Sabtu, 02 Mei 2009

Sobo Turut Lurung di Solo (1)
JOWO LONDO DI GANG TUA

Dering telepon dari Belanda itu untuk Ni Ngoro, wanita kelahiran Jakarta yang sejak balita dibesarkan di Solo, kota budaya dimana eyangnya tinggal. Suatu hari ketika Ni Ngoro tidak lagi kerja kantoran, ia tertarik pada kisah kampung tempat tinggalnya. Ini bermula setelah kedatangan tamu dari Belanda, Rudd Rden Heintchezalaar, si penelpon dari Belanda tadi. Berkat Sinyo itu, Ni Ngoro kini rajin menyambung-nyambung cerita kampungnya yang dihubungkan dengan nama para tokoh kuno di Solo.

Ni Ngoro sendiri punya nama panjang yang tak disukainya. Sejak mengenal makna-makna nama, herannya, ia tak peduli makna nama panjang dirinya. “Apalah arti sebuah nama,” kata seorang pujangga Inggris. Padahal ia paham, menurut ahli spiritual di kota Solo, makna nama bisa terbawa pada nasibnya. “Nama harus punya makna, bukan datar, antah berantah! Nama tidak boleh serba asal, jangan abu-abu, tak punya arah, takutnya tak bertujuan.”

Jadinya sekarang Ni Ngoro giat cari data, lalu dikonsep dan sudah sedikit dibuat film-nya, berkenaan dengan cerita tentang asal-usul nama kampung-kampung di Solo. Istilahnya toponimi.

Ide awalnya bermula dari rasa heran Heintchezalaar yang tak bisa dijawab Ni Ngoro. Heintchezalaar bertanya, mengapa ada nama jalan yang diambil dari nama burung, nama binatang, nama bunga atau nama pulau-pulau. Memangnya Solo tak punya asal-usul, cari nama saja nyontek nama burung?

“Ini tak masuk akal. Mungkin orang yang beri nama kehabisan ilham, atau tak paham sejarah. Celakanya jika asal beri nama. Tak heran, banyak nama abu-abu di gang-gang kota Solo,” begitulah keheranan Heintchezalaar. Mulanya, Ni Ngoro tak begitu peduli dengan pertanyaan itu.

Sekarang jika ingat nama gang-gang di kampung-kampung, dada Ni Ngoro jadi ikut sesak. Kota tua Solo jadi kota tua yang ternoda maknanya. Padahal namanya kota pusaka, mau adakan konverensi besar-besaran tentang kota pusaka sedunia Oktober nanti.

Tentu rusaknya kota Solo bukan karena urban besar-besaran dari desa (sejak 1980an) yang bikin Solo berkembang tanpa kendali. Ni Ngoro sungkan jika Heintchezalaar ikut resah tentang nama antah berantah itu. Heintchezalaar ini adalah cucu mantan perwira Hindia Belanda di kota Solo sekitar tahun 1930-an, namun ia juga cucu seorang Kanjeng dari Mangkunegaran. Artinya ia memang seorang indo.

Heintchezalaar pertama kali ke Solo diajak opanya. Saat itu usianya baru 7 tahun. Maunya menginap di Hotel Slier, itu hotel di jaman Belanda saat Opa Heintchezalaar masih berkuasa di Solo. Tetapi hotel itu sudah berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Ketika Heintchezalaar datang tahun 1981, hotel itu tak ada lagi, tanahnya terbiarkan merana dihuni setan. Kabarnya mau dibangun dan jadi kantor Bank Indonesia. BI sendiri mau dipakai museum. Heintchezalaar ingat, menurut cerita opanya yang sudah almarhum, BI Solo itu, dulu adalah Javache Bank milik Belanda.

Heintchezalaar mengeluh pada Ni Ngoro, ia merasa kehilangan banyak kenangan di Solo. Perasaan ini sama dengan perasaan opanya. Ni Ngoro tidak terkejut ketika Heintchezalaar berpendapat, “Kota Solo sudah berubah. Dulu aku merasa menjadi orang Jawa berbudaya Jawa ketika masuk Solo. Waktu ke rumah famili di Punggawan, disana penuh dengan nama Jawa. Sekarang bangunan joglonya sudah kusam dan tinggal satu dua. Yang di Widuran kian singup. Di Kauman saja masih belum berubah banyak,” kata Heintchezalaar.

Pertamanya Ni Ngoro tidak sependapat dengan Heintchezalaar. Ni Ngoro meyakini dunia mengalami perubahan secara kontinu. Perubahan adalah alamiah, sama seperti air mengalir. Bahkan setiap dasawarsa, ada penemuan baru yang membuat dunia berkembang pesat. Tahun 1945, Jakarta adalah kampung besar. Sekarang macet dimana-mana! Jadi andai rumah dan kota tidak dibangun menjadi gedung dan kota modern, pasti ketinggalan jaman.

Heintchezalaar membenarkan, tetapi kenangan yang dimaksud adalah goresan tinta emas pada situasi alamiah yang tergulir masuk dalam bathinnya. Sebuah situasi yang bisa membangkitkan perasaan yang sangat menyentuh hati. “Hanya sekali aku ke Borobudur, tetapi kenangan sehari disana, sulit hilang. Mengapa? Karena ada memori yang masuk dalam bathinku, di alam bawah sadar, bahwa aura Borobudur, sampai kapanpun, tetap ada dalam hatiku. Itu maksudku.”

Pada akhirnya Ni Ngoro mengerti dan tiba-tiba saja ia jadi sangat terkesan oleh kata-kata Heintchezalaar. Kesan ini langsung menggelorakan niatan untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang dipunyai kota Solo, yang mampu membuat aura Solo merasuk dalam alam bawah sadar siapapun yang pernah menghirup udara Solo!!!

Itulah yang membuat Ni Ngoro sangat peduli pada makna nama kampung-kampung di Solo. Heintchezalaar mengira, Solo kota yang indah, bersejarah, dibangun zaman Belanda. Ia berharap Solo tetap seperti bayangannya, kota pusaka.

Kali pertama Heintchezalaar ke Solo, militer Indonesia curiga terhadap kehadiran opanya yang dikira CIA. Saat itu tepat ketika terjadi huru-hara pembasmian PKI. Opanya mencatat, tepat pada Oktober 1965, PKI berkhianati. PKI mau membuat negara komunis. Aksi-aksi sepihak memprotes landreform, meneror dan show of force lewat berbagai cara, digerakkan dengan nekad. Pada 1 Oktober, orang Solo dikejutkan siaran RRI Jakarta yang mengabarkan Gerakan 30 September. Malamnya ada isu Dewan Revolusi. Esok harinya Opa Heintchezalaar mendengar dari radio bahwa Walikota Solo Utoyo Ramelan mengumumkan terben­tuknya Pemerintahan Dewan Revolusi Daerah Kotamadya Surakarta.

Sebenarnya Omanya minta mereka segera meninggalkan Indonesia. Namun karena Opa berbesanan dengan priyayi agung Mangkunegaran, mereka merasa masih aman berada di Solo.

Benar juga, sepekan kemudian Batalyon Divisi Diponegoro yang tadinya pro Dewan Revolusi, menyatakan setia kembali kepada Pangliman Divisi Diponegoro. Namun Opa Heintchezalaar yakin bahwa meski media mengabarkan Jawa Tengah aman dan terkendali, sebenarnya penuh bara api. Apalagi Kol Yasir Hadibroto adakan rapat dengan berbagai golongan anti komunis untuk me­nentang Dewan Revolusi.

Di saat hawa politik di Solo memanas, Heintchezalaar kecil uring-uringan. Ia dijanjikan diajak menikmati indahnya kota Solo. Yang terjadi malah banyak asap hitam akibat beberapa toko dan kantor PKI dibakar. Untunglah, keluarga eyangnya yang Kanjeng, masih dapat membawanya ke daerah-daerah seperti di Banjarsari, lalu ke beberapa kampung legendaris dan pesiar di Tirtomoyo. Padahal maksud ajakan itu untuk menyelamatkan Heintchezalaar jika terjadi sesuatu di Hotel Merdeka, daerah yang berada selangkah dari pusat kerusuhan di Balaikota Solo.

Tetapi ketika pada 22 Oktober, Heintchezalaar akan diajak ke Boyolali, rencana ini batal. Ada pemogokan bus di Gemblegan Solo. RKP (Regu Kerja Pemuda) dan Pemuda Rakyat yang underbouw PKI, melarang sopir bus beroperasi. Mereka menghalangi aktivis PNI menghadiri pemakaman Jendral Katamso di Yogya. Heintchezalaar akhirnya hanya tinggal di hotel saja.

Suasana di sekitar Hotel Merdeka sangat panas. Para pemuda datang dari halaman Mesjid Agung setelah sholat Jum’atan menyambut RPKAD di Solo. Lalu mereka demo anti PKI. Dari jarak tak lebih 1000 meter dari hotel, Heintchezalaar kecil melihat percetakan Populair dibakar, sama seperti toko-toko di Singosaren yang sudah merah menyala karena api. (Sewaktu Heintchezalaar datang lagi ke Solo tahun 1981, tanah Populair ini sudah menjadi gedung BCA Slamet Riyadi sekarang).

Di catatan opanya, Heintchezalaar tahu bahwa ketika demonstran memasuki kantor Pemuda PKI bernama CGMI, terdengar serentetan tem­bak­an dari arah timur, diperkirakan dari sekitar Beteng. Beberapa demon­stran tersungkur kena peluru. Jumlah korban 4 tewas dan 14 luka tembak. Para demonstran menjadi panik, terpecah dan kocar-kocar lari cari selamat.

