Kamis, 05 Maret 2009

Wong Solo Tepo Seliro

Wong Solo Tepo Seliro

Aku orang Solo, rumahku di tengah-tengah antara keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Aku denger, orang Solo punya ciri suka sombong yang tersembunyi. Istilahnya Umuk Solo. Menurut penilinku, wong Solo itu ‘tepa selira’, bukan munafik

Apa tepo seliro itu? Tepo seliro adalah sikap diri pribadi yang sangat menghormati orang lain dengan cara tenggang rasa untuk menciptakan keserasian hubungan antar sesama, sehingga hubungan familier dan menghargai ini tidak membawa dampak sakit hati atau tersinggung.

Orang Solo bisa dibilang ahli tepo seliro. Perasaannya peka untuk diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain karena menjadi tiang penyangga perasaan. Tepo seliro ini merupakan gabungan dari ‘rara-raras-laras, yang berarti serasi.

Dalam hubungan sosial, wong Solo terkenal sebagai orang yang punya sikap ramah, sumanak familier suka damai, mudah tanggap ata gupuh, suka tenggang rasa tepo selira itu tadi, sabar atau sareh dan pengalah suka mengalah demi kebaikan. Sikap-sikap yang cukup oke ini bisa membawa hubungan antar sesama menjadi serasi.

Dengan tepo siliro atau tenggang rasa itu akan membuat:
Seseorang dapat mengargai peasaan satu sama lain
Dapat merasaan perasaan orang lain dalam dirinya
Tepa selira dapat mengukur dan menempatkan perasaannya
Dengan tepa selira, orang dapat memaknai adany ‘daya rasa’, menjadi penghalus hubungan antar sesame
Ahli tepa selira akan membawa suasana tidak ada gangguan perasaan, tidak ada yang tertekan, tersinggung, melukai dan membebani perasaan orang lain.

Mengapa wong Solo hamper semuanya menjadi ahli tepo siiro? Sebab wong Solo terdidik ata terbawa dalam suasana hidup orang kota yang kejiwaannya dipengaruhi kesatuan daya yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Daya-daya ini tidak berdiri sendiri, tetapi bergerak seiring dalam menjalankan fungsi bermasyarakat.

Pada gerak cipta, adalah suatu daya motivasi melahirkan dan menggerakkan dn menentukan sebuah perbuatan pada sasaran yang tepat. Rasa adalah sebuah tehnik penghalus suatu hasil perbuatan sehingga menjadi serasi. Sedangkan karsa adalah pendorong, penggerak adanya perbuatan.

Jadi wong Solo dalam bermasyarakat selalu bertenggang rasa dari dasar hidup pada olah cipta, rasa dan karsa.

Tidak ada komentar: