

Dalam hubungan sosial, wong Solo terkenal sebagai orang yang punya sikap ramah, sumanak familier suka damai, mudah tanggap ata gupuh, suka tenggang rasa tepo selira itu tadi, sabar atau sareh dan pengalah suka mengalah demi kebaikan. Sikap-sikap yang cukup oke ini bisa membawa hubungan antar sesama menjadi serasi.

Dengan tepo siliro atau tenggang rasa itu akan membuat:
Seseorang dapat mengargai peasaan satu sama lain
Dapat merasaan perasaan orang lain dalam dirinya
Tepa selira dapat mengukur dan menempatkan perasaannya
Dengan tepa selira, orang dapat memaknai adany ‘daya rasa’, menjadi penghalus hubungan antar sesame
Ahli tepa selira akan membawa suasana tidak ada gangguan perasaan, tidak ada yang tertekan, tersinggung, melukai dan membebani perasaan orang lain.

Mengapa wong Solo hamper semuanya menjadi ahli tepo siiro? Sebab wong Solo terdidik ata terbawa dalam suasana hidup orang kota yang kejiwaannya dipengaruhi kesatuan daya yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Daya-daya ini tidak berdiri sendiri, tetapi bergerak seiring dalam menjalankan fungsi bermasyarakat.

Pada gerak cipta, adalah suatu daya motivasi melahirkan dan menggerakkan dn menentukan sebuah perbuatan pada sasaran yang tepat. Rasa adalah sebuah tehnik penghalus suatu hasil perbuatan sehingga menjadi serasi. Sedangkan karsa adalah pendorong, penggerak adanya perbuatan.

Jadi wong Solo dalam bermasyarakat selalu bertenggang rasa dari dasar hidup pada olah cipta, rasa dan karsa.

Rumah Kuno di Solo

Rumah-rumah Kuno di Solo

Meneliti rumah-rumah kuno di Solo, hingga kini banyak sekali rumah-rumah yang telah berpindah tangan. Saya akan urai menurut yang bisa saya urai sbb:

Taman Balaikambang
Taman Balaikambang, dulu bernama Partini Tuin, nama putri Mangkunegaran tertua. Di taman ini mulanya sebagai ajang persaingan dengan Kebun Raja Sriwedari. Tempatnya lebih luas dan lebih asri, banyak pohon dan ada kolam renang Tirtoyasa, danau buatan untuk berperahu, taman bunga dll. Dibuat pula gedung pertunjukan untuk ketoprak bernama Balaikambang. Taman ini dibangun kembali jaman walikota Jokowi dan kini bisa menjadi tempat wisata kota yang cukup menghibur. Taman ini berad di areal gedung olah raga Manahan. Setiap Minggu pagi, taman dan gedung Manahan sangat ramai seperti ada pasar tiban, padahal menjadi arena olahrfaga Minggu Pagi bagi penduduk Solo.


Rumah Agus Salim
Rumah pendiri Serikat Dagang Islam H Agus Salim di jalan Rajiman Solo, kini sudah menjadi rumah wallet milik babah Cina atau bos sebuah perusahaan rokok. Dulu rumah bersejarah itu adalah tempat untuk mendirikan serikat dagang Islam tadi.


Javache Bank
Bank Indonesia Solo di Jalan Jen Sudirman, kini masih berdiri magrong-magrong, megah dan mewah. Dulunya gedung bank milik Belanda Javache Bank. Ada suara-suara gedung itu akan digunakan sebagai museum. Sebaiknya tetap dipergunakn bank Indonesia Solo saja, biar gedung itu selalu terpelihara. Jika dipakai museum, pasti tidak punya beaya perawatan gedung.


Rumah Lawa
Rumah lawa di jalan Slamet Riyadi Purwosari yang bertuliskan villa liberty, dulunya milik orang Belanda, lalu dibeli bangsawan local dan jatu pada juragan Cina Djian Ho. Setelah merdeka menjadi gedung Veteran. Kini sudah dimiliki pribumi dan akhirnya benar-benar diserahkan kepada para kelelawar dan sriti untuk beranak pianak disana.


Sriwedari
Sriwedari dibangun di tanah yang wangi. Dulu nama tanahnya Talangwangi. Ada yang menyebut Kadipala. Oleh Sunan PB X, tahun 1899, tanah ini dijadikan kebun taman milik kerajaan sebagai taman kota. Saat dibangun lebih indah daripada sekarang. Maklum, dikit-dikit taman ini jadi gedng. Ada gedng Pariwisata, Graha Wisata sampai kolam bidadarinya menjadi restoran Boga. Dulu ada kebun binatang, tetapi dipindah ke Jurug, termasuk gajah raja Kyai Anggoro ang sdah almarhum. Tanah kebun jadi comberan kosong tak terawatt. Ada yang dipakai jadi markasnya Persis Solo, ada yang jadi markasnya mas-mas kemayu. Sekarang meski pengadilan memberi restu dimiliki kerabat bangsawan, tetapi tetap dihaki oleh pemkot, lal dibangun lagi meski peruntukannya masih ngakngikngok.


Museum Radyapustaka
Di kanan Sriwedari ada bangunan kno yang kini menjadi museum Radyapustaka, jga di jaman PB X. Museum ini meneruskan kiprah PB IX yang pertamanya dididirikan di Widuran Kepatihan. PB X ingin megara puna gedung pustaka yang megah. Maka bangunan gedung milik Johanes Busselaar segera diminta dan dijadikan gedung museum dengan nama Radyaoustaka, atau perputakaan negara. Sayangnya, namanya mseum tetap hanya menjadi rmah benda-benda kuno yang sdah kehilangan makna dan keindahan unik dan antiknya karena tidak dipelihara. Adapun barang berharganyapun seperti sudah tidak berada di museum, tetapi masuk di kantong para penggemar benda antic. Ang bisa dibanggakan hanya kepala Kyai Rajamala, yang lain seperti tak bertuah dan tak punya nilai histori.


Tembok Bolong
Tembok Bolong di jalan Mayor Sunaryo, dulunya adalah tangsi dan balai prajurit hingga menjadi gedung shinkhokan di jaman Jepang. Sebagian bangunan dijual dan menjadi Mall Beteng Plasa. Sebagian masih berdiri dan dipakai sebagai gedung veteran. Adapun bangunan paling timur menjadi tembok bolong yang paling mengerikan sebagai bangunan bertingkat jaman Londo yang masih bersisa di Solo. Padahal tiap malam di jalan Mayor Sunaryo ini sangat ramai karena Pak Wali mendirikan Gladag Langen Bogan disini, sebuah areal menu makanan khas dan paling enak di Solo.


Mangkunegaran
Pura Mangkunegaran, luasnya sekitar 1 km2. Dibangun oleh Raden Mas Said yang kemudian menjadi KGPAA Mangkunegoro I. Puro atau istana ini dulunya milik Tumenggung Mangkuyuda. Daerahnya berada 2 km dari keratin Kasunanan Solo, berada di belakang Pasar Triwundu atau dulunya bernama Pasar Pon. Puro ini sudah dibangun sejak tahun 1957 sejalan diangkatnya Pangeran Samber Nyawa Raden Mas Said sebagai Mangkunegoro. Puro ini punya beberapa bangunan kuno. Diantaranya adalah: Istana Utama bernama Dalem Ageng, Pringgitan, Pendapa Ageng, Bale Warni, Prangwedanan Darmasugandan, Gedung Kavaleri, Langenprajan, Bale Peni, Kori Butulan Wetan dan Kulon.


Gedung Patung Slamet Riyadi
Bekas Kodim tepatnya di pertigaan jalan Bhayangkara dan jalan Slamet Riyadi, di gedung kuno itu ada patung Slamet Riyadi-nya. Bangunan ini dulu milik orang China Kwik Tjie Gwan, lalu beralih dibeli konglomerat Solo, Setiawan Djodi, lalu dijual lagi kepada peranakan China. Gedung di selalu berganti penghuninya. Sebelum dihuni Kodim, di jaman Jepang dihuni Funa Biki, penguasa Jepang di Solo.


Kusumayudan
Gedung Kusumayudan, gedung ini milik Pangeran Kusumayuda yang seharusnya menjadi PB XI. Tahun 1965-1970 geedung ini dipakai Universitas Cokroaminoto akhirnya dihancurkan dan dibangun Gedung Hotel Kusuma Sahid milim Sahid Gitosarjana.


Gedung Pintu Sanga berada di pertigaan jalan Bhayangkara dan jalan Rajiman, dulu adalah bangunan Rumah Sakit Militer Belanda. Karena tempatnya tidak begitu luas, lalu dipakai sebagai kantor perusahaan pembangunan kereta api NIS Belanda (Nederhlandsch Indische Spoorweg Maatscappij). NIS adalah pembangun jalan kereta api Semarang – Solo-Yogyakarta tahun 1864. Jaman merdeka milik PT Pertani, kini dibeli Sritex.


Monumen Pers
Gedung Monumen Pers Nasional, dulunya, di jaman sebelum merdeka merupakan gedung milik Mangkunegaran sebagai gedung pertemuan bvernama Soos (societeit) Mangkunegaran. Gedung ini dibangun oleh arsitek Jawa Atmodirono. Karena kosong, gedung ini dipakai Palang Merah Indonesia Surakarta, tetapi tahun 1980-an gedung ini direnovasi dan menjadi Gedung Pers Nasional. Daerah ini dulunya bernama perempatan Ngesus, tetapi kini nama itu tidak terkenal lagi.


Gereja Purbayan
Gereja Katolik Purbayan dan gereja Kristen Kalam Kudus di perempatan Gladag. Bangunan gereeeja Purbayan hingga kini masih terawatt dan belum pernah direnovasi karena gaya arsitektur yang indah dan kuat. Sedangkan gereka Kristen Gladag pernah direnovasi. Gedung-gedung ini dibangun sebelum trahun 1850.


Tunggu tulisan berikut seperti Pasar Gede, Beteng Vastenburg, Sanggobuwana dsb.