Karena massa PKI terpancing, malam harinya mereka mencegat pendemo di Peterongan, Warung Pelem, Kampung Se­wu dan Sangkrah. Hasil tangkapan beruap para pendemo anti PKI, dibawa ke Kedungkopi (dulu namanya Putat) dan dihabisi disana sebanyak 22 orang korban mati mengenaskan.

Heintchezalaar heran, ketika mengajak Ni Ngoro ke Kedungkopi, seolah disini tak ada cerita pembantaian yang amat keji. Padahal masih terbayang jelas di pelupuk matanya, semacam trauma masa kecil, ketika melihat banyak darah di depan hotel Merdeka tempatnya menginap, dulu di tahun 1965 pas pendemo ditembaki membabi buta.

Kini, apakah semua sudah garing, sebab tak berbekas lagi. Tak ada tanda kedukaan. Mungkin tidak perlu dikenang, begitu pikirnya menetramkan diri. Padahal seingat Heintchezalaar, masih ada korban yang lolos dari maut Kedungkopi dan baru meninggal setelah tahun 2000. Dia kecewa, tak satupun tanda yang bisa dikenalinya, padahal trauma masa kecilnya itu, belum sembuh hingga kini.

Heintchezalaar dan Ni Ngoro berhenti di perempatan Warung Pelem. Heintchezalaar ingat saat berkunjung ke Solo tahun 1981, di sekitar inilah seorang pribumi dihakimi warga keturunan yang menyulut bakar-bakar di kota Solo dan menjalar hampir di seluruh pulau Jawa dan Indonesia. Namun ia pun tidak menemukan tanda-tanda pernah ada kerusuhan besar di Solo. Rupanya, Heintchezalaar sering berada di tempat di mana ada pergolakan di Solo. Pantas Solo disebut sebagai kota barometer politik Indonesia.

Ni Ngoro dan Heintchezalaar lalu blusak-blusuk di berbagai gang dan kampung-kampung. Orang sering bingung dengan perjalanannya yang tak henti dengan sejuta tanya. “Meneer ini mau bikin thesis, bantu LSM, motret kemiskinan berkedok ilmuwan atau mencari kuburan nenek moyang yang mati dipedang jaman revolusi?” begitu penduduk pribumi bertanya-tanya.

Ni Ngoro tertarik mengenal Heintchezalaar karena ia berbeda dari stereotype sinyo-sinyo Belanda. Mungkin tak mengherankan karena kakek neneknya dari pihak ibu adalah pribumi Jawa tulen. Dulu ketika Indonesia dikuasai Jepang, Opa Heintchezalaar lari ke Australia. Ketika terjadi class tahun 1948, Opa balik ke Solo. Karena anak lelakinya kawin dengan penduduk pribumi, baru tahun 1955 Opa Heintchezalaar memboyong anak mantunya ke Belanda.

Heintchezalaar lahir tahun 1957. Sudah 4 kali datang ke Indonesia, pengetahuannya tentang kota Solo melebihi penduduknya sendiri. Dulu ia suka melihat keramaian pasar Yaik di perempatan Pasar Pon. Sekarang namanya diganti pasar Triwindu gara-gara HUT Mangkunagoro yang bertahta ke 24 tahun. Heintchezalaar juga berkunjung ke Perempatan Ngapeman mencari apem kesukaan Opanya. Namun mana ada apem disini. “Dulu disini ada pasar sepeda onthel bekas. Sekarang menjadi Hotel Novotel!” Ketika mencari benda pecah belah di Pasar mBeling, ia hanya menemukan penjual bakso dorong, tanpa ada pasar yang menjual barang pecah belah sebagaimana nama pasarnya, Pasar mBeling.

Ni Ngoro juga pernah mengajak Heintchezalaar ke Alun-alun. Ia melongo. Mengapa? “Kata Opa, hamparan lapangan Alun-alunnya bukan rumput, tetapi pasir.” Ni Ngoro tersenyum, lalu menjelaskan bahwa ketika Jepang masuk Solo, pasirnya diganti rumput. “Andai diganti pasir lagi bisa, kan? Tapi pasti beayanya tinggi, lebih baik beli BBM untuk rakyat miskin!”

Ni Ngoro jadi ingat biografi Barack Obama. Ketika diboyong ayah tirinya ke Indonesia, hanya kemiskinan saja yang terbingkai di memori calon Presiden Amerika itu, sama seperti Heintchezalaar yang tak pernah lepas dari kata miskin di mulutnya ketika bludas bludus di gang-gang kota Solo.
---000----

Pagi-pagi kedua kawanan Jalond (Jawa-Londo/Belanda) itu berjalan-jalan dari Gondang sampai Kampung Sewu dan Tanggul. Hebatnya, keduanya menyusuri pinggir kali Pepe. Jika pingiran kali tak bisa dilewati, mereka menyusuri lewat rumah penduduk. Perjalanan ini menghabiskan waktu sehari. Heintchezalaar giat mencatat hal-hal yang membuatnya kagum.

Dari Gondang, Sambeng, Balapan, Jageran, Pasar Legi, Kebalen, Kreteg Arifin, Pasar Gede, Kreteg Gantung, Kedunglumbu, Kampung Sewu hingga menembus sungai Bengawan Solo, notes Heintchezalaar penuh dengan cerita yang mengawali pembentukan nama-nama di daerah itu. Catatan itu akan diaduk-aduk dan dipadu-padankan dengan catatan harian opanya, lalu disambung dengan catatan Ni Ngoro.

“Ini satu-satunya sungai yang melewati tengah kota sepadat Solo. Heran, mengapa airnya kering? Kemana orang Solo membuang air?” tanya Heintchezalaar

Esok paginya mereka menyusuri rel kereta api dari stasiun Sangkrah lewat jalan Slamet Riyadi hingga stasiun Purwosati. Jalan pusat kota ini satu-satunya jalan kota yang masih aktif dengan kereta api antiknya dari Wonogiri. Di catatan opanya, Heintchezalaar ingat bahwa jalan Slamet Riyadi itu dulunya bernama Jalan Wilhemina. Di jaman Jepang namanya berubah menjadi Jalan Purwosari Weg, kini bernama Jalan Slamet Riyadi.

Adapun kereta apinya dulu hanya satu gerbong, ditarik 6 ekor kuda. Ini aneh, kata Heintchezalaar tertawa. Baru 5 tahun kemudian tepatnya 1905, datang loko beneran dengan tenaga batubara. Uap lokonya mengepul hitam, jalannya pelan, persis seperti jalannya puteri Solo. Dulu ada banyak halte. Berangkat dari halte Vastenburg, kereta menuju halte Kauman, lalu halte Derpoyudo Nonongan, halte Pasar Pon, halte Sriwedari, halte Pesanggrahan Ngadisuryan, stasiun Purwosari dan berakhir di Gembongan Kartosuro.

Kata Opa Heintchezalaar, hanya orang asing, saudagar pri­bu­mi dan bangsawan keraton yang sering naik kereta ini, rakyat jelata takut karena tak punya uang. Rakyat naik dokar, andong atau gerobak sapi. Pada saat itu jalanan masih nyaman dilalui karena banyaknya pepohonan besar sehingga tidak panas. Penduduk yang berdiam di pinggir jalan selalu menyediakan kendi air untuk musafir yang kehausan.

Esok pagi lagi, Jalond itu ‘sobo turut lurung’ dari Jurug, menyusuri pinggir kali Bengawan Solo melewati Kampung Sewu, Pasar Kliwon hingga Gading dan masuk keraton Solo. Hari-hari selanjutnya mereka menyusuri di hampir 51 Kelurahan di kota Solo. Sungguh sebuah perjalanan selama 2 minggu yang sangat menawan. Hawa di Solo cukup panas sehabis musim hujan, tetapi tak mengurangi gairah mendapatkan data-data yang menarik.

Sampai terdesak waktu, Ni Ngoro dan Heintchezalaar membuka catatan pinggiran, maksudnya pinggir kali dan pinggir jalan dalam rangka “sobo turut lurung kota Solo”. Keduanya gotong royong membuat jalinan cerita tentang lahirnya kota Solo hingga mencatat banyaknya situs-situs yang hilang tanpa makna.

Solo mulai tumbuh sebagai desa becek pada 1745 ketika PB II memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Ni Ngoro menulis awal-awal ceritanya sbb: Sebelum ada kerajaan Surakarta, desa Sala sering banjir. Penduduknya belum banyak, su­a­sananya sepi, jika malam se­nyap ka­rena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi se­habis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlan­tai tanah dan beratap ilalng.

Heintchezalaar tersenyum membaca kata awal tulisan Ni Ngoro. Lelaki cerdas itu memang bisa berbahasa Indonesia dari ajaran mamanya. Ia minta Ni Ngoro mengurai bagaimana Sala kini disebut Solo, sedangkan pemerintahan formalnya disebut Surakarta. Konon kata Solo hanya permudahan ejaan Bau Soroh, jabatan abdidalem keraton yang mengurusi pelabuhan sungai Bengawan di Bandar Beton. Pendatang sulit mengeja kata Soroh dan terpeleset menjadi Sala, hingga akhirnya Bau Sorohnya disebut Sala.

Kepindahan raja dibarengi pergantian nama kerajaan Kartasura menjadi Surakarta, kotanya disebut Sala sesuai nama desa Sala. Sungai Bengawan namanya ditambah Sala. Jadi sungai Bengawan Sala yang memberi nama adalah PB II, seru Heintchezalaar. Dulunya sungai Bengawan Sala itu hanya bernama sungai Bengawan saja.

Eyang Kanjeng membenarkan penamaan itu. Beliau ikut membantu memilahkan pemben­tukan nama kampung di Solo yang diambil dari kebiasaan, karakter, logat baha­sa atau kepentingan politik. Pertumbuhan Solo juga dikotak-kotakkan dalam satu ko­muninitas. Misalnya komunitas China di Mbalong, sedangkan keturunan Arab di Pasar Kliwon.

Di Banjarsari, Belanda menamakan Villa Park. Daerah ini cukup indah, sejuk dan nyaman. Dulu pernah rusak karena dipakai Pasar Klithikan atau Pasar Maling. Sekarang dibuat hampir menyerupai jaman Villa Park. Ba­ngunan loji milik none-none londo masih tersisa. Opa Heintchezalaar pernah tinggal di Villa Park ini sekitar 6 bulan pada tahun 1930-an sebelum dipindah ke Benteng Vastenburg di Gladag.

Sewaktu Jalond sobo di Kauman, didapati pembentukan nama berdasarkan penguasa, tokoh atau orang terhormat disitu. Disana ada kampung Modinan. Dulu memang tempat tinggal para modin. Sekarang, Pak Modin-nya masih ada, tetapi tidak lagi tinggal disini. Di Ketibanoman, nama kampung di jalan Trisula ini diambil dari nama Bupati Keraton bernama Ketib Anom yang tinggal disini. Nama daerah Intip Kuningan pun demikian. Dulu ditinggali Raden Intip Kuning. Disini banyak orang yang magersari. Di dukuh Trayeman, dulu tinggal Raden Trayem. Di Dukuh Sememen, ditinggali Kanjeng Sememi. Sedangkan di Dukuh Pringgokusuman, dulunya tinggal KRT Pringgokusuma. Di dukuh Kamitan, dulu tinggal tokoh batik Haji Kamit, orang paling kaya disini.

Yang membuat mereka tersenyum adalah Kampung Keplekan, lokasinya paling timur, tepat di belakang gedung BCA. Sekarang sudah menjadi daerah perluasan Pasar Klewer. Nnamanya Keplekan meski dekat dengan Masjid Agung dengan penduduk para santri. Tetapi setiap hari ada saja orang yang bermain judi kartu keplek disini. Kenapa para santri tidak marah? Sebab yang bermain adalah para bangsawan keraton, sehingga daerah ini dinamai Kampung Keplekan. Cecck ceck ceck.

Heintchezalaar ingin meneruskan cerita tentang Kalurahan lain di Kecamatan Pasar Kliwon. Misalnya Kedunglumbu atau Baluwarti. “Daerah itu punya cerita legenda yang sangat hidup. Aku mau membuatnya menjadi sebuah novel,” elak Ni Ngoro menolak.

Bagi Ni Ngoro, kisah perseteruan segita Gladag sangat menarik. “Gladag itu perempatan, bukan segitiga,” bantah Heintchezalaar. Namun Ni Ngoro punya asumsi sendiri bahwa segitiga yang dimaksud bukan pertigaan jalan, tetapi perseteruan segitiga sekaligus kongkalingkong antara Raja Paku Buwana, pemerintah Belanda dan Kadipaten Mangkunegaran. Gladag akan dijadikan simbol perseteruan itu oleh Ni Ngoro. Heintchezalaar tertarik mendengar asumsi Ni Ngoro.

“Di Gladag pula, dua budaya saling beradu, budaya Jawa dan Budaya Eropa. Bukti-bukti bisa dilihat dari bangunan gedung yang masih tersisa. Lihat, di satu wilayah berdekatan, ada bangunan keraton, ada Mesjid Agung, tetapi juga ada Javache Bank, Benteng Vastenburg, Gereja Kalam Kudus, kantor Gubernur Jendral Belanda (sekarang Balaikota), dan rumah dinas Gubernur (sekarang BNI 46). Daerah ini bukit adanya corak 2 budaya, Jawa dan Belanda yang dipaksakan beradu di Gladag.”

“Wah benar. Setelah Belanda membangun Vastenburg tahun 1775, raja Solo langsung mendirikan Panggung Sanggabuwana tahun 1782. Bentuk diplomasi sang raja, panggung itu untuk upacara ritual saat Ratu Selatan berkunjung ke keraton. Padahal tujuannya saling mengintai gerakan militer masing-masing! Hebat!!! Jika aku hidup di jaman itu, kemana aku memihak? Wah… aku tak sabar, buatlah artikel Perseteruan Segitiga Gladag, Ni!” pinta Heintchezalaar yang disanggupi Ni Ngoro.

Selanjutnya Heintchezalaar membuka catatan sejarah kampung Kadipolo. Di kampung ini, ada Pakde, kakak mamanya yang tinggal disini. Menurut Pakde, pembentukan nama Kampung Kadipolo sa­ngat unik. Pertamanya, kampung ini bernama Talangwangi. Waktu membangun keraton, raja mendengar tanah desa ini berbau wangi. Raja ingin keratonnya diurug tanah ini. Penduduk diwajibkan memberi upeti tanah ini dan langsung diantar untuk diurugkan di rawa-rawa desa Sala. Karena rawa yang diurug sangat besar, penduduk sangat kele­lahan. Istilah Jawanya seperti “koyo dipolo” (dipiloro/disakiti, dicambuk). Maka kam­pung di desa Talawangi itu akhirnya disebut Kampung Kadipolo.

Isteri Kanjeng yang penduduk asli kampung Talangwangi pernah mendengar cerita turun temurun. Untuk mengangkut tanah, mereka gunakan gerobag. Dalam sehari serombongan penduduk harus mengangkut sebanyak 5 kali. Jarak tempuhnya sekitar 3 km. Karena keraton harus selesai dibangun 1 tahun, kerja bakti ini dilakukan secara marathon. Bayangkan, tahun 1744 pasti belum ada angkutan truk dan jalan mulus. Begitupun, penduduk desa juga masih sedikit. Apakah tidak ada upah? “Namanya juga upeti, makan cari sendirilah. Maka koyo dipolo itu!” jelas Ni Ngoro.

“Seperti apa bau wangi tanahnya?” tanya Heintchezalaar. “Mungkin seperti kembang telon (bunga 3 macam/warna). Maklum banyak tumbuh bunga-bungaan di Talangwangi.”

Dalam catatan Ni Ngoro, tanah bagus di dekat desa Sala justru dihuni patih keraton. Letaknya sekarang di Kepatihan. Daerah ini termasuk kampung paling tua. Dibangunkan untuk patih Kasunanan Surakarta, KRA Sasraningrat tahun 1769. Sang Patih memba­ngun rumahnya di Jalan Sanggihe, Kepatihan Wetan. Karena rumah patih, daerah ini disebut Kepatihan. Sekarang sebagian areal rumah kepatihan ini dipakai oleh kantor Kejaksaan.

Suatu kali, Ni Ngoro dan Heintchezalaar bertengkar. Heintchezalaar ingin bercerita secara runtut antar kampung, tetapi Ni Ngoro ingin mengurutkan berdasarkan kelompok asal-usul dan tahun kelahirannya. “Kalau begitu, kita bahas Baluwarti. Itu kampung bolwerk, sangat seru di balik tembok tinggi keraton!” seru Heintchezalaar. Ia sangat terpesona oleh budaya yang masih sangat ‘jawani’ disini. Apalagi datanya diperoleh dari keluarga Kanjeng Mloyomiluhur.

Heintchezalaar tertawa geli ketika tahu bahwa kata Baluwarti berasal dari bahasa Belanda bolwerk yang artinya adalah "benteng". Asal kata dari bahasa Belanda itulah yang mengawali keingin-tahuan Heintchezalaar untuk mengaduk-aduk topinimi daerah Solo, yakni sejarah asal usul pembentuk nama suatu daerah. Ia merasa bangga sekali jika ada penamaan daerah yang berbau Belanda-Jawa.
Heintchezalaar tertawa geli oleh nama kampung yang berasal dari bahasa atau nama orang Belanda yang terjawakan, lalu berubah ejaan sesuai lidah Jawa. Kata overste, di lidah Jawa jadi obrus, lalu disebut Kampung Ngebrusan. Kampung Beskalan dari kata Ambtenas Belanda ber­pangkat Beskal. Nama Kampung Jageran berasal dari rumah serdadu Be­landa bernama Jager. Kampung Petoran diambil dari orang Belanda di kampung ini bernama Petor. Kampung Jurnasan ditinggali Jurnas, Kampung Kestalan berasal dari kandang kuda yang bahasa Belandanya Stal.
Ni Ngoro jengkel, Heintchezalaar terus tertawa tiada henti. Maka ia kembali membahas Kampung Baluwarti. Kini mereka berdebat tentang makam Kyai Gede Solo III yang makamnya berada di pojok Baluwarti. Tokoh inilah yang paling berpe­ngaruh atas berdirinya keraton di tanah desa Sala.

Heintchezalaar menganggap Kayi Gede Sala sebagai pahlawan pembela rakyat sejati. Tanpa perannya, rakyat desa Sala yang tergusur pembangunan keraton, tak akan mendapat ganti rugi. Mereka hanya diberi kayu gelondongan. Demo rakyat Kyai Gede Sala diwujudkan dengan membuka sumber air dan menaburkan ikan laut hidup sehingga tanah desa Sala menjadi lautan rawa-rawa. Itulah bentuk demo rakyat di jaman kuno.

Ni Ngoro bersikeras bukan demikian cerita yang sebenarnya. Ia mengingatkan nama Raden Pabelan, pemuda yang menodai Puteri Hemas anak raja Hadiwijaya. Don Yuan itu ditemukan sudah menjadi bathang (mayat) di sungai dekat rawa-rawa desa Sala. Namun Heintchezalaar yakin bahwa asumsinya lebih realistis. Kyai Sala dianggap pintar berdiplomasi mengulur waktu hingga raja membayar ganti rugi dengan cerita mistis Raden Pabelan, putera Tumenggung Mayang yang ketahuan dibunuh hulubalang keraton dan mayatnya dihanyutkan di sungai.

Jelas bahwa tenggang waktu Raja Hadiwijaya berkuasa dengan penemuan mayat berselisih hampir dua abad. Raja Hadiwijaya berkuasa tahun 1568-1582, sedangkan pembangunan keraton tahun 1744, saat dimana Kyai Gede Solo bertapa bertemu dengan Raden Pabelan.

Maka Ni Ngoro dan Heintchezalaar itu berdebat lagi. “Abad 18, tanah Jawa masih kental dengan aroma mistis!” ujar Ni Ngoro. Heintchezalaar tertawa keras. “Bagiku, utusan PB II seperti Sindurejo, Hohendorp, Pringgalaya, Hanggawangsa, Mangkuyuda dan Puspanegara adalah para makelar yang gampang diping-pong Kyai Gede Sala!” ejek Heintchezalaar

“Lihat bukti toponimi Kampung Bathangan dan Sangkrah. Kampung Bathangan berasal dari penemuan bathang (mayat) Raden Pabelan, sedangkan Kampung Sangkrah berasal dari tempat mayat Raden Pabelan ditemukan. Kini, makamnya masih dikeramatkan, berada tepat di tengah keramaian gedung Benteng Plaza dan PGS!” jelas Ni Ngoro.

“Kamu percaya pada karangan Kyai Gede Sala? Ia bilang setelah tiga hari tiga malam bertapa, ia bermimpi ketemu Raden Pabelan yang sudah terkubur 2 abad lamanya. Bualan macam mana itu, jangan-jangan hanya ketemu wewe gentayangan?” Heintchezalaar tak dapat menahan tawa ngakaknya menyanggah cerita di buku Babad Tanah Jawa.

“Hei Boy, kamu Londo yang tak bisa mengerti kejawen,” balas Ni Ngoro. Lalu Ni Ngoro berkhotbah tentang kejawen untuk mengingatkan darah Mangkunegaran yang menempel pada Heintchezalaar.

“Namaku Ruud Rden Heintchezalaar. Kamu tahu Ni, Rden itu singkatan Raden menurut mamaku agar aku tak lupa pada eyang Kanjeng dan tanah Jawa. Tetapi aku hidup di Belanda, aku sekolah fisika dan otakku terbiasa berpikir matematis! Sudahlah, lebih baik kita membahas kampung lain. Dengarlah, kubacakan catatanku….”

Heintchezalaar membaca catatannya keras-keras. “Nama Kampung Gadhing bukan berarti gudang gading gajah. Inilah domisili abdi dalem yang berkewajiban Gadhingan. Gadhingan adalah para te­tua, penasehat dan spiritualis keraton yang ‘lelaku’ untuk tujuan suci lahir ba­thin bagi kepentingan keraton. Maka daerah itu disebut Kampung Ganding.” Ni Ngoro langsung menanggapi sambil berseru, “Percaya tidak, itulah kejawen!” Heintchezalaar tersenyum kecut.

Ia langsung membaca catatan pembentukan nama kampung dari kelompok abdidalem berdasar­kan keahlian. Gandekan daerah domisili para gandhek, Wiji Pinilihan domisili prajurit magang hingga terpilih diangkat tetap. Saragenen domisili prajurit Kaparak Sarageni. Jayatakan, domisili prajurit Tohpati (berani mati). Masih ada lagi Jagalan, Gajahan, Carangan, Kepunton, Baturana, Serengan, Kerten, Kalangan, Kemlayan, Wirengan dll.
Ni Ngoro mengganti bahan bicara dengan menyebut nama Mangkunegaran. Ia yakin, Heintchezalaar pasti tertarik. “Mangkunegaran juga punya andil dalam penamaaan kampung-kampung di Solo. Kampung Margoyudan, tempat latihan perang legiun Mangkunagaran.” Setabelan berasal dari salah eja lidah Jawa menyebut meriam sebagai Setabel. Gudang penyimpatan setabel Mangkunegaran dinamakan Setabelan. Para Punggawa Nalapraja dari luar kota diinapkan jika akan menghadap Mangkunagara, kampung inap ini disebut Punggawan. Kebiasaan pangeran timur (masih muda) nongkrong, dinamai Kampung Timuran. Tetapi disini juga tinggal Pangeran Timur.
Ni Ngoro memilah penamaan kampung berdasarkan kondisi alam. Misalnya, akibat sering banjir disebut Tambaksegaran karena air luberan kali Pepe membajir seperti segara (laut). Rumah gedung (Jw-loji) yang batal (Jw-wurung) dibangun karena daerahnya sering bajir disebut Kampung Lojiwurung. Kampung Pringgading berasal dari kata pring kuning gading yang banyak tumbuh disini. Kampung Mesen karena banyak alang-alang, sehingga penguasa memungut ongkos satu sen sebagai emes-emese bagi peternak yang angon disini. Sedang lokasi gudang pari disebut Kampung Keparen.
Heintchezalaar meletakkan pena dan catatannya. Ia mengajak berbelanja di Pasar Klewer untuk membeli oleh-oleh karena esok pagi akan pulang ke Belanda. Sambil berjalan ke Klewer, keduanya main tebak-tebakan sambil mengingat-ingat data yang sudah tercatat. “Kau ingat, dari mana nama Pasar Klewer?” Heintchezalaar yang ditanya mengangguk.

Cerita asal Klewer, awalnya para bakul menjajakan da­gangan kain jarik dan selendang yang ditaruh di pundak. Kain dagangannya menjutai-njuntai yang istilah Jawanya ‘pating klewer’. Maka pasar ini disebut Pasar Klewer. Lalu asal kata Pasar Dhawung. Ceritanya sebermula seorang bakul jamu berjualan di bawah pohon dhawung. Bakulnya terkenal manis, jamunya manjur sehingga langganannya banyak. Ini merangsang orang lain berjualan di bawah pohon dhawung, maka kampung dan pasar itu disebut Dhawung.

Kalau Pasar Senggol Purwosari, pasar tiban ini hanya ada di tiap malam. Pasarnya sempit, pengunjungnya banyak, sehingga tampak berdempetan. Setiap orang berdesakan sehingga sering bersenggolan dengan yang lain. Para muda-mudi memakainya khusus untuk senggol-senggolan sebagai acara pendekatan mencari jodoh.

Sepulang dari berbelanja, mereka melanjutkan mengarsip data pembentukan nama kampung yang berasal dari penokohan berdasarkan tempat tinggal. Penamaan tokoh ini menjalar dimana-mana. Mereka hanya memberi akhiran an. Misalnya, tempat tinggal Soemowinoto, daerah itu lalu disebut Soemowinatan. Rumah Kanjeng Mloyosumo, daerahnya jadi Mloyosuman. Kampung Singasaren, kampung ini ditinggali Pangeran Singosari. Kampung Jayanegaran, dulu rumahnya Kanjeng Jayanegara. Juga Kampung Danukusuman, Pringgalayan, Cakranegaran, Wira­gunan, Purwadiningratan dsb.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika mereka merasa perut sangat keroncongan. Ada baiknya makan nasi liwet di pingir jalan. Esok pagi mereka harus sowan ke semua eyang-eyang karena Heintchezalaar akan berpamitan pulang ke Belanda.

Hari selajutnya Ni Ngoro harus mengerjakan sendiri hasil temuan selama Sobo Turut Lurung di kota Solo, demikian pula Heintchezalaar. Keduanya sepakat untuk bertemu bulan depan, Heintchezalaar berencana mengambil libur panjang untuk meneruskan cerita dan gambar toponimi kampung di Solo.

Saat melepas Heintchezalaar di bandara, Ni Ngoro membisikkan alunan nada yang menggetarkan sanubari Heintchezalaar.

Kita adalah sejoli liar yang sangat nekad
Menelusuri kali ke kali
Menjelajah gang-gang pinggiran
Berjalan tanpa letih
Bekerja tanpa selesai
Kita meronce keping makna yang akan terkubur
Maka jangan pernah berhenti jika itu untuk keabadian
Kalau kau tak kembali
Aku takut ada yang hilang, aku takut ada kekalahan

Heintchezalaar tersenyum, terasa Ni Ngoro jatuh cinta tak alang kepalang. Kepadakukah? Heintchezalaar menebak-nebak. Ia memeluk Ni Ngoro, lalu berbisik.

Cintailah Ni, bukan hanya kepada nama kampungmu.
Aku pasti pulang
Ke tanah dimana ada darahku, yang mengalir disini.
Tunggulah, Ni.

Selesai

Keterangan untuk redaksi:
1. bahan-bahan perjalanan ‘sobo turut lurung’ ini masih ratusan halaman, dibumbui cerita legenda nyata dari daerah tersebut).
2. Film dokumentasi toponimi Sobo Turut Lurung episode Laweyan, episode Kedunglumbu dan episode Kemlayan sudah disampaikan kepada walikota Solo Jokowi.
3. Episode lain baru akan dibuat menunggu dana.

Solo, 28 Oktober 2008
Ni Ngoro - Petualang
Oro Republic of Chocholate
Jl. Imam Bonjol 1
Solo

Tidak ada komentar: